Kamis, 14 Januari 2010

Ex Tunc

Ex Tunc atau juga dikenal ex post facto law yaitu berlaku surut, atau berlaku kemudian. Sebagaimana dikemukakan di bagian Ex Nunc pada dasarnya hukum tidak boleh berlaku surut ke belakang, namun prinsip ini berlaku tidak mutlaq dengan tetap bersandarkan batasan-batasan yang dibenarkan.

Menurut pertimbangan MK dalam putusan No. 069/PUU-II/2004 tentang Pengujian UU KPK, bahwa sebuah ketentuan mengandung pemberlakuan hukum secara retroaktif jika ketentuan tersebut (a) menyatakan seseorang bersalah karena malakukan perbuatan yang ketika perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan perbuatan yang dapat dipidana, dan (b) menjatuhkan hukuman atau pidana mati yang lebih berat daripada hukuman atau pidana yang berlaku pada saat perbuatan itu dilakukan.

Sebuah putusan pengadilan terdapat kondisi menyebabkan sebuah putusan pada dasarnya dapat berlaku surut, misalkan ketika pengadilan menyatakan sebuah peraturan, kebijakan, atau sebuah perikatan dinyatakan batal demi hukum (null and void) yang berbeda akibatnya jika dinyatakan batal dan tidak sah (voidable). Artinya jika batal demi hukum semua akibat yang ditimbulkan oleh karenanya dianggap tidak pernah terjadi. Di dalam putusan perkara perselisihan hasil pemilukada No. 57/PHPU.D-VI/2008, 8 Januari 2009, MK pernah menyatakan batal demi hukum (void ab initio) Pemilukada Kabupaten Bengkulu Selatan untuk periode 2008-2013. Pemenang pemilu (Pihak Terkait) tidak berhak menjadi calon kepala daerah, dan karenanya keikutsertaannya sejak semula adalah batal demi hukum (void ab initio).

Selanjutnya, tidak hanya putusan berlaku surut, MK pernah memutuskan sebuah undang-undang meski dinyatakan inkonstitusional, akan tetapi kekuatan tidak mengikatnya berlaku tidak pada saat dinyatakan inkonstitusional. Mahkamah menyatakan tidak mengikat Pasal 53 UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi ditangguhkan sampai jangka waktu diadakan perubahan paling lambat sejak 3 tahun sejak 19 Desember 2006. Artinya putusan akibat putusan terhadap undang-undang tidak berlaku sejak dibacakan atau berlaku surut ke belakang.

MK dalam putusan 6 Agustus 2009, No. 110-111-112-113/PUU-VII/2009 dalam pertimbangannya menyatakan, “…..Dalam bidang hukum tata negara, dengan muatan dan bidang Undang-Undang yang beragam, dapat dipastikan adanya kepentingan hukum tertentu yang dilindungi oleh UUD 1945, menyangkut status atau kedudukan yang lahir dari keterpilihan melalui proses pemilihan umum, baik yang diputuskan oleh Mahkamah melalui pengujian Undang-Undang yang terkait erat dengan keterpilihan calon melalui metode penghitungan suara dan penentuan kursi, maupun melalui sengketa atau perselisihan hasil pemilihan umum. Akibat hukum putusan demikian dipastikan harus mengikat secara surut pada keterpilihan dan perolehan suara tersebut, baik dengan putusan yang mengukuhkan maupun membatalkan penetapan suara dan perolehan kursi yang ditentukan oleh Komisi Pemilihan Umum. Tanpa keberlakuan surut demikian maka tujuan perlindungan konstitusional yang secara rasional diletakkan pada penyelesaian sengketa hasil pemilihan umum dan pengujian Undang-Undang yang berdampak pada status atau kedudukan hukum seseorang tidak akan tercapai, sebagaimana menjadi maksud konstitusi dan hukum yang berlaku”

Selanjutnya, Mahkamah berpendapat, “…….Oleh karenanya prinsip non-retroaktif akibat hukum satu putusan Mahkamah bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak,sebagaimana juga secara tegas dimuat dalam UU MK berbagai negara yang memiliki MK. Untuk bidang Undang-Undang tertentu, pengecualian dan diskresi yang dikenal dan diakui secara universal dibutuhkan karena adanya tujuan perlindungan hukum tertentu yang hendak dicapai yang bersifat ketertiban umum (public order). Terlebih lagi dalam putusan yang bersifat memberi tafsiran tertentu sebagai syarat konstitusionalitas satu norma (interpretative decisions), putusan demikian secara alamiah harus selalu berlaku surut terhitung sejak diciptakannya peraturan perundang-undangan yang ditafsirkan tersebut, karena memang dimaksudkan merupakan makna yang diberikan dan melekat pada norma yang ditafsirkan. Oleh sebab itu meskipun UU MK menentukan putusan Mahkamah bersifat prospektif akan tetapi untuk perkara a quo, karena sifatnya yang khusus, maka putusan a quo harus dilaksanakan berlaku surut untuk pembagian kusi DPR, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota hasil Pemilu Legislatif Tahun 2009 tanpa ada kompensasi atau ganti rugi atas akibat-akibat yang terlanjur ada dari peraturan-peraturan yang ada sebelumnya”

Dengan pertimbangan tersebut, Mahkamah dalam amar putusannya setelah menyatakan Pasal 205 ayat(4), Pasal 211 ayat (3) dan Pasal 212 ayat (3) UU 10/2008 konstitusional bersyarat sepanjang diartikan sesuai putusan MK dan juga memerintahkan Komisi Pemilihan Umum melaksanakan penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tahap kedua hasil pemilihan umum tahun 2009 berdasarkan Putusan Mahakamh ini. (Miftakhul Huda)

(Sumber: Majalah Konstitusi No. 31-Agustus 2009)