Rabu, 27 Januari 2010

“Impeachment”



Oleh Miftakhul Huda*

Impeachment menurut Black's Law Dictionary adalah sebagai “A criminal proceeding against a public officer, before a quasi political court, instituted by a written accusation called ‘articles of impeachment”(Lihat Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary: Definitions of the Terms and Phrases of American and English Jurisprudence, Ancient and Modern, St. Paul, Minn.: West Group,1991, hlm. 516) Sementara Encyclopedia Britanica mengartikan sebagai “a criminal proceeding instituted against a public official by a legislative body”.

Impeachment adalah sebuah proses pidana terhadap pejabat publik yang dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan quasi political court. Proses impeachment diawali dengan adanya articles of impeachment, sebagaimana layaknya surat dakwaan dalam peradilan pidana. impeachment oleh karenanya merupakan proses pendakwaan perbuatan menyimpang dari pejabat publik. Yang perlu digarisbawahi bahwa proses impeachment adalah sidang politik sebagai kontrol parlemen terhadap pejabat publik, sehingga sanksi yang dijatuhkan bukan sanksi penjara (kurungan) atau denda sebagaimana putusan lembaga peradilan umum.

Pengaturan impeachment di Amerika Serikat diatur dalam Article 2 Section 4 yang menyatakan, “The President, Vice President, and all civil officers of the United States, shall be removed from office on impeachment for and conviction of treason, bribery, or other high crimes and misdemeanors”. Ketentuan impeachment dalam Konstitusi Amerika Serikat inilah yang banyak mempengaruhi rumusan konstitusi di beberapa negara, termasuk Indonesia. Padahal sejatinya impeachment berasal dari abad 14 di Inggris.

Jika dilihat dari pengertian diatas, objek impeachment tidak hanya seorang Presiden atau Wakil Presiden akan tetapi juga para pejabat publik lain dan orang-orang yang powerful. Namun di berbagai negara hal demikian ditentukan berbeda-beda dalam konstitusinya. Di Amerika Serikat, The House of Representatives (DPR) berkuasa mendakwa Presiden, Wakil Presiden, hakim-hakim, dan pejabat sipil lainnya dari pemerintahan federal, sedangkan Senat yang mengadili semua tuntutan tersebut. Sedangkan di Indonesia ditetapkan hanya Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

Mengenai alasan pendakwaan (impeachment) di tiap negara menentukan berbeda-beda, yakni terdapat negara yang menerapkan hanya pelanggaran hukum yang bersifat pelanggaran pidana atau pelanggaran yang lebih bersifat tata negara yang menjadi dasar pendakwaan. Untuk pelanggaran pidana misalkan diatur dalam Konstitusi Amerika Serikat dengan alasan-alasan: treason, bribary or other high crimes and misdemeanor (Pasal 2 ayat (4)) dan Konstitusi Perancis dengan: only the case of high treason (Pasal 68). Sedang Konstitusi Jerman mengaitkan tidak hanya pelanggaran pidana dan tata negara, tetapi juga pelanggaran-pelanggaran hukum lainnya yaitu: “The Bundestag or the Bundesrat may impeach the Federal President before the Federal Constitutional Court for wilful violation of this Basic Law or any other federal statute”. Presiden dapat di-impeach, baik karena didakwa melanggar UUD ataupun UU Federal lainnya.

Sebelum Perubahan UUD 1945, seorang Presiden/Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatanya karena dianggap sungguh-sunggug melanggar haluan negara dalam sebuah Sidang Istimewa (SI) MPR. Jika dalam fungsi pengawasannya DPR mengganggap Presiden telah sunggung-sungguh melanggar haluan negara, DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan Presiden. Dalam waktu tiga bulan jika presiden tidak mengindahkan memorandum yang pertama maka DPR dapat menyampaikan memorandum yang kedua. Jika dalam waktu satu bulan memorandum kedua tersebut Presiden tidak mengindahkan maka DPR dapat meminta MPR mengadakan SI MPR untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. (Pasal 7 Tap MPR No. III/MPR/1978).

SI MPR terselenggara atas permintaan dengan mekanisme memorandum yang sebelumnya menggunakan fungsi pengawasan dengan hak interpelasi atau hak angket. Sidang pertanggungjawaban Presiden dan/Wakil Presiden ini hanya dapat terjadi jika atas permintaan DPR. Seorang Presiden, Ketua MPR atau lembaga dan pejabat lain tidak berhak meminta MPR untuk menyelenggaran SI ini. Sungguh-sungguh melanggar haluan negara selama ini dalam praktek ditafsirkan sendiri oleh MPR apa yang disebut sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Kasus SI MPR meminta pertanggungjawaban Soekarno, Habibie, dan Gus Dur oleh MPRS/MPR dapat dilihat alasan-alasan yang digunakan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. Berkenaan dengan ketentuan sebelum Perubahan UUD 1945, ada pendapat yang mengaggap kita tidak mengenal impeachment dan pendapat sebaliknya menyebut sistem kita mengakui impeachment meski dalam sistem ketatanegaraan kita materi yang didakwakan bukan pelanggaran pidana, akan tetapi pelanggaran haluan negara.

Pasca Perubahan UUD 1945, alasan pemberhentian Presiden dirumuskan berdasarkan ketentuan yang limitatif dalam UUD, yakni: 1) apabila terbukti Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun 2) apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Ketentuan pemberhetian Presiden dan/ Wakil Presiden saat ini meski tetap subjektif, akan tetapi lebih terperinci tidak sebagaimana ketentuan sebelumnya. Jadi tidak dapat pemberhentian karena hal-hal yang remeh atau kecil atau karena kebijakan yang tidak didukung parlemen sebagaimana dalam sistem parlementer.

Selain itu, pemberhentian Presiden/Wakil Presiden harus melalui proses hukum di Mahkamah Konstitusi (MK) apakah benar dan terbukti pelanggaran yang dituduhkan sesuai UUD. Sebelum DPR mengajukan usul pemberhentian, DPR harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa dan mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa terjadi pelanggaran hukum, perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden. Pengajuan permintaan harus mendapat persetujuan 2/3 jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Jika MK menganggap terbukti, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden kepada MPR. Keputusan pemberhentian sendiri harus diambil dalam rapat paripurna yang sekurang-kurangnya dihadiri ¾ jumlah anggota dan dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/ atau Wakil Presiden diberikan kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

* pengamat masalah hukum dan ketatanegaraan