Selasa, 12 Januari 2010

Mengenang Pemakzulan Gus Dur dalam SI MPR

Sebuah Peristiwa Pendorong Kekuasaan MPR Dibatasi, Pemberhentian Presiden Tidak Berdasar Kekuatan Politik, dan Mahkamah Konstitusi Dibentuk

Oleh Miftakhul Huda*

Sejak berdirinya Republik Indonesia pergantian presiden selalu diwarnai kontroversi, termasuk pemakzulan atau pemberhentian Gus Dur sebagai Presiden. Penulis mengingat jelas pencabutan mandatnya dalam proses Sidang Istimewa (SI) MPR melalui proses politik dan dugaan yang kabur sampai saat ini. Perseteruan dua lembaga ini memang menguntungkan DPR saat kondisi kekuasaan legislatif sangat besar, disisi lain kekuasaan Presiden di-”preteli” melalalui amandemen pertama dan kedua UUD 1945 (1999-2000). Kekuasaan yudisial sebagai kekuatan penyeimbang belum mampu mengontrol kedua kekuasaan ini karena materi amandemen konstitusi belum menyentuh kekuasaan kehakiman.

Pengaturan mengenai sengketa lembaga negara dan pemberhentian presiden dengan keberadaan Mahkamah Konstitusi (MK) baru ditetapkan dalam amandemen ketiga dan keempat (2001-2002). Penulis hanya mengetengahkan peristiwa-peristiwa di sekitar pemberhentian dan bagaimana hukum konstitusi mengatur sebuah proses politik yang sering diabaikan, terkait SI MPR yang hanya mengedepankan kekuatan politik. Secara singkat diulas pertanggungjawaban Gus Dur berdasarkan dasar hukum, sifat, prosedur dan materi pertanggungjawaban Presiden dalam kerangka sistem presidensial dalam pemahaman penulis mengenai hukum tata negara.

Ektra-Konstitusioal
Batang Tubuh UUD 1945 sebelum amandemen memang tidak ditemukan Presiden harus bertanggungjawab kepada MPR. Presiden bertanggung jawab diatur dalam Penjelasan UUD 1945 dan Tap MPR. Penjelasan sebagai commentary on the constitution tidak pernah ditetapkan PPKI pada 18 Agustus 1945 dan menjadi tafsiran resmi sejak dimuat dalam Berita Republik Indonesia (BRI) Tahun II No. 7 pada tanggal 15 Februari 1946 ditempatkan terpisah dengan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. BRI sendiri koran biasa yang dikeluarkan pemerintah yang tidak dimaksudkan sebagai tempat pengundangan resmi. Dengan Dekrit Presiden, penjelasan kembali dimuat bersama-sama dalam naskah UUD 1945 dalam Lembaran Negara RI No.75 Tahun 1959.

Keberadaan Tap MPR sendiri lahir dalam praktek sebagai produk MPR yang mengikat keluar selain Undang-Undang Dasar (UUD). Tap MPR sendiri keabsahan kedudukannya dengan diakui melalui Tap pada 1966. Produk Tap MPR pertama kali dikeluarkan pada 1960 dan kemudian berulang-ulang dikeluarkan yang merambah materi yang sebenarnya materi muatan konstitusi. Produk ini semula tidak dikenal dalam UUD 1945 sebagai jenis peraturan perundang-undangan. Peraturan dibawah UUD adalah UU yang dibentuk oleh Presiden dan DPR. Kedudukan penjelasan dan Tap MPR dalam kajian hukum tata Negara selama ini memang kontroversial. Yang pasti, pertanggungjawaban Presiden adalah ekstra-konstitusional yang dapat ditemukan dalam penjelasan yang berbunyi: “Majelis inilah yang memegang kekuasaan tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, bertunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis”.
Sedangkan Pasal 5 Tap MPR No. III/MPR/1978 menyatakan: (1) Presiden tunduk dan bertanggungjawab kepada Mejelis dan pada akhir masa jabatannya memberikan pertangungjawaban atas pelaksanaan Haluan Sidang Majelis. (2) Presiden wajib memberikan pertanggungjawaban dihadapan Sidang Istimewa Majelis yang khusus diadakan untuk meminta pertanggungjawaban Presiden dalam pelaksanaan Haluan Negara yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar dan Mejelis.

