Senin, 13 Juli 2009

Perintisan dan Pembentukan Mahkamah Konstitusi

Sejarah judicial review pertama kali timbul dalam praktik hukum di Amerika Serikat melalui putusan Supreme Court Amerika Serikat dalam perkara “Marbury Vs Madison” tahun 1803. Meskipun ketentuan judicial review tidak tercantum dalam Undang-Undang Dasar Amerika Serikat, Supreme Court Amerika Serikat membuat sebuah putusan yang ditulis John Marshall dan didukung 4 Hakim Agung lainnya yang menyatakan bahwa pengadilan berwenang membatalkan undang-undang yang bertentangan dengan konstitusi.

Dalam perkara tersebut, ketentuan yang memberikan kewenangan Supreme Court untuk mengeluarkan writ of mandamus pada Pasal 13 Judiciary Act dianggap melebihi kewenangan yang diberikan konstitusi, sehingga Supreme Court menyatakan hal itu bertentangan dengan konstitusi sebagai the supreme of the land. Namun, di sisi lain juga dinyatakan bahwa William Marbury sesuai hukum berhak atas surat-surat pengangkatannya. Keberanian John Marshall dalam kasus “Marbury Vs Madison” untuk berijtihad menjadi preseden baru dalam sejarah Amerika dan pengaruhnya meluas dalam pemikiran dan praktik hukum di banyak negara. Sejak saat itu telah banyak undang-undang federal maupun undang-undang negara bagian yang dinyatakan bertentangan dengan konstitusi oleh Supreme Court.


Lain halnya dengan judicial review, keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri secara teoritis baru diperkenalkan oleh pakar hukum kenamaan asal Austria, Hans Kelsen (1881-1973). Kelsen menyatakan bahwa pelaksanaan aturan konstitusional tentang legislasi dapat secara efektif dijamin hanya jika suatu organ selain badan legislatif diberikan tugas untuk menguji apakah suatu produk hukum itu konstitusional atau tidak, dan tidak memberlakukannya jika menurut organ ini produk badan legislatif tersebut tidak konstitusional.

Untuk kepentingan tersebut, dapat diadakan organ khusus seperti pengadilan khusus yang disebut MK(Constitutional Court), atau pengawasan konstitusionalitas undang-undang (judicial review) dapat juga diberikan kepada pengadilan biasa, khususnya Mahkamah Agung (MA). Organ khusus yang mengontrol tersebut dapat menghapuskan secara keseluruhan undang-undang yang tidak konstitusional sehingga tidak dapat diaplikasikan oleh organ lain. Sedangkan jika pengadilan biasa yang memiliki kompetensi menguji konstitusionalitas undang-undang, hal itu dilakukan dalam bentuk menolak untuk menerapkannya pada kasus kongkrit saat menyatakan bahwa undang-undang tersebut tidak konstitusional, sedangkan organ lain tetap diwajibkan menerapkannya.

Di Austria, Pemikiran Kelsen itu mendorong dibentuknya suatu lembaga yang diberi nama Verfassungsgerichtshoft atau MK (Constitutional Court) yang berdiri sendiri di luar Mahkamah Agung, sering disebut The Kelsenian Model. Gagasan ini diajukan ketika Kelsen diangkat sebagai anggota lembaga pembaharu Konstitusi Austria (Chancelery) pada tahun 1919–1920 dan diterima dalam Konstitusi Tahun 1920. Inilah MK pertama di dunia. Model ini menyangkut hubungan antara prinsip supremasi konstitusi (the principle of the supremacy of the Constitution) dan prinsip supremasi parlemen (the principle of the supremacy of the Parliament).

Walaupun demikian, keberadaan lembaga MK secara umum merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Sebagian besar negara hukum demokrasi yang sudah mapan tidak mengenal lembaga MK yang berdiri sendiri terpisah dengan MA (Supreme Court of Justice). Akan tetapi dilaksanakan oleh kekuasaan kehakiman (Mahkamah Agung). Negara-negara yang membentuk MK tersendiri ini pada umumnya adalah negara-negara yang mengalami perubahan dari negara yang otoritarian menjadi negara demokrasi termasuk Indonesia.

