Kamis, 02 Juli 2009

Catatan Perubahan Kelima UUD 1945



Oleh Miftakhul Huda *

Hari Rabu (9/5) Pimpinan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menyerahkan usul Amandemen Kelima kepada Pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Usulan ini bermasalah dengan aksi pencabutan dan penambahan dukungan, padahal hasil rapat sebelumnya pimpinan MPR telah memverifikasi usul perubahan UUD 1945 didukung batas minimal anggota MPR. Keputusan agenda pembahasannya belum final, sehingga akan terus menerus menggelinding tanpa bisa ditahan. Usulan ini merupakan kristalisasi polemik seputar gagasan penguatan kedudukan DPD dalam struktur ketatanegaraan.

Penguatan DPD melalui perubahan hukum tertinggi yakni Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai satu-satunya jalan. UU No.22 Tahun 2003 Tentang Susduk MPR, DPR, DPD dan DPRD sebagai amanat konstitusi tidak dapat memecahkan problem yang lemah secara konseptual dan teknis sejak dilahirkan bayi DPD. Prosedur rinci selama ini untuk mengefektifkan wewenang DPD terbentur koridor yang sudah ditetapkan MPR, DPD hanya subordinasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Perhatian publik pasca amandemen tertuju kepada peran lembaga-lembaga baru. Berbeda dengan Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial, kritik yang dominan terhadap organ negara yang lemah pasca amandemen yaitu DPD hanya sebagai Co-legislator di samping DPR, serta kedudukannya hanya sebagai penunjang (auxiliary agency) tugas-tugas DPR. Pihak yang berhadapan dalam kontroversi saat ini memiliki argumen masing-masing yang cenderung berdasarkan kepentingan kelompok atau partainya sendiri. Aksi terang-terangan menggagalkan amandemen bukti nyata parpol tidak memiliki visi dan tujuan jelas mengenai reformasi konstitusi khususnya tentang kelembagaan negara.



DPD sebagai Ancaman
Hasil Amandemen UUD 1945 secara mendasar merubah sistem ketatanegaraan dengan pembagian kekuasaan lebih seimbang, tetapi menyisakan kelemahan-kelemahan, yaitu: Pertama, perubahan banyak dilakukan secara parsial sehingga pasal-pasal yang disepakati sebelumnya bisa kembali diutak-atik. Kedua, lebih banyak mewadahi kepentingan politik dan golongan pada saat pembahasan. Formulasi hanya merespon kepentingan jangka pendek dan merespon isu populer. Ketiga, perubahan tidak dilandasi paradigma perubahan konstitusi yang jelas sehingga penyusunannya mudah dipengaruhi kekuatan lain dan konsep reformasi banyak ditemukan secara kebetulan (by accident) Keempat, perubahan yang dilakukan tidak disertai Academic Draft dan mengabaikan masukan para ahli dan masukan masyarakat luas. Kelima, kurang memberikan waktu masyarakat untuk memberikan masukan dan terlibat dalam proses. Artinya secara umum perubahan konstitusi belum menempatkan UUD 1945 sebagai kesepakatan politik tertinggi yang dibuat untuk tidak lekas usang karena perubahan jaman.

Kelemahan proses diatas juga terjadi pada pembentukan DPD. Perdebatan yang mengemuka adalah usaha mengerdilkan kedudukannya seperti saat ini. Kepentingan yang menonjol mengakomodasi semua kepentingan saat keberadaan Utusan Golongan menuntut dipertahankan dengan tekanan sangat kuat. Pendirian ini tentu saat ini tidak memiliki landasan pijakannya. Eksistensi DPD memang mengancam kekuasaan DPR yang besar pasca Amandemen Pertama dan Kedua. Kepentingan ini bersetubuh dengan kepentingan memangkas kelompok istimewa yang selama ini diangkat, dan kehendak mengurangi supremasi MPR. Jadilah sistem parlemen seperti sekarang dimana bentuk MPR dan DPD tidak tergambar jelas.

Amandemen Kelima harus diawali kesadaran amandemen “bukan haram” dan memahami latar historis dibentuknya DPD. Usulan DPD walaupun menurut Pasal 37 harus diajukan tertulis dan ditunjukkan dengan jelas bagian yang diusulkan untuk diubah beserta alasannya, akan tetapi hal lebih penting bagi para pengusul dan parpol di DPR memiliki paradigma perubahan dan pokok-pokok pikiran dalam materi perubahan secara keseluruhan dengan Academic Draft yang melibatkan masyarakat luas dan waktu yang cukup. Perlu pemikiran teoritis dan singkronisasi pasal-pasal untuk membatasi kepentingan jangka pendek bermain dan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara. Kepentingan sesaat merendahkan arti UUD 1945 sebagai “the supreme law”.