Dengan dirumuskannya pemberhentian Presiden tersebut, maka Pasal 8 UUD 1945 menjadi berubah maknanya menjadi: ”Jika Presiden mangkat, berhenti, tidak dapat melakukan kewajiban, atau diberhentikan karena melanggar haluan negara, maka ia diganti oleh Wakil Presiden sampai habis masa jabatannya”. Ketentuan pertanggungjawaban memang mestinya dirumuskan dalam materi muatan konstitusi dan bukan diatur dalam peraturan di luarnya karena pentingnya soal pengisian jabatan. Namun, perumusan pertanggungjawaban ini telah mengisi ruang kosong kekuasaan eksekutif agar dikontrol oleh kekuasaan lain.

Pertanggungjawaban Bersanksi
Umumnya para ahli sepakat bahwa pertanggungjawaban Presiden adalah dalam arti luas, yaitu dengan sanksi. Oleh karenanya, Presiden dalam masa jabatannya selama lima tahun dapat sewaktu-waktu dijatuhkan sebelum jabatannya berakhir. Berbeda dengan sifat pertanggungjawaban menurut Konstitusi RIS adalah tanpa sanksi, yakni DPR tidak dapat memaksakan kabinet atau menteri-menteri meletakkan jabatannya dan sebaliknya Presiden tidak dapat membubarkan DPR. Sedangkan menurut UUD 1950 memungkinkan kabinet diberhentikan karena mosi tidak percaya dan sebaliknya Presiden dapat membubarkan DPR.

Pada dasarnya dengan kembalinya kita kepada UUD 1945 dengan Dekrit Presiden pada dasarnya kita menolak sistem parlementer yang berlaku sebelumnya. Sebagaimana menurut Soepomo sistem ini merupakan jelmaan demokrasi liberal, dimana kedudukan menteri tergantung kepercayaan parlemen (vertrouwengvotum). Walaupun harus diakui masa berlakunya demokrasi liberal di Indonesia tidak pernah sekalipun terdapat kabinet dijatuhkan karena mosi tidak percaya parlemen atau pertanggungjawaban ditolak. Namun, hal-hal di luar parlemen dengan suasana demokrasi liberal lebih banyak berpengaruh terhadap jatuh-bangunnya kabinet. Dengan kembali kepada UUD 1945 semestinya dimaknai penolakan sistem parlementer karena menciptakan ketidakstabilan pemerintahan yang diperparah dengan sitem multi partai dengan tanpa satu pun partai sebagai pemenang mayoritas di parlemen.

Jadi, pada dasarnya konstitusi kita menghendaki kekuasaan presiden adalah kuat, terbukti dengan kekuasaan pemerintahan dan tanggung jawab ada di tangan presiden (concentration of power and responsibility upon president). Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR, akan tetapi MPR. Selain itu, Presiden hanya dapat dijatuhkan berdasar alasan “sunggguh-sungguh melanggar haluan negara” dan bukan berkenaan dengan kebijakan yang dikeluarkan presiden (beleid). Keberadaan Sidang MPR yang ditentukan oleh konstitusi kita hanya terdapat Sidang Umum awal masa keanggotaan dan Sidang Istimewa menunjukkan juga kekuasaan presiden yang kuat.