Ide Hans Kelsen mengenai pengujian undang-undang di atas sejalan dengan gagasan yang pernah dikemukakan Muhammad Yamin dalam sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Ia mengusulkan seharusnya Balai Agung (atau Mahkamah Agung) diberi wewenang untuk “membanding” undang-undang. Namun usulan Muhammad Yamin ini disanggah oleh Soepomo dengan alasan bahwa (i) konsep dasar yang dianut dalam UUD yang tengah disusun bukan konsep pemisahan kekuasaan (separation of power) melainkan konsep pembagian kekuasaan (distribution of power); selain itu, (ii) tugas hakim adalah menerapkan undang-undang, bukan menguji undang-undang; (iii) kewenangan hakim untuk melakukan pengujian undang-undang bertentangan dengan konsep supremasi Majelis Permusyawaratan Rakyat; dan (iv) sebagai negara yang baru merdeka belum memiliki ahli-ahli mengenai hal tersebut serta pengalaman mengenai judicial review. Akhirnya, ide pengujian konstitusionalitas undang-undang yang diusulkan oleh Yamin tersebut tidak diadopsi dalam UUD 1945.

Sejarah Undang-Undang Dasar yang pernah berlaku di negara Indonesia sendiri menganut ”undang-undang tidak dapat diganggu gugat”. Berdasarkan ketentuan Undang-Undang Dasar RIS 1949, Mahkamah Agung tidak berwenang menguji secara materiil undang-undang Federal, namun hanya berwenang menguji undang-undang daerah-daerah bagian. Begitu pula dengan ketentuan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, tidak mengenal hak menguji konstitusionalitas undang-undang. Keberadaan undang-undang tidak dapat diganggu gugat. Produk undang-undang dipandang sebagai produk lembaga pelaksana kedaulatan rakyat dalam struktur ketatanegaraan. Hal itu merupakan pengaruh dari hukum tata negara Belanda dalam penyusunan konstitusi kita.

Pada saat pembahasan Undang-Undang Dasar dalam sidang-sidang Dewan Konstituante yang dipilih melalui pemilihan umum 1955, banyak bermunculan gagasan agar pengujian undang-undang diberikan kepada Mahkamah Agung. Gagasan tersebut sempat menguat. Namun, sebelum Konstituante berhasil menetapkan Undang-Undang Dasar, melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Dewan tersebut dibubarkan dan UUD 1945 diberlakukan kembali.

Gagasan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar telah melalui proses yang panjang. Dalam setiap pembahasan undang-undang mengenai kekuasaan kehakiman, gagasan itu selalu. Gagasan itu kembali muncul pada saat pembahasan RUU tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman pada tahun 1970. Namun, gagasan yang diterima adalah pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Pada masa reformasi, dengan ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000, MPR diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar. Namun hal ini tidak dapat disebut sebagai judicial review mengingat bahwa MPR tidak termasuk dalam cabang kekuasaan yudisial, tetapi merupakan legislative review on the constitutionality of law. Namun, hingga tidak berlakunya Ketetapan tersebut MPR belum pernah melaksanakan pengujian karena memang tidak ada mekanisme yang memungkinkan pelaksanaan pengujian konstitusionalitas undang-undang.

Seiring dengan momentum Perubahan UUD pada era reformasi, ide pembentukan MK di Indonesia diterima keberadaanya sebagai mekanisme untuk mengontrol pelaksanaan Undang-Undang Dasar dalam bentuk undang-undang. Selain itu, pembentukan MK juga didorong oleh alasan sebagai berikut.
1. Sebagai konsekuensi dari perwujudan negara hukum yang demokratis dan negara demokrasi yang berdasarkan hukum. Kenyataan menunjukkan bahwa suatu keputusan yang dicapai dengan demokratis tidak selalu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Dasar yang berlaku sebagai hukum tertinggi. Oleh karena itu, diperlukan suatu lembaga yang berwenang menguji konstitusionalitas undang-undang.
2. Pasca Perubahan Kedua dan Perubahan Ketiga, UUD 1945 telah mengubah hubungan kekuasaan secara besar-besaran dengan menganut sistem pemisahan kekuasaan (separation of powers) berdasarkan prinsip checks and balances. Bertambahnya jumlah lembaga negara serta bertambahnya ketentuan kelembagaan negara menyebabkan potensi sengketa antarlembaga negara menjadi semakin banyak. Sementara itu telah terjadi perubahan paradigma dari supremasi MPR kepada supremasi konstitusi, sehingga tidak ada lagi lembaga tertinggi negara pemegang kekuasaan tertinggi yang berwenang menyelesaikan sengketa antarlembaga negara. Oleh karena itu, diperlukan lembaga tersendiri untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
3. Kasus nyata yang terjadi di Indonesia, yaitu pemakzulan (impeachment) Presiden K.H. Abdurrahman Wahid dari kursi kepresidenannya oleh MPR pada Sidang Istimewa MPR Tahun 2001, yang mengilhami tercetusnya pemikiran untuk mencari jalan keluar mekanisme hukum yang digunakan dalam proses pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak semata-mata didasarkan alasan politis semata dan oleh lembaga politik saja. Hal ini juga sebagai konsekuensi upaya pemurnia sistem presidensiil. Untuk itu, disepakati perlu adanya lembaga hukum yang berkewajiban menilai terlebih dahulu pelanggaran hukum yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden yang dapat menyebabkan Presiden dan/atau Wakil Presiden diberhentikan dalam masa jabatannya.

