Jumat, 17 Oktober 2008

Resensi Buku : Menegakkan Tiang Konstitusi, Memoar Lima Tahun Kepemimpinan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. di Mahkamah Konstitusi (2003-2008)




Judul : Menegakkan Tiang Konstitusi, Memoar Lima TahunKepemimpinan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. di Mahkamah Konstitusi (2003-2008)
Pengarang : Jimly Asshiddiqie
Penulis Naskah : Miftakhul Huda & Rita Triana Budiarti
Penerbit : Setjen MK RI, 2008
Tebal : x + 248 halaman








Lima Tahun Mahkamah Konstitusi Bersama Jimly Asshiddiqie


Oleh : Miftakhul Huda
Praktisi hukum (huda_lawyer@yahoo.com)


Presiden Abraham Lincoln pernah menyatakan,“One cannot escape history,” orang tidak dapat menghindar dari sejarah. Selama lima tahun Mahkamah Konstitusi (MK) sejak lahirnya pada 13 Agustus 2003 juga menorehkan sejarah dengan meletakkan pondasi kelembagaan untuk menjalankan tugas-tugas konstitusional. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah untuk refleksi dan evaluasi, karena kita membangun atas keberhasilan serta belajar dari pengalam atas kegagalan dan kekuarangan sebelumnya.

Dengan usia sangat muda tersebut, MK membuktikan dirinya sejajar dengan lembaga lain yang lebih mendahuluinya. Meskipun kondisi serba terbatas, MK mengimbangi lembaga-lembaga negara yang sudah berdiri puluhan tahun dan menunjukkan eksistensinya di hadapan masyarakat luas dalam menjaga dan menafsirkan konstitusi dengan putusan-putusan besarnya. MK berlari meninggalkan Komisi Yudisial dan Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga yang sama-sama dilahirkan dari rahim reformasi.

Selama lima tahun, MK banyak membawa perubahan besar terhadap arah perubahan bangsa dan negara. Betapa tidak, yang diperkarakan di MK adalah undang-undang (UU) yang dapat dipaksakan kekuatannya oleh pejabat yang berwenang dan mengikat umum di masyarakat. Saking pentingnya UU, pembentukannya harus persetujuan dua lembaga negara. Secara tidak langsung pula, keberadaan MK dan putusannya meruntuhkan mitos selama ini bahwa UU yang dibuat dengan melibatkan wakil rakyat pasti teruji konstitusionalitasnya di hadapan publik.

Disamping menguji konstitusionalitas UU, MK telah mengawal proses demokrasi tahun 2004 dengan waktu yang cepat dan mengedepankan hukum untuk menyelesaikan konflik politik. MK juga menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara yang dahulu kala banyak dipendam dan tidak memungkinkan secara yuridis penyelesaiannya.

Kekecewaan terhadap MK banyak dirasakan masyarakat dengan beberapa putusan yang menyurutkan semangat pemberantasan korupsi dan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih. Ketidakpuasan masyarakat ini harus tetap dimengerti bahwa harapan masyarakat begitu besar kepada lembaga negara ini ikut mendorong dan membangun kultur anti korupsi dan ikut mengawal agenda reformasi. Kepercayaan masyarakat selanjutnya berada di pundak kita bersama untuk tidak menghianatinya atau bahkan dengan menjual keadilan itu sendiri.

Secara kelembagaan, MK saat ini memiliki dukungan Kesekretariatan dan Kepaniteraan yang cukup memadai. Jumlah pegawai kurang lebih 200-an orang dengan status Calon/Pegawai Negeri Sipil (CPNS/PNS) dan sisanya tenaga perbantuan dengan rata-rata pendidikan cukup baik terbanyak bergelar S-1. Struktur kelembagaan cukup tertata dengan pembagian tugas yang jelas dan pengisian jabatan sesuai kompetensi. Fasilitas peradilan mulai dari gedung megah dan ramah kepada masyarakat, peralatan kantor, rumah dinas, transportasi dan lain-lain cukup tersedia dengan baik.