Selain itu, kedudukan presiden tidak semata-mata kepercayaan DPR ataupun MPR.
Menurut UUD 1945, dasar pergantian presiden adalah jika presiden mangkat, berhenti dan tidak dapat melakukan kewajibannya. Sehingga dengan keberadaan pemberhentian karena melanggar haluan negara maka terdapat penambahan dasar pergantian sesuai UUD 1945, yaitu seorang Presiden dapat diganti karena sungguh-sungguh melanggar haluan negara. Dengan demikian, sistem yang dikehendaki UUD kita ini sebelum amandemen adalah sebuah pemerintahan yang stabil untuk menjamin segala usaha negara untuk mewujudkan cita-cita rakyat terselenggara dengan baik tanpa harus takut dan hawatir hidup dan matinya tergantung kepercayaan parlemen. Kehawatiran terjadi juga jika sewaktu-waktu prseiden diganti karena sebuah kebijakan yang dikeluarkan olehnya.

Keluar Jalur Memorandum
Jika dalam fungsi pengawasannya DPR sebagai unsur utama MPR mengganggap presiden telah sunggung-sungguh melanggar haluan negara, DPR menyampaikan memorandum untuk mengingatkan presiden. Dalam waktu tiga bulan jika presiden tidak mengindahkan memorandum yang pertama maka DPR dapat menyampaikan memorandum yang kedua. Jika dalam waktu satu bulan memorandum kedua tersebut presiden tidak mengindahkan maka DPR dapat meminta MPR mengadakan Sidang Istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden. (Pasal 7 Tap MPR No. III/MPR/1978)

Secara yuridis dengan ketentuan ini, sebagaimana telah diputuskan DPR pada 30 Mei 2001 bahwa SI MPR akan digelar pada 1-7 Agustus 2001 dengan agenda meminta pertanggungjawaban presiden (Pasal 33 Tap MPR No.II/MPR/2000). Artinya SI MPR hanya bisa diselenggarakan atas inisiatif sebuah lembaga DPR dan melalui tahapan dan waktu yang ditetapkan tersebut karena dugaan terjadi pelanggaran haluan negara. Namun, dalam kasus Gus Dur dimana percepatan SI MPR dilakukan dari 1 Agustus 2001 menjadi 23 Juli 2001 adalah bukan berdasarkan inisiatif DPR sebagai sebuah lembaga akan tetapi berdasarkan inisiatif Amien Rais (Pimpinan MPR) saat itu yang kemudian percepatan SI MPR meminta persetujuan rapat paripurna yang berubah menjadi SI MPR (Sabtu, 21/7/2001). Selain itu, SI MPR dilakukan tanpa didahului memorandum DPR yang dalam ketentuan penjelasan dan Tap MPR sendiri harus dilalui.

Penyimpangan hukum dalam SI MPR adalah tidak menindaklanjuti SI MPR pada 1 Agustus 2001 untuk menindaklanjuti permintaan DPR berkenaan hasil Pansus DPR tentang Bulog dan Sumbangan Sultan Brunei. Namun, yang dipermasalahkan kemudian berbelok arah menjadi alasan lain, yaitu pengangkatan Wakapolri Chaeruddin Ismail sebagai Pjs Kapolri. Sebagai reaksi percepatan SI MPR yang berlangsung sangat cepat tersebut Gus Dur meangangap terjadi pelanggaran konstitusi baik dasar pertanggungjawaban Presiden maupun SI MPR yang dipercepat dengan alasan baru.

Akhirnya Gus Dur menetapkan Maklumat 23 Juli 2001 pukul 01.10 yang membekukakan MPR dan DPR, mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan yang diperlukan untuk menyelenggarakan pemilu dalam waktu satu tahun, menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru dengan membekukan Partai Golkar sampai menunggu keputusan Mahkamah Agung. Namun, Maklumat ini tidak didukung TNI dan Polri. Selain itu, merespon Maklumat tersebut, Ketua DPR mengirim surat tanggal 23 Juli 2001 No. KS02/3709/H/DPR/RI dan MA mengeluarkan pertimbangan yang ditandatangani Bagir Manan 23 Juli 2001 yang menyatakan Maklumat bertentangan dengan hukum.