Setelah melalui pembahasan mendalam, dengan mengkaji lembaga pengujian konstitusional undang-undang di berbagai negara, serta mendengarkan masukan berbagai pihak, terutama para pakar hukum tata negara, rumusan mengenai lembaga Mahkamah Konstitusi disahkan pada Sidang Tahunan MPR 2001. Hasil Perubahan Ketiga UUD 1945 itu merumuskan ketentuan mengenai lembaga yang diberi nama MK dalam Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945.

MK memiliki 4 (empat) kewenangan dan 1 (satu) kewajiban sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945. MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. MK berkewajiban memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

Meskipun ditetapkan sebagai lembaga peradilan yang terpisah dengan MA, pembentukan lembaga ini membutuhkan waktu. Oleh karena itu diperlukan adanya lembaga yang menjalankannya fungsinya sebelum pembentukannya. Dalam Perubahan Keempat UUD 1945 ditetapkan Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 yang menegaskan batas waktu paling akhir pembentukan MK pada 17 Agustus 2003. Sebelum dibentuk, segala kewenangan MK dilakukan MA.

Untuk melaksanakan amanat konstitusi tentang pembentukan MK, pemerintah bersama DPR membahas Rancangan Undang-Undang tentang MK. Setelah dilakukan pembahasan beberapa waktu lamanya, akhirnya RUU usulan DPR tersebut dapat disepakati bersama antara pemerintah bersama DPR dan disahkan dalam sidang paripurna DPR pada tanggal 13 Agustus 2003. Pada hari itu juga undang-undang tentang MK ini diundangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dimuat dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 98, dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4316.

Pada saat itu, Indonesia merupakan negara ke-78 yang membentuk MK. Tanggal 13 Agustus 2003 sebagai tanggal ditetapkan dan disahkannya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 inilah yang disepakati menjadi hari kelahiran MK. Setelah penetapan undang-undang tersebut, dilanjutkan dengan rekrutmen Hakim Konstitusi oleh setiap lembaga pengusul, yaitu DPR, Presiden, dan MA. Setelah melalui tahapan seleksi sesuai mekanisme yang berlaku pada masing masing lembaga tersebut, DPR, Presiden, dan MA menetapkan tiga calon Hakim Konstitusi yang selanjutnya diajukan kepada Presiden untuk ditetapkan sebagai Hakim Konstitusi.

DPR mengajukan nama-nama Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Letjen TNI (Purn) H. Achmad Roestandi, S.H., dan I Gede Dewa Palguna, S.H., M.H. Presiden mengajukan nama-nama Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M., Prof. H. Abdul Mukhtie Fadjar, S.H., M.S., dan Dr. Harjono, S.H., M.C.L. Adapun MA mengajukan nama-nama Dr. H. Mohamad Laica Marzuki, S.H., (sekarang bergelar profesor), Maruarar Siahaan, S.H., dan Soedarsono, S.H. Masa jabatan Hakim Konstitusi adalah 5 (lima) tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk 1 (satu) kali masa jabatan berikutnya

Pada tanggal 15 Agustus 2003, sembilan Hakim Konstitusi pertama tersebut diangkat dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M/Tahun 2003 yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah di Istana Negara pada 16 Agustus 2003 yang disaksikan Presiden Megawati Soekarnoputi. Setelah mengucapkan sumpah jabatannya sebagai Hakim Konstitusi, para Hakim Kontitusi langsung bekerja menunaikan tugas kontitusionalnya sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 dan Undang-Undang MK.

