Senin, 08 September 2008

Perubahan UUD 1945 dan Urgensi Pengundangannya

Miftakhul Huda

Di tengah antusias masyarakat terhadap lembaga baru produk amandemen misalkan Mahkamah Konstitusi mengemuka gagasan memutar jarum sejarah kembali kepada UUD 1945 sebelum perubahan, karena proses perubahan dinilai ilegal.

Kelompok yang yang menamakan diri “Panitia Persiapan Kembali ke UUD 1945” yang dimotori Amin Aryoso dkk mengemukakan tiga hal: Pertama, UUD 1945 belum pernah dicabut sehingga masih berlaku. Kedua, proses amandemen baik secara hukum dan materi tidak sah dan menyimpang dan banyak diintervensi LSM yang dibiayai Amerika Serikat. Ketiga, perubahan pertama UUD 1945 tidak didasari ketetapan MPR atau tercatat dalam lembar negara. Keempat, MPR tidak pernah diberi mandat untuk melakukan amandemen itu

Dengan dasar demikian, kelompok ini menuntut pemerintah memberlakukan kembali UUD 1945 dan sekaligus mencabut perubahan pertama sampai dengan keempat (Kompas, 23 Agustus 2008). Jika kita kembali kepada proses sebelumnya, perubahan UUD 1945 mengalami banyak ganjalan dan tentangan baik dari kelompok yang konsen terhadap demokrasi dan hak asasi manusia maupun pihak-pihak yang diuntungkan dengan naskah asli UUD 1945.

Terlepas dari proses amandemen yang kurang demokratis dan jauh dari memuaskan, perubahan UUD 1945 merupakan hal yang niscaya dan tidak perlu ditakutkan. Atau bahkan kita kembali kepada zaman orde baru, menyuarakan perubahan konstitusi sama dengan melakukan tindak pidana subversi. Banyak pihak yang berkepentingan dengan dipertahankannya UUD 1945 yang oleh Soekarno sendiri dianggap sebagai sementara dan kilat.

Dalam tulisan singkat ini penulis berusaha menganalisis dua masalah pokok yaitu dasar pengundangan konstitusi dan urgensitas pengundangannya dengan membandingkan praktek pengundangan konstitusi yang pernah berlaku di Indonesia dan menyinggung sedikit soal keabsahan perubahan UUD 1945.

Sebagaimana diketahui umum, UUD 1945 tanpa terasa telah dirubah empat kali sejak tahun 1999-2002. Namun demikian, tidak sebagaimana peraturan lain, perubahan UUD 1945 sampai sekarang memang belum diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI). Ketua MPR saat pertemuan dengan Menteri Hukum dan HAM, membenarkan hal demikian dan hanya melakukan penomoran masing-masing No.11-14 Tahun 2006 dalam LNRI tanggal 13 Pebruari 2006.

Soal teknis pengundangan dalam praktek ketatanegaraan memang cenderung diremehkan. Namun, soal teknis menjadi menarik tatkala beberapa waktu lalu menjadi polemik dengan sebagai salah satu tuntutan gerakan yang dimotori mantan Presiden RI K.H. Abdurrahman Wahid dahulu (Kompas, 24 Januari 2007). Untuk membantah hal demikian, pemerintah menganggap pengundangan UUD tidak diatur dan tidak berpengaruh terhadap keberlakuannya, begitu pula Ketua MK menganggap UUD memiliki kekuatan berlaku dan mengikat sejak ditetapkan MPR.

Pengundangan UUD


Istilah “Pengundangan” dalam literatur hukum mengandung pengertian penempatan suatu peraturan perundangan negara yang tertentu di dalam suatu lembaran resmi sebagaimana diatur dalam suatu peraturan perundangan dan mengedarkannya kepada umum untuk diketahui, sehingga makna pengundangan tidak hanya pengumuman (publication) saja.


UUD 1945 periode pertama dimuat dalam Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II (Tahun 1946) No.7 bersama-sama dengan “Penjelasan Tentang UUD 1945”, enam bulan setelah Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 disahkan PPKI. Sedangkan periode kedua berdasarkan Keputusan Presiden No.150 Tahun 1959 dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1959 No.75 meliputi Pembukaan, Batang Tubuh dan Penjelasannya bersama-sama dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.