Dari uraian diatas, MPR periode 1999-2004 menurut penulis melakukan penyimpangan mekanisme pertanggungjawaban seorang Presiden, yakni tidak meneruskan mekanisme yang telah dijalankan berkenaan hasil Pansus DPR tentang Bulog dan Sumbangan Sultan Brunei, akan tetapi membelokkannya menjadi SI MPR karena persolan lain yang tidak terkait dengan memorandum DPR I dan II sebelumnya. Lantas bagaimana kejelasan Buloggate dan Bruneigate? Pelaksanaan SI MPR ini menyisakan problem besar apakah masih dalam kerangka memorandum I dan II sesuai dengan Tap MPR No. III/MPR/1978 yang dimintakan DPR, atau karena alasan diluar kerangka memorandum yang tidak berdasar kepada UUD atau Tap MPR yang ditetapkan sendiri. Karena jika apapun yang menjadi dasar pelaksanaan SI MPR dan mekanisme yang tidak taat asas maka betapa pemerintahan sewaktu-waktu bisa dijatuhkan tanpa dasar dan mekanisme yang jelas.

Pergeseran Materi Pertanggungjawaban
Sebagaimana diuraikan diatas, pertanggungjawaban Presiden dalam masa jabatannya dilakuka jika Presiden sunggung-sungguh melanggar haluan negara. ”Sungguh-sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan UUD 1945 atau MPR” menurut penjelasan sebagai alat ukur seorang Presiden dapat diberhentikan MPR. Harus dimaknai bahwa pertanggungjawaban Presiden dalam sistem presidensial sebatas Presiden sebagai kepala eksekutif (chief executive) dan bukan sebagai kepala negara (head of state). Selain itu, sebagai mandataris sebagimana menjalankan UUD dan putusan MPR hanya dalam kaitannya dengan kekuasaannya yang nyata (a real executive), bukan nominal executive yang “can do no wrong”.

Lantas apa yang dimaksud haluan negara? Apakah semua putusan MPR (termasuk UUD) adalah haluan negara? Ataukah terbatas hanya Tap MPR atau Tap mengenai Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan MPR setiap lima tahun sekali? Dalam praktek, MPR memaknai ”Majelis Pemusyawararatan Rakyat menetapkan Undang-Undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan negara” (Pasal 3) tidak hanya mengeluarkan Tap MPR tentang GBHN, tetapi juga berbagai Tap MPR dengan mendasarkan pada ketentuan ini. Tap MPR tentang GBHN sebagaimana diketahui bersama tidak hanya dilaksanakan oleh Presiden saja, akan tetapi juga DPR dan lembaga negara lainnya. Sedangkan Tap MPR lainnya meski dimaksudkan menjabarkan ketentuan UUD yang singkat, banyak justru keluar dari norma konstitusi yang lebih tinggi.

Dalam kaitan ini, menurut penulis GBHN adalah hanya garis-garis besarnya saja, sedangkan haluan negara adalah Pembukaan, Batang Tubuh UUD, Penjelasan dan semua putusan MPR yang konstitusional. Dan pelanggaran haluan negara harus dimaknai pelanggaran dalam kaitannya dengan pelaksanaan kekuasaan Presiden yang dapat dipertanggungjawabkan, yakni kekuasaan eksekutif. Selain itu, pelanggaran haluan negara harus merupakan ”sungguh-sungguh” , karena bisa pelanggaran tersebut belum memenuhi usur sungguh-sungguh, karena hanya rekaan, rekayasa atau hanya dugaan saja.