Sesuai dengan ketentuan UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, susunan MK terdiri atas seorang Ketua merangkap anggota, seorang Wakil Ketua merangkap anggota dan 7 (tujuh) orang anggota Hakim Konstitusi. Untuk itu kesembilan Hakim Konstitusi mengadakan rapat pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK pada tanggal 19 Agustus 2003 bertempat di ruang rapat Ketua MA. Dalam pemilihan yang dipimpin oleh Hakim Konstitusi tertua, Letjen TNI (Purn) H. Achmad Roestandi, S.H., hadir 8 (delapan) Hakim Konstitusi karena Hakim Konstitusi Dr. Mohamad Laica Marzuki, S.H. berhalangan karena sakit.

Berdasarkan Tata Cara Pemilihan Ketua dan Wakil Ketua MK yang sebelumnya telah disepakati para Hakim Konstitusi, dilakukan dua tahap pemilihan, yaitu tahap pemilihan Ketua dan tahap pemilihan Wakil Ketua. Dalam pemungutan suara tersebut, para Hakim Konstitusi menuliskan pilihannya pada selembar kertas yang selanjutnya dimasukkan dalam tas hitam milik Letjen TNI (Purn) H. Achmad Roestandi, S.H. Setelah dilakukan pemungutan suara, akhirnya terpilih Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. sebagai menjadi Ketua yang memperoleh lima suara. Adapun Dr. Mohamad Laica Marzuki, S.H. terpilih menjadi Wakil Ketua MK dengan perolehan lima suara, setelah dilakukan tiga kali pemungutan suara karena dua kali pemungutan suara sebelumnya perolehan Dr. Mohamad Laica Marzuki, S.H. dan Dr. Harjono, S.H., M.C.L. sama, yaitu 3 : 3, kemudian 4 : 4.

Setelah terpilih Ketua dan Wakil Ketua MK, sebagai organ konstitusi baru dan kepemimpinan baru melakukan kunjungan kehormatan kepada jajaran pimpinan lembaga-lembaga negara pada Agustus-September 2003।Kunjungan kehormatan tersebut dimaksudkan untuk memperkenalkan diri sekaligus mendorong terjalinnya hubungan baik, saling pengertian dan kerjasama antarlembaga negara dengan tetap menghormati kemandirian masing-masing lembaga negara. Kunjungan tersebut dilakukan kepada Presiden Megawati Soekarnoputri, Wakil Presiden Hamzah Haz, Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Prof. Dr. H.M. Amien Rais dan pimpinan MPR lainnya, Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Ir. Akbar Tanjung dan pimpinan DPR lainnya, serta Ketua Badan Pemeriksan Keuangan (BPK) Prof. Dr. Satrio Budihardjo Joedono dan anggota BPK lainnya.

Dalam melaksanakan tugas konstitusionalnya, para Hakim Konstitusi membutuhkan dukungan teknis administrasi aparatur pemerintah, baik yang bersifat administrasi umum maupun administrasi yustisial. Untuk pertama kalinya dukungan teknis administrasi umum dilaksanakan oleh Sekretariat Jenderal MPR. Oleh sebab itu, dengan persetujuan Sekretaris Jenderal MPR, sejumlah pegawai Sekretariat Jenderal MPR memberikan dukungan terhadap pelaksanaan tugas konstitusional para Hakim Konstitusi. Kepala Biro Persidangan Majelis MPR, Janedjri M. Gaffar, ditetapkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal MK-RI sejak tanggal 4 September 2003 hingga 31 Desember 2003. Dalam perkembangannya, pada tanggal 2 Januari 2004 Presiden Megawati Soekarnoputri secara definitif menetapkan Anak Agung Oka Mahendra, S.H. sebagai Sekretaris Jenderal MK-RI.

