Kamis, 02 Juli 2009

MK dan Keadilan Substantif



Oleh Miftakhul Huda*

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusan sela memerintahkan penghitungan suara ulang pemilu anggota DPR dan DPRD di seluruh Kabupaten Nias Selatan yang diajukan enam partai politik dan memerintahkan penghitungan suara ulang pemilu anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) di enam kecamatan kabupaten tersebut, Selasa (9/6). Di hari yang sama dalam perkara yang diajukan Elion Numberi dan Hasbi Suaib, keduanya calon anggota DPD dapil Papua, MK memerintahkan pemungutan suara ulang di 37 distrik, sedang penghitungan suara ulang di 14 distrik di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua.

Pemungutan suara dan penghitungan suara ulang ini diambil dalam sidang pleno sebelum putusan akhir dijatuhkan. Dalam inti pertimbangan yang diberikan MK pada dasarnya memiliki kemiripan antara satu dengan yang lain meskipun para pihak yang bersengketa (subjectum litis) berbeda. Namun, pada dasarnya kondisi yang diadili atau objek yang diperkarakan sama berkenaan dengan perolehan suara di daerah pemilihan di Nias Selatan dan Yahukimo.

Inti pertimbangan MK sebagai berikut: Pertama, proses pemilu berlangsung tidak demokratis. Pada kasus Nias Selatan ditemukan adanya 21 kotak suara yang belum terbawa ke Medan dan belum di hitung, serta 21 kotak suara tersebut masih berada di KPU Kabupaten Nias Selatan. Sedangkan di Yahukimo, untuk 37 distrik tidak terselenggara pencontrengan sebagaimana sesuai peraturan yang berlaku, yakni hanya melalui kesepakatan atau ”aklamasi”.


Kedua, Mahkamah dalam kasusYahukimo tetap menghargai budaya masyarakat untuk melakukan pemilihan dengan cara pemilihan kolektif (“kesepakatan warga” atau “aklamasi”) telah diterima masyarakat. Sedangkan Nias Selatan dari fakta hukum yang dirumuskan banyak karena pelanggaran oleh aparat pemilu, antara lain proses penyelenggaran pemilu secara berjenjang dari tingkat KPPS, PPK, pleno kabupaten dan pleno provinsi terjadi penggelembungan suara dan pengurangan suara dan tidak dilakukan pleno rekapitulasi baik pada tingkat KPPS maupun PPK dan seluruh surat suara langsung diangkut ke Kabupaten Nias Selatan, dan tidak diserahkannya hasil rekapitulasi kepada para saksi partai politik, dan terdapat rekapitulasi formulir C1 yang diganti oleh PPK.

Ketiga, penyelenggara pemilu melakukan pelanggaran yang terstruktur dan masif, sedangkan pada sisi lain MK tidak boleh membiarkan hal tersebut terjadi, karena dengan pembiaran maka akan melemahkan demokrasi dan akan terulang kembali.

Keempat, Mahkamah tidak dapat membelenggu dirinya untuk hanya memeriksa dan memutus segi-segi kuantitatif dengan hanya merekapitulasi kembali angka-angka perolehan suara yang telah ditetapkan secara resmi oleh KPU, melainkan juga Mahkamah dapat memerintahkan pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang.

Dalam putusan ini MK mengalami kemajuan dengan memutus bukan melalui putusan akhir, akan tetapi ke dalam putusan sela dimana sebelumnya MK mempersiapkannya dengan pembaruan Peraturan Mahkamah Konstitusi. Jika dibandingkan dengan empat putusan pemilukada yang mengabulkan yang lalu pada 2008 dan 2009 diputus dalam putusan akhir padahal putusan MK final dan mengikat (final and binding). Konsekuensinya berbeda, untuk putusan sela, MK berwenang mengawasi pelaksanaan putusan yang dijatuhkan untuk ditaati oleh penyelenggara pemilu dan masih ada kewajiban KPU/KPU Provinsi/Kabupaten/Kota untuk mempertanggungjawabkan hasil pemungutan suara dan penghitungan ulang atas perintah lembaga peradilan ini.

MK banyak belajar dari kasus pemilukada Jawa Timur dimana pasca putusan MK yang final disengketakan kembali karena disinyalir adanya kecurangan dan pelanggaran kembali pada proses pelaksanaan putusan MK oleh salah satu calon. Artinya MK tidak me”rimba”kan proses pemilu dengan pengulangan pelanggaran ulang tanpa kontrol dan mekanisme mengujinya kembali. Tidak ada ruang kosong dan legitimasi seolah-olah apapun hasil pelaksanaan putusan MK tidak ada upaya hukum apapun. Dengan intervensi MK dalam proses penyelenggaran pemilu paling tidak meminimalisir terjadinya pelanggaran pemilu ulang dan memupuk tanggung jawab masing-masing lembaga dan masyarakat bahwa suara rakyat sangat dihargai.

Keadilan Substantif
Meski ditegaskan dalam berbagai kesempatan sengketa hasil pemilu adalah terbatas pada perselisihan hasil suara, namun MK menegaskan posisinya bahwa lembaga ini akan menegakkan keadilan substantif. Dalam arti, sebagai lembaga pengawal dan penafsir konstitusi tidak boleh terpaku dengan undang-undang jika keluar dari tujuan hukum sendiri. Dalam kekuasaan mengadili, MK sekaligus menafsirkan konstitusi yang mengharuskan asas demokrasi dalam pemilu yaitu langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil tidak akan tercapai dengan pembiaran pelanggaran yang terjadi.

Prinsip universal pernah dikemukakan yaitu nullus/nemo commodum capere potest de injuria sua propria (tidak boleh seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain) pada kasus Jatim, dan meskipun tidak dikutip di putusan sela, maknanya dianut kembali bahwa tidak boleh ada pembiaran pelanggaran terstruktur dan masif. Dengan pilihan ini pelanggar dan orang-orang yang curang tidak justru diuntungkan kembali dan pihak yang dicurangi merasa dilindungi dan tidak kembali dirugikan dengan pelanggaran dan tanpa perlindungan.

*Praktisi Hukum