Jumat, 05 Februari 2010

Menelanjangi Mentalitas Individulistis

Miftakhul Huda, Redaktur Majalah Konstitusi

Buku “Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat” ini semula pidato permulaan (inagurale rede) atau inaugurasi Soepomo sebagai Guru Besar Luar Biasa di Rechtshoogeschool Batavia dengan judul aslinya “De Verhouding van Individu en Gameenshap in het Adatrecht” pada 31 Maret 1941. Soepomo menyampaikan pemikirannya jauh sebelum Indonesia merdeka dan sebelum tersusun konstitusi.

Sopomo mengawali dari kedudukan individu dan masyarakat dalam hukum barat abad ke-19. Pada saat semangat individualisme memuncak di negara-negara barat yang demokratis, dan bisa ditemukan di dalam hukum barat tradisional. Ciri pentingnya adalah kesadaran individu. Sebagai “aku” dirinya terpisah berhadapan dunia di luar “aku”. Dia adalah pusat kekuasaan dan berusaha memperbesar kekuasaannya. Sehingga dunia terdiri dari individu-individu terpisah, sendiri-sendiri, berhadap-hadapan, dan senantiasa berebut kekuasaan. Mula dan akhir segala kejadian hukum adalah individu.


Soepomo mengajak kita menelanjangi mentalitas individualistis. Hukum merupakan penjelmaan sikap individualistis di barat, karena pada hakekatnya sumbernya adalah invidu-individu yang terasing, yang hubungannya hanya sambil lalu, ditetapkannya oleh kemauan merdeka. Sistem hukum demikian, individu dianggap bekerja untuk dirinya sendiri. Kalaupun hak setiap individu dibatasi, hanya seperlunya untuk menjamin terlaksananya hak semua orang secara merdeka. Individu kemudian juga menjelma dalam korporasi, sosial dan negara.

Memang kondisi demikian melahirkan kritik pada abad ke-20 di Eropah oleh Duguit Cs. Fakta yang terjadi tendensi membatasi otonomi perseorangan, guna kebaikan kolektivitas. Akan tetapi menurut Pierre De Harven yang dibenarkan Soepomo, individualisme tidak mati, akan tetapi menjelmakan diri dalam korporasi-korporasi yang lama kelamaan menjadi kekuatan yang besar. Oleh karena itu, kata Soepomo soalnya bukan mendamaikan kepentingan individu dengan masyarakat, akan tetapi menempatkan pribadi dalam masyarakat dan masyarakat dalam pribadi ditempat sebenarnya.

Dalam hukum adat sebaliknya. Individu anggota masyarakat. Yang primer bukan individu, akan tetapi masyarakat. Masyarakat berdiri di tengah kehidupan hukum. Kehidupan individu terutama ditujukan mengabdi kepada masyarakat. Namun, pengabdian tersebut tidak dianggap beban individu dan sebuah pengorbanan. Kewajiban masyarakat dianggap hal yang wajar dari kehidupan manusia. Disamping kewajiban, individu juga memiliki hak-hak. Namun, hak-hak ini sesuai cara berpikir Indonesia, yaitu hak-hak kemasyarakatan. Hak-hak yang diberikan kepada individu berhubungan tugasnya dalam masyarakat.

Sifat Komunal Hukum Adat

Soepomo menunjuk sifat komunal dalam kehidupan hukum kita. Sifat itu berbeda-beda di daerah dan golongan, bisa kuat dan tidak. Proses pembangkitan individu terjadi di lingkungan yang berhubungan lalu lintas modern, akan tetapi individu masih mempunyai kesadaran golongan. Susunan hukum adat menurut Soepomo bermula pada individu yang terikat dengan masyarakatnya. Merdeka tanpa melanggar batas-batas hukum yang ditetapkan baginya, tidak berlaku bagi hukum adat. Individu tidak mempunyai hak-hak abstrak, namun kekuasaan hukum sebagai anggota persekutuan teritorial, genealogis, dan atau persekutuan lain.

Buku ini cukup padat mengungkap kekuasaan hukum di beberapa daerah di nusantara. Gotong royong bagi Soepomo masih penting dan belum hilang sama sekali, meski rasa sosial melemah. Pengadilan hukum adat mendasarkan pada perkara harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya dan agar kembali kepada perdamaian persekutuan. Karena itu, berlaku hakim aktif dalam proses, ia berhak menarik pihak dalam perkara, berhak mengusut sebaik-baiknya kebenaran, berhak mendengar setiap orang, berhak memutus mengakhiri perkara dan lain sebagainya. Hal ini bertentangan dengan hukum sipil Belanda yang bermental individualistis, seperti hakim bersifat pasif dan hakim di larang memutus melebihi permohonan (ultra petita).

Buku tipis ini menarik, karena Soepomo ahlinya hukum adat sekaligus arsitek UUD Proklamasi. Cita negara integralistik yang ditawarkan terkait dengan individualisme barat yang ditolaknya seperti disampaikan dalam sidang BPUPKI. Jika individualisme mulai ditinggalkan dan kolektivitas diberi ruang seluas-luasnya di barat, maka Indonesia berlaku sebaliknya.

Judul : Hubungan Individu dan Masyarakat dalam Hukum Adat
Penulis : Prof. Dr. R. Soepomo
Penerbit : Pradnya Paramita
Tahun : Cet ke-2,1971

(Dimuat di Majalah Konstitusi, No.28 April 2009)