UUD RIS 1949 sesuai dengan Kepres No.48 Tahun 1950 Tentang Mengumumkan Piagam Penandatanganan Konstitusi Republik Indonesia Serikat dan Konstitusi Republik Indonesia Serikat dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 1950 No.3. Begitu juga dengan UUDS 1950 mengikat di Indonesia dengan UU Federal No.7 Tahun 1950 dimuat dalam Lembaran Negara RIS Tahun 1950 No.56 dan Penjelasan Tambahan Lembaran Negara RIS No.37.

Memang masalah pengundangan sejak awal terbentuknya negara Indonesia dalam pelaksanaanya sering terjadi penyimpangan, sebagaimana banyak munculnya bentuk peraturan yang tidak diatur dalam konstitusi. Prosedur dan tempat pengundangan berkembang sesuai dengan keadaan dan kondisi masanya, dan tempat pengundangan terakhir adalah Lembaran Negara sesuai UU Darurat No.2 Tahun 1950 yang dikenal sampai dengan sekarang. .

Sejarah peraturan hukum mengenai pengundangan hampir seluruhnya menentukan pengundangan terhadap jenis peraturan dimulai dari Undang-Undang atau UU Federal (RIS), UU Darurat atau Perpu dan Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden. Kaburnya soal jenis dan hirarki perundangan-undangan tidak seperti saat sekarang, berpengaruh terhadap praktek pengundangan yang buruk. Kedudukan undang-undang “tidak dapat di ganggu-gugat” dan pandangan terhadap konstitusi, berpengaruh soal perlu pengundangannya. UUD RIS 1949 dan UUD S 1950 sendiri dalam bagian penutup memerintahkan pengundangan naskah resmi, sedangkan UUD 1945 tidak demikian, akan tetapi pemerintah tetap mengundangkannya.

Urgensi pengundangan

Naskah asli Amandemen UUD 1945 sampai sekarang tidak pernah diundangkan dalam tempat resmi. Tentu kedepan akan bermasalah, karena setelah amandemen, Sekjen MPR juga menerbitkan naskah konsolidasi yang bersifat tidak resmi serta bermunculan penerbitan lain yang maksudnya hanya memudahkan memahami amandemen. Padahal perbedaan titik koma, huruf besar atau kecil dalam hukum, menimbulkan arti beda dan praktek ketatanegaraan sudah membuktikannya.

Selama ini soal pengundangan tidak tegas diatur, tetapi selama ini bentuk “konstitusi” diundangkan. UU No.10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan hanya menentukan pengundangan dalam LNRI yaitu: UU/ Perpu, PP mengenai Pengesahan perjanjian antara negara RI dan negara lain atau badan Internasional dan pernyataan keadaan bahaya, dan peraturan perundang-undangan lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam LNRI.

UUD 1945 beserta perubahannya sebagai “fundamental law” negara RI memiliki kedudukan penting dan wajib diketahui oleh masyarakat. Pengundangannya tidak hanya untuk tertib hukum, diketahui masyarakat luas, akan tetapi menghindari perdebatan yang tidak perlu jika pemerintah sendiri menegaskan teks resmi sebagai jaminan kesatuan sistem rujukan dengan satu naskah baku (the sole reference) dalam tempat pengundangan yang jelas. Publikasi, penyebaran informasi dan sosialisasi luas oleh MPR tidak ada artinya jika pengundangan sendiri belum dilakukan sebagai sarana setiap orang mengetahui berlakunya amandemen yang berakibat memiliki kekuatan hukum.

Jimly Asshiddiqie dalam catatan kaki no.31 bukunya “Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara”(2006) menyatakan naskah UUD 1945 sesuai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan empat naskah Perubahan Pertama sampai dengan perubahan keempat yang tersususun secara kronologis berdasarkan urutan pengesahan dimana yang satu menjadi lampiran naskah yang lebih dulu disahkan yang dianggap asli dan resmi wajib dimuat dalam Lembaran Negara RI sebagai satu-satunya rujukan.

Dengan demikian, naskah rujukan menentukan kontroversi generasi kedepan tidak perlu terjadi jika naskah perubahan UUD 1945 ditempatkan dalam tempat resmi dan jelas. Meski perubahan UUD 1945 yang dilakukan selama empat kali sah dan berlaku sejak ditetapkan--sebagaimana menjadi “ius comminis opinio doctorum” yang diakui umum di dunia ilmu hukum bahwa suatu norma hukum itu mulai berlaku sejak ditetapkan, kecuali jika ditentukan lain oleh norma hukum itu sendiri--, akan tetapi janganlah mengulang kesalahan dalam administrasi pengundangan yang buruk, sehingga menimbulkan multi tafsir konstitusi.

Penulis adalah Advokat dan pengamat hukum dan konstitusi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar