Kamis, 28 Januari 2010

"Konvensi Ketatanegaraan"

Konvensi ketatanegaraan pertama kali dikemukakan A.V. Dicey dalam An Introduction to the Study of the Constitution (1967) dengan istilah the Convention of the Constitution dan kadang kala menggunakan istilah understandings of the constitution, constitutional ethics, constitutional morality. Konvensi sebagai ketentuan ketatanegaraan tidak dapat dipaksakan oleh (melalui) pengadilan yang membedakan dengan the law of the constitution (hukum konstitusi). Rules for determining the mode in which the discretionory powers of the crown or of the Ministers as servants of the Crown ought to be exercises.

Apabila pendapat Dicey diperinci lebih jauh menurut Bagir Manan dalam Konvensi Ketatanegaraan (1987) akan merupakan hal-hal berikut: a) Konvensi adalah bagian dari kaidah ketatanegaraan (konstitusi) yang tumbuh, diikuti dan ditaati dalam praktek penyelenggaraan Negara. b) Konvensi sebagai bagian dari konstitusi yang tidak dapat dipaksakan oleh (melalui) pengadilan. c) Konvensi ditaati semata-mata didorong oleh tuntutan etika, akhlak atau politik dalam penyelenggaraan negara. d) Konvensi adalah ketentuan-ketentuan mengenai bagaimana seharusnya (sebaiknya) discretionary powers dilaksanakan.

Pengertian yang dilakukan Dicey diatas hampir diterima di Inggris dan negara-negara bersistem ketatanegaraan yang terpengaruh sistem tata negara Inggris. Namun mengenai tidak dapat dipaksakan oleh pengadilan tidaklah bebas dari persoalan. Jennings menyatakan banyak sekali peraturan perundang-undangan baru yang dilaksanakan atau penaatannya semata-mata diserahkan pihak administrasi negara atau atau pejabat yang bukan peradilan. Kata Dicey, konvensi ketatanegaraan adalah kaidah-kaidah (hukum) kebiasaan di bidang ketatanegaraan. Kaidah (hukum) kebiasaan terdapat juga pada hukum lain, seperti di bidang keperdataan atau perniagaan. Oleh karena itu, prinsip-prinsip umum yang berlaku pada kaidah hukum kebiasaan kemungkinan diskusi dan dilaksanakannya oleh (melalui) pengadilan.

Di Inggris, suatu kebiasaan dapat diakui atau dipaksakan oleh (melalui) pengadilan, asal memenuhi kriteria yaitu: a. tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; b. tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar common law; c. telah ada untuk jangka waktu yang panjang; d. telah dilaksanakan secara damai dan berkelanjutan; e. dipandang oleh masyarakat sebagai kewajiban; f. mempunyai arti dan ruang lingkup tertentu; g. Diakui sebagai sesuatu yang mengikat oleh mereka yang terkena; h. Layak, tidak bertentangan dengan hak dan tidak merugikan atau menimbulkan ketidakadilan bagi mereka yang berada di luar kebiasaan itu. Sedangkan di Amerika serikat, hanya syarat reasonable yang menjadi ukuran. Di Negara-negara kontinental, kebiasaan akan mempunyai mengikat hukum jika dipenuhi syarat-syarat opinion necessitatis, pengakuan kebiasaan itu mempunyai kekuatan mengikat dan karena itu wajib ditaati.

Wheare (1966) membedakan usage dengan convention. Konvensi adalah ketentuan-ketentuan yang mempunyai kekuatan mengikat. Ketentuan yang diterima sebagai kewajiban dalam menjalankan Undang-Undang Dasar. Berbeda dengan usage yang semata-mata daya ikatnya bersifat persuasif. Jadi unsur konvensi adalah obligatory. Hal yang sama terjadi dalam opinio necessitatis dalam sistem kontinental. Konvensi berkembang karena kebutuhan dalam praktek penyelenggaraan negara dan terbentuk melalaui praktek yang berulang-ulang yang tumbuh menjadi kewajiban. Konvensi dapat terjadi melalui kesepakatan-kesepakatan tertulis yang mengikat tanpa dikaitkan dengan waktu tertentu sebagaimana konvensi yang tumbuh melalui kebiasaan.

Konvensi ketetenegaraan pernah menjadi pertimbangan MK dalam putusan perkara Nomor 51-52-59/PUU-VI/2008 tanggal 18 Pebruari 2009. Dalam pengujian Pasal 3 Ayat (5) UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden tersebut MK berpendapat sebagai berikut:
“Bahwa terhadap Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008 Mahkamah berpendapat bahwa hal tersebut merupakan cara atau persoalan prosedural yang dalam pelaksanaannya acapkali menitikberatkan pada tata urut yang tidak logis atas dasar pengalaman yang lazim dilakukan. Apa yang disebut dengan hukum tidak selalu sama dan sebangun dengan pengertian menurut logika hukum apalagi logika umum. Oleh sebab itu, pengalaman dan kebiasaan juga bisa menjadi hukum. Misalnya, Pasal 3 ayat (5) berbunyi, “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan Pemilu DPR, DPRD dan DPD”. Pengalaman yang telah berjalan ialah Pemilu Presiden dilaksanakan setelah Pemilu DPR, DPD, dan DPRD, karena Presiden dan/atau Wakil Presiden dilantik oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat [Pasal 3 ayat (2) UUD 1945], sehingga Pemilu DPR dan DPD didahulukan untuk dapat dibentuk MPR. Lembaga inilah yang kemudian melantik Presiden dan Wakil Presiden, oleh karenanya harus dibentuk lebih dahulu. Sesungguhnya telah terjadi apa yang disebut desuetudo atau kebiasaan (konvensi ketatanegaraan) telah menggantikan ketentuan hukum, yaitu suatu hal yang seringkali terjadi baik praktik di Indonesia maupun di negara lain. Hal ini merupakan kebenaran bahwa “the life of law has not been logic it has been experience”. Oleh karena kebiasaan demikian telah diterima dan dilaksanakan, sehingga dianggap tidak bertentangan dengan hukum. Dengan demikian maka kedudukan Pasal 3 ayat (5) UU 42/2008adalah konstitusional”. (Miftakhul Huda)

Sumber: Majalah Konstitusi No.34 Nopember 2009