Rabu, 27 Januari 2010

“Forum Privilegiatum”


Oleh Miftakhul Huda*

Forum Privilegiatum adalah hak khusus yang dimiliki oleh pejabat-pejabat tinggi untuk diadili oleh suatu pengadilan yang khusus/tinggi dan bukan oleh pengadilan negeri (J. C. T. Simorangkir dkk, Kamus Hukum, Aksara Baru, 1983, hal. 62-63). Sedangkan Saldi Isra mendefinisikan sebagai “Pemberhentian pejabat tinggi negara, termasuk presiden, melalui proses peradilan khusus (special legal proceedings). Pejabat yang dianggap melanggar hukum diberhentikan melalui mekanisme pengadilan yang dipercepat tanpa melalui proses dari tingkat bawah (konvensional)”.

Hak-hak khusus ini berlaku bagi pejabat-pejabat tinggi tertentu untuk dituntut dan diadili bukan oleh pengadilan biasa (pengadilan negeri) tetapi oleh pengadilan banding atau oleh Mahkamah Agung (MA) sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir. Hak khusus atau istimewa bagi pejabat-pejabat tertentu ini yang sudah dikenal sejak zaman Hindia Belanda dan disebutkan secara tegas dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950.

Pasal 106 UUDS 1950 menyatakan: “Presiden, Wakil Presiden, Menteri-menteri, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Mahkamah Agung, Djaksa Agung pada Mahkamah Agung, Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Dewan Pengawas Keuangan, Presiden Bank-Sirkulasi dan juga pegawai-pegawai, anggota-anggota majelis-majelis tinggi dan pejabat-pejabat lain yang ditunjuk dengan undang-undang, diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi juga oleh Mahkamah Agung, pun sesudah mereka berhenti, berhubung dengan kejahatan dan pelanggaran lain yang ditentukan dengan undang-undang dan yang dilakukkannya dalam masa pekerjaannya, kecuali jika ditetapkan lain dengan undang-undang”. Menurut Soepomo (1950), pada pasal-pasal UUDS 1950 diambil begitu saja dari isi Konstitusi RIS dan berdasar dokumen resmi atau pembicaraan di parlemen yang menurutnya tidak disinggung sebab-sebabnya.

Adapun semasa berlakunya UUD 1945, meskipun tidak dicantumkan dalam konstitusi Proklamasi, forum privilegiatum diakui pertama kali dengan mengatur di dalam UU No. 9 Tahun 1948 tentang Kedudukan Hukum Anggota-Anggota (Badan Pekerja) Komite Nasional Pusat yang ditetapkan pada 14 April 1948. Pasal 3 ayat (2) menyebutkan, ”Anggota Komite Nasional Pusat yang melakukan kejahatan dan pelanggaran dalam ia menjalankan hak dan kewajibannya sebagai Anggota Komite Nasional Pusat di luar rapat-rapat (Badan Pekerja) Komite Nasional Pusat dengan menyimpang dari ketentuan yang berlaku untuk Mahkamah Agung diadili oleh Mahkamah Agung dalam peradilan pertama dan terakhir”. Ayat (3) menyatakan, ”Perkara-perkara diluar daripada yang disebutkan dalam ayat (2) pasal ini tetap diadili oleh pengadilan biasa”.

Dalam UU Darurat No. 29 Tahun 1950 tentang Penetapan Kejahatan-Kejahatan dan Pelanggaran-Pelanggaran yang dilakukan dalam Masa Pekerjaan oleh Para Pejabat, yang Menurut Pasal 148 Konstitusi Republik Indonesia Serikat dalam Tingkat Pertama dan Tertinggi diadili oleh Mahkamah Agung Indonesia, Pasal 1 menyatakan, "Para penjabat yang termaktub dalam Pasal 148 Konstitusi Republik Indonesia Serikat, diadili dalam tingkat pertama dan tertinggi oleh Mahkamah Agung Indonesia pun sesudah mereka berhenti, berkenaan dengan kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran jabatan ataupun kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang lain yang dilakukannya dalam masa pekerjaannya yaitu sebagai disebutkan di bawah ini:
a. Kejahatan-kejahatan yang diancam dengan hukuman mati; 
b. Kejahatan-kejahatan yang termaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Buku Kedua Titel-titel I, II, dan III;
c. Kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya dalam keadaan yang memberatkan kesalahannya sebagaimana termaksud dalam Pasal 52 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana".