Dalam konteks Gus Dur, semula materi berkenaan dugaan keterlibatannya dalam penyelewenangan dana Yanatera Bulog dan bantuan sultan Brunei. Sehingga DPR mengeluarkan memorandum I dan II. Namun, berubah ketika dalam perkembangan Presiden mengangkat Wakapolri Chaieruddin Ismail sebagai pemangku sementara jabatan Kapolri tanpa persetujuan DPR. Pemberhentian Gus Dur mirip pertanggungjawaban Soekarno dalam SI MPR 1967. Materi pertanggungjawaban Soekarno tentang pemberontakan kontra-revolusi G30 S/PKI beserta epilognya, kemunduran ekonomi dan kemerosotan akhlaq dan dugaan keterlibatannya semata-mata soal kebijaksanaan (beleid). Persoalan kemerosotan moral dan akhlaq adalah sebuah pertanggungjawaban kabur.
Sementara Gus Dur, mengenai Buloggate dan Bruneigate sudah pada jalurnya, namun harus benar-benar terbukti kebenarannya Presiden sungguh-sungguh melanggar Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas KKN. MPR terbatas menilai pertanggungjawaban pelaksanaan Tap MPR tersebut dan tidak dibenarkan melenceng dengan alasan baru. Namun, secara hukum Presiden Abdurrahman Wahid dinyatakan Kejaksaan Agung tidak terlibat penyalahgunaan dana Yayasan Yanatera Bulog dan sumbangan Sultan Brunei Darusalam, Senin (28/5) pukul 20.25 WIB. (www.tempointeractive.com, 28 Mei 2001 jam 10.05 WIB). Penulis berkesimpulan bahwa materi pertanggungjawaban mengenai hal ini, DPR sendiri tidak yakin kebenarannya apakah terjadi sungguh-sungguh melanggar haluan negara.

Berkenaan pengangkatan Wakapolri Chaieruddin Ismail sebagai pemangku sementara jabatan Kapolri tanpa persetujuan DPR, pada dasarnya tindakan Gus Dur dibenarkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 1997, meski keberadaan Tap MPR No. VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Peran Polri menyatakan harus persetujuan DPR. Apakah tindakan Gus Dur tanpa persetujuan DPR menyalahi peraturan dan asas peraturan perundang-undangan yang baik? Saat itu terdapat dua peraturan, yakni Tap MPR yang menyebutkan harus melalui persetujuan DPR, sedangkan UU No. 28 Tahun 1997 menyatakan tanpa persetujuan. Lantas Gus Dur harus tunduk kepada UU atau Tap MPR?

Menurut asas pembentukan peraturan perundangan-undangan yang baik, bahwa pembentukan sebuah peraturan perundang-undangan harus berdasarkan alasan yang sah. Akan tetapi jika sebuah peraturan bertentangan dengan peraturan lebih tinggi atau tidak memuat alasan yang sah tidak mengurangi kekuatan berlakunya. Dalam sistem perundang-undangan sampai saat ini, tidak dikenal putusan batal demi hukum (nietig van rechtswege) tanpa proses pencabutan. Dalam hukum administrasi, dikenal juga asas contrarius actus, bahwa pencabutan sebuah peraturan hanya dapat dilakukan oleh pembentuknya sendiri atau oleh pembentuk paraturan lebih tinggi. Artinya pembentukan Tap MPR harus ditindaklanjuti perubahan besar-besaran peraturan perundang-undangan yang semula masih banyak mendasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen.