Segudang prestasi selalu dialamatkan kepada MK atau kepada Prof. Jimly yang memimpin MK selama dua periode. “Ikon pembawa tradisi baru”, “Mampu menjaga independensi dan imparsialitas”, “Pionir peradilan berbasis Tekhnologi Informasi”, dan cap positif lainnya banyak dikalungkan kepada MK selama lima tahun ini. Di samping itu, beberapa kali Sekjen dan Kepaniteraan MK dalam laporan keuangannya mendapatkan predikat opini wajar tanpa pengecualian (WTP) dari BPK. Tanggapan positif tentang MK oleh masyarakat sebuah kepercayaan yang patut dipertahankan.

Kondisi MK seperti sekarang, dengan kelebihan dan kekurangannya, tentu tidak dapat dipisahkan dari sembilan hakim konstitusi periode pertama 2003-2008, yaitu : Jimly Asshiddiqie, M. Laica Marzuki, Abdul Mukhtie Fadjar, Achamd Roestandi, Ahmad Syarifudin Natabaya, Harjono, I Dewa Gede Palguna, Maruar Siahaan dan Soedarsono.

Buku yang berjudul Menegakkan Tiang Konstitusi, Memoar Kepemimpinan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. di Mahkamah Konstitusi (2003-2008) berisi kesaksian Jimly Asshiddiqie selama memimpin MK. Buku ini menceritakan sisi-sisi terberat membangun kelembagaan saat merintis MK mulai dari nol, misalkan sebagian besar hakim konstitusi tidak memiliki tempat tinggal di Jakarta, tidak memiliki kantor dan ruang untuk bersidang, pegawai tidak ada dan anggaran belum disiapkan. Awal-awal kepemimpinan Pak Jimly mengemban tugas berat bagaimana dapat menjalankan tugas konstitusi meskipun dengan fasilitas terbatas.

Bagian Keempat dan Kelima buku ini juga mencatat bagaimana dan liku-liku MK menangani perkara, sampai uraian cukup lengkap apakah Visi dan Misi yang dirumuskan telah tercapai selama MK melaksanakan program kerjanya.

Buku ini kurang lengkap jika bagian awal buku terlewatkan begitu saja yang berisi gagasan brilian beliau dalam momen-momen penting yang patut direnungkan kembali. Meskipun banyak usulan sebagai pribadi atau tim yang akhirnya diakomodasi pembentuk kebijakan, misalkan rumusan status penjelasan, kedudukan MK yang terpisah dari Mahkamah Agung (MA), ditetapkannya MA sebagai MK sementara sampai MK terbentuk, biaya perkara gratis, dan lain sebagainya, serta banyak gagasan beliau yang belum diterima. Misalkan yang relevan dengan agenda perubahan ke depan misalkan mengenai : pengujian norma hukum satu pintu di MK, gagasan menyelesaikan produk Tap MPR/MPRS tahun 1960-2002 dalam ketentuan peralihan UUD dengan menyetarakan setingkat undang-undang, pengaturan dalam UUD mengenai bentuk dan hirarki peraturan perundang-undangan dan tata cara pembentukan dan pencabutannya, pembentukan Komisi Konstitusi ideal dan Naskah Konsolidasi Pasca Perubahan Keempat yang selalu ditawarkannya, dan pengawasan prilaku hakim konstitusi oleh Komisi Yudisial dan lain sebagainya.

Terasa lengkap, sebuah gagasan yang selalu diperjuangkannya, akhirnya beliau berada di dalam sistem untuk menegakkan tiang konstitusi bersama hakim konstitusi lain. Pendokumentasian buku ini sangat penting dibaca untuk memahami dan ikut membangun MK ke depan lebih baik dengan belajar dari warna MK sebelumnya.


(Resensi buku dimuat di Majalah Berita Mahkamah Konstitusi, edisi terbaru tahun 2008)