Oleh karenanya, hak-hak khusus ini hanya dimiliki orang-orang di atas untuk diadili oleh MA dalam hal melakukan kejahatan atau pelanggaran tertentu dalam jabatan. Dalam praktik ketatanegaraan, Menteri Negara Sultan Hamid pernah dituntut oleh Jaksa Agung R. Soeprapto di MA dengan majelis hakim yang diketuai Ketua MA, Mr. Wirjono Prodjodikoro dalam forum privilegiatum dengan hukuman 10 tahun dari tuntutan 18 tahun. Jenderal Nasution, Kemal Idris, Menteri Kehakiman Djodi Gondokusumo, Menteri Luar Negeri Ruslan Abdulgani, dan Menteri Kemakmuran Mr. Isqak pernah diperiksa berkaitan perlakuan khusus semasa berlakunya forum privilegiatum semasa Jaksa Agung R. Soeprapto.

Menurut penulis, proses permintaan pertanggungjawaban Presiden dan/Wakil Presiden melalui forum politik di DPR dan MPR dan proses peradilan di MK dapat dikatakan perpaduan dua konsep pemberhentian pejabat dalam hukum tata negara yang disebut impeachment dan forum privilegiatum secara terbatas. Artinya, dakwaan DPR terhadap pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden hanya dapat dilakukan melalui proses impeachment di MPR setelah terbukti kebenaran pendapat DPR melalui proses peradilan ketatanegaraan di MK.

Namun putusan MK adalah terbatas membenarkan pendapat DPR apabila terbukti dan final secara yuridis dan mengikat DPR selaku pihak yang mengajukan permohonan (Pasal 19 ayat (3) PMK No.21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus Pendapat DPR Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden). MK tidak berwenang memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden di mana hal demikian menjadi kewenangan MPR. Selain itu juga mengenai sanksi pemidanaan, sanksi administrasi, atau perdata terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden tunduk kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk semua warga negara (equality before the law). Pasal 20 PMK No. 21 Tahun 2009 menentukan: “Putusan Mahkamah yang mengabulkan permohonan DPR tidak menutup kemungkinan diajukannya Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam persidangan pidana, perdata, dan/ atau tata usaha negara sesuai dengan asas dan hukum acara masing-masing”. Proses pendakwaan dan pemberhentian Presiden dan Wakil Presiden berbeda dengan pemberhentian pejabat negara lain, sedangkan terkait masalah hukum lanjutan yang lain diperlakukan sama sebagaimana warga negara lain.

Sebagai bahan perbandingan, pemeriksaan terhadap pejabat-pejabat publik (pimpinan dan anggota DPR, kepala daerah/wakil kepala daerah, pimpinan dan hakim konstitusi, pimpinan dan hakim agung, pimpinan dan anggota BPK, pimpinan dan anggota Dewan Gubernur BI, jaksa agung dsb) memerlukan ijin Presiden dengan pengaturan yang berbeda-beda. Sedangkan pemeriksaan terhadap Presiden, Wakil Presiden, Menteri, dan Pejabat setingkat menteri tidak diatur mengenai bagaimana perizinan pemeriksaan atas tindakan hukum oleh penegak hukum. Kewenangan khusus dimiliki KPK tanpa proses perijinan tersebut sepanjang diatur oleh UU KPK. Pengaturan mengenai proses izin pemeriksaan dan hak-hak khusus untuk diadili dalam lembaga peradilan yang berbeda menjadi hal yang penting untuk didiskusikan kembali.

Tulisan dengan referensi terbatas sebagai pengantar ini pernah di muat di Majalah Konstitusi, lupa bulan dan tahunnya. Akan disambung lebih mendalam dalam tulisan lain.

* Pemerhati Hukum Tata Negara, Redaktur Majalah Konstitusi