Kamis, 02 Juli 2009

nullus commodum capere potest de injuria sua propria

Prinsip ini memiliki arti: “tidak seorang pun boleh diuntungkan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukannya sendiri dan tidak seorang pun boleh dirugikan oleh penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh orang lain”. Prinsip hukum dan keadilan ini dianut secara universal.

Prinsip nullus commodum capere potest de injuria sua propria ini digunakan MK dalam mempertimbangkan memerintahkan penghitungan suara ulang dan pemungutan suara ulang dalam perselisihan hasil pemilukada Jawa Timur Putaran II yang dinilai telah terjadi pelanggaran secara sistematis, terstruktur, dan masif. Penyimpangan pada proses dan tahapan pemilukada akan berpengaruh terhadap hasil akhir perolehan masing-masing pasangan calon. Sehingga MK memandang tidak satu pun Pasangan Calon pemilihan umum yang boleh diuntungkan dalam perolehan suara akibat terjadinya pelanggaran konstitusi dan prinsip keadilan dalam penyelenggaraan pemilihan umum.

Sebagai peradilan untuk menjaga konstitusi, MK menilai peraturan dalam kerangka prinsip dan spirit UUD 1945, sehingga memberi keleluasaan kepadanya untuk menilai bobot pelanggaran dan penyimpangan yang terjadi dalam keseluruhan tahapan proses Pemilu Kepala Daerah dan kaitannya dengan perolehan hasil suara। MK dalam pertimbangannya menyatakan, MK tidak boleh membiarkan aturan-aturan keadilan prosedural (procedural justice) memasung dan mengesampingkan keadilan subtantif (substantive justice), karena fakta-fakta hukum yang ada merupakan pelanggaran konstitusi, khususnya Pasal 18 ayat (4) UUD 1945 yang mengharuskan Pemilihan Kepala Daerah dilakukan secara demokratis, dan tidak melanggar asas-asas pemilihan umum yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.

Jika MK membatasi diri pada penghitungan suara ulang, maka sangat mungkin tidak akan pernah terwujud keadilan untuk penyelesaian sengketa hasil Pemilukada yang diadili karena kemungkinan besar terjadi hasil Ketetapan KPU lahir dari proses yang melanggar prosedur hukum dan keadilan। Pilihan demikian masih tetap dalam koridor penyelesaian perselisihan hasil Pemilukada dan bukan penyelesaian atas proses pelanggarannya sehingga pelanggaran-pelanggaran atas proses itu sendiri dapat diselesaikan lebih lanjut melalui jalur hukum yang tersedia. (Miftakhul Huda)

Sumber: Majalah Konstitusi BMK, No. 27-Maret 2009, hal. 64