Kamis, 28 Januari 2010

"Putusan Provisi"


Putusan Provisi atau provisionil adalah putusan yang dijatuhkan sehubungan dengan tuntutan dalam pokok perkara, dan sementara itu diadakan tindakan-tindakan pendahuluan untuk kefaedahan salah satu pihak atau kedua belah pihak. Putusan semacam itu banyak dipergunakan dalam acara singkat dan dijatuhkan oleh karena segera harus diambil tindakan. Putusan provisi ini tergolong dalam kategori putusan sela yang berbeda dengan putusan akhir. Di dalam hukum acara perdata, selain putusan provisi terdapat putusan praeparatoir yaitu putusan sela yang dipergunakan untuk mempersiapkan perkara. Juga terdapat putusan insidentil, yaitu putusan sela yang diambil jika terdapat insiden seperti misalkan memperbolehkan seseorang masuk dalam perkara, atau atau adanya penggabungan gugatan yang harus segera diputus, dan lain sebagainya. (Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Mandar Maju, Cet ke-X, 2005, hlm. 46-57, 106-107) Sedangkan Sudikno Mertokusukumo (1988) menyatakan putusan provisionil adalah putusan yang menjawab tuntutan provisionil, yaitu permintaan pihak yang bersangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak, sebelum putusan akhir dijatuhkan. Selain putusan praeparatoir dan insidentil, menurut Sudikno adapula menurut Rv yang dikenal dengan putusan interlocutoir, yakni putusan yang isinya memerintahkan pembuktian, misalkan pemeriksaan saksi atau pemeriksaan setempat. Putusan interlocutoir ini dapat mempengaruhi putusan akhir.

Pengertian kedua ahli hukum ini hampir sama. Sebagaimana putusan sela lain, putusan provisionil ini bersifat sementara sampai adanya putusan akhir yang nantinya memutuskan bagaimana pokok perkara yang bisa memutus menolak, mengabulkan dan tidak dapat menerima. Dalam praktek peradilan perdata, permohonan untuk meminta putusan provisi dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan/gugatan atas pokok perkara atau terpisah, yaitu dengan permohonan yang diajukan lisan atau tertulis setelah permohonan atas pokok perkara diajukan di pengadilan. Kalau permohonan digabung, maka dasar permohonan (fundamentum petendi ) dan pokok permohonan (petitum) diajukan bersama-sama sebagai satu kesatuan. Sedangkan jika dipisah, maka setelah permohonan atas pokok perkara dimajukan, maka permohonan provisi diajukan tersendiri tentunya disertai dengan fundamentum petendi dan petitum yang jelas. Oleh karena permohonan provisi ada karena adanya pokok perkara, maka tidak ada putusan provisi tanpa adanya permohonan terhadap pokok perkara yang dipersengketakan.

Putusan provisi di dalam peradilan perdata, hanya dapat dilakukan oleh hakim pada tingkat pertama dan tidak dapat diajukan kepada pengadilan tingkat banding. Jadi ada batasan-batasan karena sifat sementara putusan ini, maka tidak diperkenankan permohonan provisi ini justru mempermasalahkan soal yang sudah masuk kepada pokok perkara atau tidak ada kaitannya atau keluar jauh atau menyimpang dari tuntutan pokok. Upaya hukum bisa dilakukan atas putusan provisi ini, yaitu dengan melakukan banding 14 hari setelah diucapkan oleh hakim pertama atau sejak diberitahukan kepada para pihak. Putusan ini sangat ketat dilakukan sebagaimana putusan serta merta untuk menghindari penyalahgunaan dengan diharuskan pelaksanaan putusan provisi atas perintah dan dibawah pimpinan ketua pengadilan tingkat pertama dan setelah mendapatkan ijin dari ketua pengadilan tingkat banding.

