Senin, 06 Juli 2009

ne bis in idem

Prinsip hukum ini dalam hukum perdata mengandung pengertian sebuah perkara dengan objek sama, para pihak sama dan materi pokok perkara yang sama, yang diputus oleh pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap yang mengabulkan atau menolak, tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya। Syarat-syarat diatas harus terpenuhi untuk dapat dikatakan perkara ne bis in idem. Jadi, misalkan sebuah perkara dengan objek dan materi perkara yang sama, akan tetapi pihak-pihak yang bersengketa berbeda, hal demikian tidak termasuk ne bis in idem.

Sebuah gugatan yang diajukan seseorang ke pengadilan yang mengandung ne bis in idem, hakim harus menyatakan gugatan tersebut tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard). Prinsip hukum demikian secara jelas diatur dalam Pasal 1917 KUHPerdata. Sedangkan, Mahkamah Agung menganut pendirian sebuah perkara yang tidak memenuhi syarat formil dan diputus tidak dapat diterima, perkara tersebut bukan termasuk ne bis in idem dan dapat digugat kembali untuk kedua kalinya.

Demikian halnya dalam hukum pidana, juga melarang seorang terdakwa diadili lebih dari satu kali atas satu perbuatan yang sudah ada keputusan yang menghukum atau membebaskannya. Memang prinsip ini semata-mata melindungi hak asasi manusia seseorang, agar seseorang tidak diadili untuk perkara yang sama dan mengedepankan kepastian hukum. Dengan dasar ne bis in idem, sebuah perkara yang diperiksa di pengadilan dapat dihentikan penyidikan atau penuntutannya jika ditemukan ne bis in idem. Sebuah perkara yang ne bis in idem yang tetap diperiksa ke pengadilan, maka seorang hakim harus memutuskan tuntutan jaksa tidak dapat diterima.

Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri menganut prinsip ne bis in idem sesuai dengan ketentuan yang menyatakan: ”Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian dalam undang-undang yang telah diuji, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali” (Pasal 60 UU MK) Sedangkan larangan menguji terhadap materi muatan yang yang sama telah dijabarkan dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi yang memungkinkan pengujian terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/ atau bagian undang-undang yang telah diputuskan oleh MK dapat dimohonkan pengujian kembali dengan syarat-syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda (Pasal 42 Ayat (2) PMK No.06/PMK/2005) Dengan demikian, seseorang yang pernah mengajukan pengujian materi sebuah undang-undang atau oleh pemohon baru, dapat mengajukan untuk kedua kalinya terhadap materi yang sama, asalkan alasan-alasan yang digunakan untuk menguji norma berbeda dengan sebelumnya.

MK dalam sebuah putusannya pada 1 Maret 2006 perkara pengujian UU Pengadilan Pajak yang diajukan Amiruddin dkk, telah mempertimbangkan bahwa meskipun Pemohon memenuhi syarat kualifikasi sebagai Pemohon, akan tetapi ternyata Pemohon tidak memiliki syarat-syarat konstitusionalitas yang dapat menjadi alasan permohonan dapat menguji kembali terhadap Pasal 36 ayat (4) UU Pengadilan Pajak. Oleh karena itu, MK memutus menyatakan tidak berwenang mengadilinya materi permohonan yang pernah diajukan dan menyatakan permohonan tidak dapat diterima. (Miftakhul Huda)
Sumber: Majalah Kontitusi BMK, No.28-April 2009, hal. 76