Dengan demikian, UU No. 28 Tahun 1997 masih memiliki kekuatan berlaku mengikat sebagai UU karena DPR sendiri belum melakukan pencabutan, meskipun MPR mengeluarkan Tap MPR yang mengatur berbeda. Menurut penulis, yang harus dimintai pertanggungjawaban justru DPR yang masih mempertahankan UU tersebut dan bukan melakukan perubahan disesuaikan semangat reformasi 1998. Karena ketika Presiden meminta persetujuan DPR, maka tindakan Presiden dapat dianggap pelanggaran sebuah UU No. 28 Tahun 1997 yang masih berkekuatan hukum mengikat dan dapat dipaksakan berlakunya. Yang menarik, DPR yang memiliki kekuasaan legislatif sendiri diberikan amanat dalam waktu enam bulan harus mengganti UU No. 28 Tahun 1997, akan tetapi justru mempersalahkan Presiden karena tindakannya mendasarkan UU tersebut.
Sebagai perbandingan, dalam kasus Kapolri Vs delapan perwira menengah Polri, mengenai apakah Polri tunduk pada Peradilan Umum atau Peradilan Militer? Kapolri sendiri mendasarkan tindakannya pada UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer yang sebenarnya sudah bertentangan dengan Tap MPR No. VII/MPR/2000, yakni Polri tunduk kepada Peradilan Umum. Jika dianalogikan, maka tindakan Polri dan Gus Dur sama-sama mendasarkan UU yang masih berlaku, akan tetapi sudah tidak sesuai dengan putusan MPR. Yang berbeda, tindakan Gus Dur dianggap tidak dibenarkan, sedangkan Kapolri dengan kondisi yang sama tidak dipersoalkan. Perbedaan penafsiran terhadap aturan, dimana Gus Dur yang mengganggap Tap MPR perlu penjabaran dalam UU, sedangkan kalangan DPR menggangap Tap MPR berlaku efektif sejak ditetapkan, berujung agenda percepatan SI MPR yang menjatuhkan Gus Dur.

Sehingga menurut penulis, dari sisi materi atau dasar percepatan SI MPR dari 1 Agustus 2001 menjadi 21 Juli 2001 dengan dalih K.H. Abdurrahman Wahid melanggar Tap MPR No. VII/MPR/2000 karena menetapkan Komjen (Pol) Chaeruddin Ismail sebagai Pemangku Sementara Jabatan Kapolri adalah tidak dapat dibenarkan. Justru tindakan Gus Dur dibenarkan oleh UU yang masih memiliki kekuatan berlaku. Seharusnya DPR yang melakukan penncabutan dan kemudian meminta Gus Dur mematuhi UU yang sesuai dengan Tap MPR yang baru. Tindakan Gus Dur mendasarkan UU adalah sebuah kelaziman dalam asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang dilakukan dalam praktek ketatanegaraan.

Pelajaran Pemberhentian Gus Dur
Sebagaimana sesuai Kompas (22/7/2001), percepatan SI MPR didukung mayoritas di MPR, kecuali oleh anggota Fraksi PKB dan PDKB. Sebanyak 292 anggota MPR dari 601 anggota MPR yang hadir setuju percepatan pelaksanaan SI MPR. Mesti merupakan pelanggaran terhadap Tap MPR No. III/MPR/1978 dan peraturan tata tertib yang berlaku memang suka atau tidak itulah kondisi parlemen saat itu. Pencabutan mandat Gus Dur sebagai Presiden dan digantikan oleh Wakil Presiden telah melalui dukungan mayoritas di MPR adalah pelajaran berharga untuk masa-masa mendatang.

Jika saja MK sudah terbentuk dan MPR seperti saat ini (hampir saja dihapuskan dalam amandemen), tidak mungkin terjadi pelengseran Gus Dur melalui proses mudah dan MPR semata-mata hanya berdasar dukungan politik saja. Pertama, karena materi atau dasar pemberhentian Presiden saat ini dirumuskan berdasar ketentuan yang limitative dalam UUD yakni apabila terbukti Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelang¬garan hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945. Ketentuan pemberhetian presiden saat ini meski tetap sukjektif, akan tetapi lebih terperinci tidak sebagaimana sebelumnya. Jadi tidak dapat pemberhentian terjadi karena hal-hal yang remeh temeh atau kebijakan presiden yang memecat menteri, atau karena tidak lagi mendapatkan dukungan parlemen.