Alasan-alasan diluar materi amandemen oleh pihak kontra Amandemen Kelima seperti adanya kepentingan lain yang membonceng isu penguatan DPD, tuntutan penguatan justru akan berakibat penghapusan DPD, lebih banyak masalah pelik bangsa yang harus diselesaikan dan alasan waktu yang tidak tepat, tidak perlu terjadi jika para pihak memiliki konsep perubahan UUD 1945 mau dibawa kemana. Sikap kenegarawanan harus dimiliki anggota DPR, karena isu penguatan yang dimotori DPD harus diimbangi dengan kontrol kelompok lainnya. Terlepas yang paling berkepentingan anggota DPD, pengaturan sistem parlemen kedepan merupakan tanggung jawab bersama dan dibutuhkan kedewasaan semua pihak.


Catatan Kritis
Beberapa catatan kritis sebagai pertimbangan materi Amandemen Kelima khusunya soal DPD kedepan, yaitu: Pertama, Pengaturan kedudukan DPD mestinya disesuaikan hakekat perwakilan DPD yang dipilih langsung (dari setiap provinsi) serta melalui persyaratan berat. Wewenang DPD jangan sampai keluar dari prinsip DPD sebagai perwakilan daerah (regional representatation) tidak seperti DPR sebagai perwakilan politik (political representatation). Pembedaan ini penting untuk menghindari perwakilan ganda (double representation) saat mengatur pemilihannya dan fungsi yang dijalankan. Persyaratan berat anggota DPD saat ini tidak sebanding dengan fungsi subordinasi yang diemban. Jikalau fungsi DPR tetap dominan terhadap DPD berarti persyaratan pencalonan DPD harus lebih dipermudah.

Kedua, perlu dipikirkan pengaturan mengenai komposisi MPR dalam UUD, yakni jumlah anggota DPD terhadap DPR. Saat ini UU menentukan jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 (sepertiga) jumlah anggota DPR. Batasan tersebut sangat menentukan untuk mengimbangi kekuasaan kamar lain. Keberadaan UU saat ini (oleh Presiden dan DPR) tentu untuk menghindari kontrol yang berlebihan dengan jumlah yang ditentukan. Praktek ketatanegaraan masa lampau komposisi MPR sangat menentukan tingkat demokrasi karena keberadaan unsur MPR melalui pengangkatan. Walaupun DPR dan DPD sama-sama dipilih melalui pemilu, komposisi MPR harus ditetapkan dimana DPD sebagai unsur penting, bukan tambahan di MPR.

Ketiga, hak-hak lembaga DPD dan anggotanya harus diatur dalam UUD. Amandemen Ketiga tidak mengatur hak-hak DPD dan anggotanya. Berbeda jauh dengan DPR dengan bermacam hak yang diberikan yaitu hak interpelasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, serta hak-hak anggota DPR yaitu hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas dan hak mengajukan usul RUU. Hak-hak DPD dimunculkan oleh UU yang dari sisi yuridis bisa dipersolkan legalitasnya terhadap UUD yang tidak mengaturnya. Solusi problem yuridis dengan menegaskan hak dengan di tingkat konstitusi.

Keempat, perlu dipertimbangkan jika kita menganut sistem bikameral yang kuat (stong bicameralism) terdapat masalah kerancuan sistem perundang-undangan fungsi legislasi. Jika kedua kamar sama-sama mengemban fungsi legislasi, maka pembentuk UU adalah Presiden, DPR dan DPD. Padahal kedudukan UU adalah dibawah UUD yang dibentuk MPR yang terdiri anggota-anggota DPD dan DPR. Hal ini sangat bertentangan dengan sistem perundangan-undangan organ pembentuk UU lebih kuat dari pada peraturan yang lebih tinggi. Sehingga perlu dikembangkan khususnya fungsi legislasi peran DPR lebih ditonjolkan dengan tidak mengurangi kedudukannya yang kuat dalam fungsi lain. Jika mengadopsi sistem parlemen lain harus dipertimbangkan fungsi legislasi di Indonesia sangat berbeda dengan melibatkan Presiden.

Kelima, pengaturan mengenai domisili anggota DPD harus mempertimbangkan untuk mengoptimalkan keterwakilan masyarakat pemilihnya di daerah dan membangun hubungan langsung dengan konstituennya. Jika kedudukan DPD kuat maka perlu dipikirkan pola hubungannya dengan daerah yang efektif dan tidak meninggalkan tugas dan fungsinya di Jakarta.

Keenam, sistem perwakilan yang dikembangkan disesuaikan kondisi sosial politik, budaya masyarakat dan berpegang prinsip checks and balances antar kekuasaan negara. Pengalaman kekuasaan yang terpusat pada MPR harus dihindari, dan tidak menggeser kepada DPR. Semua kekuasaan harus diimbangi oleh kekuasaan yang lain, untuk menghindari konsentrasi kekuasaan pada satu lembaga negara yang mudah menjadi sumber penindasan dan tindakan sewenang-wenang penguasa.

Rencana Amandemen Kelima tidak ada artinya jika MPR tetap mengabaikan pertimbangan para ahli yang kompeten yang bebas konflik kepentingan, dan perubahan tidak melibatkan rakyat dalam proses pembahasannya. Jangan terulang lagi menjadikan Amandemen hanya menjadi ajang bagi-bagi kue kekuasaan dan menjadi masalah segelintir orang. Wallahu A’lam.
*Praktisi Hukum dan pemerhati masalah hukum dan konstitusi
10/05/2007