Dalam permohonan putusan provisi oleh Amrozi dkk dalam perkara pengujian UU No.2/Pnps/1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan tidak menerima permohonan tersebut. MK mempertimbangkan: UU MK tidak mengenal permohonan provisi dalam pengujian undang-undang (UU); dalam setiap pengujian UU, UU yang diuji tersebut tetap berlaku sebelum dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, permohonan provisi dikenal dalam sengketa kewenagan lembaga negara yang diatur dalam Pasal 63 UU MK; bahwa mekanisme permohonan provisi sifatnya harus penting dan mendesak; dan permohonan provisi adalah permohonan yang bersifat sementara dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan pokok permohonan. Sehingga MK mengganggap permohonan provisi yang diajukan tidak berdasar dan beralasan hukum.(Putusan No. 21/PUU-VI/2008, tanggal 21 Oktober 2008)

Dalam perkembangan selanjutnya, dalam permohonan pengujian UU No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang diajukan oleh Bibit- Chandra, MK mengabulkan sebagian permohonan provisi yang diajukan dan menolak permohonan selebihnya. Permohonan yang dikabulkan terbatas yang terkait dengan pengujian UU, yakni menunda penerapan Pasal 32 Ayat (1) huruf c Jo Pasal 32 Ayat (3) UU KPK oleh Presiden, yakni tindakan administrative berupa pemberhentian Pimpinan KPK yang menjadi terdakwa karena melakukan tindak pidana kejahatan.

Pertimbangan hukum MK adalah s e b a g a i b e r i k u t : “……….Ol e h karenanya, meskipun dalam UU MK tidak dikenal putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang, seiring dengan perkembangan kesadaran hukum, kebutuhan praktik dan tuntutan rasa keadilan masyarakat serta dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil, Mahkamah memandang perlu menjatuhkan putusan provisi dalam perkara a quo dengan mendasarkan pada aspek keadilan, keseimbangan, kehati-hatian, kejelasan tujuan, dan penafsiran yang dianut dan telah berlaku tentang kewenangan Mahkamah dalam menetapkan putusan sela.

Menimbang bahwa dalam perkara a quo, terlepas apakah pasal yang dimohonkan penguj ian nant inya akan dinyatakan bertentangan atau tidak dengan UUD 1945, Mahkamah memandang terdapat cukup potensi terjadinya pelanggaran atas kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum [vide Pasal 27 ayat (1) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945], dan kebebasan dari ancaman dari rasa takut untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi [vide Pasal 28G ayat (1)], sehingga Mahkamah harus memainkan peran yang besar dalam mempertegas dan memberikan rasa keadilan dalam perkara a quo melalui putusan provisi yang selengkapnya akan dimuat dalam amar putusan ini. Bahwa proses hukum yang sedang dihadapi oleh para Pemohon adalah proses hukum pidana yang juga menggunakan instrumen hukum pidana yang bukan menjadi ranah kewenangan Mahkamah. Karenanya, Mahkamah tidak berwenang memberikan penilaian terhadap proses hukum yang sedang berjalan sehingga Mahkamah tidak berwenang untuk memerintahkan Kepolisian Negara Republik Indonesia maupun Kejaksaan Agung Republik Indonesia untuk menghentikan sementara proses hukum pidana para Pemohon yang sedang berjalan. Oleh karena itu, Mahkamah tidak dapat mengabulkan permohonan provisi sejauh menyangkut penghentian proses pidana di kepolisian dan kejaksaan.Bahwa dalam praktik pemeriksaan perkara pengujian undang-undang seringkali untuk kasus-kasus tertentu dirasakan perlunya putusan sela dengan tujuan melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat terancam sementara pemeriksaan atas pokok pemohonan sedang berjalan. Bahwa Mahkamah berpendapat putusan sela perlu untuk diterapkan apabila dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak, sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum.

Menimbang bahwa relevansi dan signifikansi diterbitkannya putusan provisi dalam perkara pengujian undang-undang terhadap UUD adalah untuk mencegah terjadinya pelanggaran hak asasi manusia apabila suatu norma hukum diterapkan sementara pemeriksaan atas pokok permohonan masih berjalan padahal hak-hak konstitusional Pemohon yang dirugikan tidak dapat dipulihkan dalam putusan akhir. Dalam perkara a quo putusan sela diperlukan untuk mencegah kemungkinan kerugian konstitusional para Pemohon apabila menjadi terdakwa karena diberhentikan (tetap) oleh Presiden padahal dasar hukum atau pasal undang-undang tentang itu sedang diperiksa dalam pengujian terhadap UUD 1945 di Mahkamah.” (Putusan Sela (provisi) No. 133/PUU-VII/2009, tanggal 29 Oktober 2009) (Miftakhul Huda)

Sumber: Majalah Konstitusi No. 33 Oktober 2009