Kedua, pemberhentian seorang Presiden tidak semata-mata hanya melalui proses politikdi DPR dan MPR, akan tetapi melalui proses hukum di MK apakah benar dan terbukti pelanggaran sesuai UUD. Jadi, sebelum DPR mengajukan usul pemberhentian, DPR harus terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada MK untuk memeriksa dan mengadili dan memutus pendapat DPR bahwa terjadi pelanggaran hukum, perbuatan tercela atau tidak memenuhi syarat sebagai Presiden. Selain itu, pendapat DPR harus dalam rangka pengawasan. Pengajuan permintaan harus mendapat persetujuan 2/3 jumlah anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR. Jika MK menganggap terbukti, maka DPR menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden kepada MPR. Keputusan pemberhentian sendiri harus diambil dalam rapat paripurna yang sekurang-kurangnya dihadiri ¾ jumlah anggota dan dan disetujui sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/ atau Wakil Presiden diberikan kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR.

Jadi, proses pemberhentian Presiden melalui mekanisme bertahap dan membutuhkan waktu tidak cepat dan melibatkan DPR, MK dan MPR. Selain DPR harus menggunakan haknya terlebih dahulu dalam fungsi pengawasan, memenuhi korum kehadiran dan pengambilan putusan dan dukungan suara di DPR dan MPR. Selain itu, keberadaan MK yang berkuasa mengadili dan memutus terbukti tidaknya pendapat DPR memiliki prosedur ketat sesuai hukum acara yang berlaku di MK, sehingga benar-benar proses pemberhentian Presiden tidak hanya berdasarkan unsur like and dislike, akan tetapi menggunakan dasar hukum yang jelas dan terukur yang ditetapkan UUD.

MPR saat sekarang tidak lagi memiliki kekuasaan luas seperti saat pemakzulan Gus Dur melalui SI MPR. Saat ini MPR tidak lagi memiliki kekuasaan membentuk peraturan berbentuk Tap MPR hanya digunakan merubah konstiusi secara “terselubung”. Pasal 1 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945 menyatakan, “Kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Selain itu dalam ayat (3) menyebutkan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Sehingga kekuasaan MPR sebatas apa yang dirumuskan dalam UUD dan eksistensi MPR bukan lembaga tertinggi negara yang selama ini mengukuhkan dirinya dapat melakukan apapun.

MPR lupa yang memberikan wewenang MPR adalah UUD yang ditetapkan oleh founding fathers sehingga supremasi MPR harus tunduk kepada supremasi konstitusi. Indonesia tidak dapat disamakan Inggris yang tidak mempunyai konstitusi terdokumentasikan sebagaimana Indonesia dengan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi. Karena dengan MPR mengabaikan UUD dan putusan-putusannya sendiri, yang berlaku negara kekuasaan dan bukan lagi negara hukum.Selain itu, UUD sebagai fundamental law dan perwujudan suara rakyat tertinggi tidak menginginkan dirinya sendiri dinegasikan peraturan yang berkedudukan dibawahnya.

Tulisan ini semata-mata mengemukakan siapa yang bermain di luar jalur hukum. Mengenai Maklumat Presiden 23 Juli 2001 semua orang mengerti tindakan ini tidak akan mendapatkan dukungan MPR/DPR karena Maklumat justru membekukan lembaga ini. Selain itu, dari proses serba cepat dan dasar berubah-ubah menunjukkan lembaga ini tidak menghendaki Gus Dur meneruskan kepemimpinannya. Maklumat ini lebih tepat ditinjau dalam hukum tata negara (HTN) darurat subyektif atau tidak tertulis (Ongeschreven Staatsnoodrecht) karena dasarnya tidak akan ditemukan dalam konstitusi atau peraturan tertulis. Maklumat ini menjadi konstitusional jika dipatuhi dan berjalan efektif di dalam masyarakat dengan dukungan tentara. Namun, penulis memandang tindakan Gus Dur tidak lebih sebagai perlawanan atas kekuasaan MPR saat itu yang melakukan apapun tanpa batas meski bertentangan dengan UUD dan putusannya sendiri.

* Pengamat masalah hukum dan ketatanegaraan
(Dikembangkan dari tulisan penulis tahun 2001 yang berjudul “Pertanggungjawaban Presiden dalam Sistem Pemerintahan Menurut UUD 1945”)