Sejalan dengan itu, ditetapkan pula Kepaniteraan MK yang mengemban tugas membantu kelancaran tugas dan wewenang MK di bidang administrasi yustisial. Di bidang ini, Panitera bertanggung jawab dalam menangani hal-hal seperti pendaftaran permohonan, pemeriksaan kelengkapan permohonan, pencatatan permohonan yang sudah lengkap dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, hingga mempersiapkan dan membantu pelaksanaan persidangan MK. Bertindak sebagai Pelaksana Tugas (Plt.) Panitera mendampingi Plt. Sekjen MK adalah Marcel Buchari, S.H. sebagai pejabat sementara yang di kemudian hari secara definitif digantikan oleh Drs. H. Ahmad Fadlil Sumadi, S.H., M.Hum.

Untuk mendukung suksesnya pelaksanaan tugas Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, dilakukan rekrutmen pegawai, baik honorer maupun tenaga perbantuan sementara, sambil menunggu pengisian jabatan struktural dan pegawai sesuai ketentuan yang berlaku. Proses rekrutmen tenaga kepegawaian di lingkungan MK tersebut dilakukan pada awal berdirinya MK pada 24- 26 September 2003.

Setelah terdapat organisasi Kesekretariatan dan Kepaniteraan MK sementara, meskipun masih dengan kondisi yang memprihatinkan, tepatnya pada 15 Oktober 2003 MK menerima pelimpahan 14 (empat belas) perkara yang belum diputuskan oleh Mahkamah Agung yang menjalankan fungsi Mahkamah Konstitusi pada masa transisi sesuai amanat Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945. Dalam menyidangkan perkara tersebut, untuk pertama kalinya Mahkamah Konstitusi bersidang di gedung Nusantara IV, Kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta. MK melakukan persidangan pertama kali untuk memeriksa tiga perkara yang diregister oleh MA, yaitu pengujian Undang-Undang Ketenagalistrikan, Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, dan Undang-Undang Surat Utang Negara.

Putusan pertama yang diucapkan dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum adalah putusan pengujian Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang MA terhadap UUD 1945. Putusan MK ini, meskipun permohonannya tidak dapat diterima, namun telah mengukir sejarah penting karena mengesampingkan Pasal 50 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003. Ketentuan Pasal 50 Undang-Undang MK tersebut membatasi kewenangan MK menguji hanya terhadap undang-undang yang diundangkan pasca perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Di samping itu pula, putusan itu juga merupakan putusan pertama dalam sejarah peradilan di Indonesia yang mencantumkan pendapat berbeda hakim (dissenting opinion).

Pada saat MK terbentuk, belum memiliki kantor dan ruang untuk menyelenggarakan aktivitas dan penyelenggaraan persidangan. Pertama kali MK berkantor di Hotel Santika, Jalan KS Tubun, Slipi Jakarta Barat, kurang lebih selama sebulan. Ruangan di Hotel Santika di samping digunakan sebagai kantor darurat, juga digunakan sebagai penginapan sementara para Hakim Konstitusi yang berasal dari luar Jakarta. Dalam kesempatan waktu berkantor disitu, alamat surat MK adalah nomor handphone Ketua MK Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Setelah itu, MK pindah kantor ke Plaza Centris, Lt. 4 dan Lt. 12A Jalan HR Rasuna Said, Kuningan Jakarta Selatan dengan memanfaatkan lahar parkir yang disulap menjadi tempat kerja pegawai. Sedangkan untuk menggelar persidangan perkara saat itu MK menumpang di gedung Nusantara IV (Pusataka Loka) Kompleks MPR/DPR.

MK baru menempati kantor dan gedung sendiri sekitar tahun 2004 dengan meminjam gedung milik Kementrian Komunikasi dan Informasi di Jalan Medan Merdeka Barat No.7. Untuk aktivitas persidangan, karena di gedung tersebut tidak mencukupi, sempat menggunakan fasilitas ruang Radio Republik Indonesia (RRI) dan Mabes Polri pada saat menyidangkan perkara perselisihan hasil pemilihan umum 2004. Setelah melalui proses yang panjang dan kerja keras segenap hakim konstitusi dan jajaran Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan, akhirnya MK dapat memiliki gedung modern sendiri di Jalan Medan Merdeka Barat No. 6 Jakarta Pusat yang diresmikan pada 13 Agustus 2007.

(Sumber: Buku “Lima Tahun Menegakkan Konstitusi” (2008))