Kamis, 28 Januari 2010

"Contrarius actus"

Contrarius actus dalam hukum administrasi negara adalah asas yang menyatakan badan atau pejabat tata usaha negara yang menerbitkan keputusan tata usaha negara dengan sendirinya juga berwenang untuk membatalkannya. Asas ini berlaku meskipun dalam keputusan tata usaha negara tersebut tidak ada klausula pengaman yang lazim: Apabila dikemudian hari ternyata ada kekeliruan atau kehilafan maka keputusan ini akan ditinjau kembali. (Lihat Philipus M. Hadjon dan Tatiek Sri Djatmiati, Argumentasi Hukum,Gadjah Mada University Press, cet ke-5, 2009)

UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan lampiran huruf C tentang “Pencabutan” menentukan: “Peraturan Perundang-undangan pada dasarnya hanya dapat dicabut melalui Peraturan Perundang-undangan yang setingkat. Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh mencabut Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi. Pencabutan melalui Peraturan Perundang-undangan yang tingkatannya lebih tinggi dilakukan jika Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi tersebut dimaksudkan untuk menampung kembali seluruh atau sebagian dari materi Peraturan Perundang-undangan yang lebih rendah yang dicabut itu”.

Asas contrarius actus ini berlaku tidak hanya untuk keputusan administrasi negara, namun juga asas peraturan perundang-undangan. Yang berhak mencabut adalah pembentuknya itu sendiri dan tidak dapat dilakukan oleh peraturan atau lembaga yang lebih rendah. Asas ini juga sering digunakan sebagai dasar putusan pengadilan tidak dapat mencabut dan membatalkan berlaku mengikatnya sebuah peraturan perundang-undangan. Asas ini dahulu digunakan dasar Mahkamah Agung dalam pengujian peraturan di bawah undang-undang (UU) hanya berwenang menyatakan tidak sah, sedangkan yang berwenang mencabut dan membatalkannya adalah pembentuknya sendiri. UU 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara menyatakan jika gugatan dikabulkan, pengadilan dapat menetapkan kewajiban yang harus dilakukan badan atau pejabat Tata Usaha Negara (TUN) untuk mencabut Keputusan TUN tersebut dan menerbitkan Keputusan TUN yang baru. Sehingga pencabutan sebuah peraturan atau keputusan pejabat publik hanya dapat dilakukan oleh pembentuknya.

Sedangkan pengujian konstitusionalitas UU, Pasal 57 ayat (1) UU MK menyatakan: “Putusan Mahkamah Konstitusi yang amar putusannya menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Selanjutnya dalam ayat (3) menyatakan: “Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari kerja sejak putusan diucapkan”. (Miftakhul Huda)

Sumber: Majalah Konstitusi No. 34 Nopember 2009