Kamis, 25 Februari 2010

Refleksi Akhir Tahun MK 2009:Pengadilan Progresif Untuk Bangsa

Bangsa dan negara ini menghadapi aneka masalah besar, menggunung, dan berat. Pengadilan hanya menambah beban bangsa jika harapan masyarakat terus dikecewakan. Sebaliknya, pengadilan akan membantu mengurangi beban bangsa jika hakim tidak hanya berpikir menerapkan UU, tetapi secara progresif menjadi vigilante.” (Satjipto Rahardjo: 2007)

Keresahan Almarhum Satjipto Rahadjo juga dirasakan bersama. Bagaimana tidak, sejak 1998 tujuan reformasi hukum belum sepenuhnya tercapai. Perubahan belum menyentuh perilaku yang diharapkan. Hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada 2008 lalu atas judicial system di Asia, masih menempatkan Indonesia sebagai peringkat ke-12, jauh di bawah Singapura pada peringkat ke-2. Hal ini menunjukkan rendahnya kinerja lembaga hukum, dimana praktik mafia peradilan atau judicial corruption masih marak terjadi. Sorotan masyarakat akan rekam jejak buruk lembaga hukum kita tahun ini dengan reaksi keras publik atas proses hukum Bibit Waluyo-Chandra M. Hamzah sebagai upaya melemahkan lembaga yang memberas korupsi.

Benar saat ini proses hukum banyak menyentuh pejabat tinggi, produk UU setiap saat disahkan, dan berbagai institusi dan kebijakan dibentuk. Akan tetapi semuanya baru perubahan bentuk dan sitem ketatanegaran dan banyak sifatnya seremonial dan trend belaka. Reformasi belum menyentuh masalah mendasar perilaku korupsi di semua kalangan dan lapisan masyarakat. Korupsi semakin terbuka dan mewabah di segala penjuru, di daerah-daerah dan segala golongan, jabatan dan lapisan. Di perdengarkannya rekaman pembicaraan di MK membuktikan penegakan hukum diwarnai penghianatan dan ketidakjujuran. Jika penegak hukum mau bertindak korup, maka sistem ideal apapun tidak akan ada artinya. Negara hukum hanya indah tercantum dalam konstitusi tanpa makna dan hanya menjadi klaim bernegara hukum.

Mahkamah Konstitusi (MK) yang lahir dari rahim reformasi sepanjang tahun 2009 berusaha membangun kepercayaan masyarakat. MK menjaga kemandiriannya dan menyiapkan diri sebagai lembaga modern dan terpercaya. Tanpa itu, MK mudah terserang penyakit judicial corruption. Jika lembaga ini menjadi bagian kekuatan hukum yang korup, maka hanya menambah deretan permasalahan. MK membuka akses seluas-luasnya masyarakat untuk mendapat keadilan dengan peradilan berbasis teknologi informasi. Sejak saat pendaftaran sampai putusan dapat diakses baik melalui media, website, dan langsung ke gedung MK. Segala kemudahan didapatkan baik pihak yang berperkara, media massa dan masyarakat umum.

Berbagai upaya dan kegiatan telah dilakukan untuk membangun budaya sadar berkonstitusi. Berbagai kerjasama juga dilakukan baik dalam negeri maupun dengan lembaga-lembaga internasional. Pengetahuan akan konstitusi, hukum, dan khususnya hak-hak konstitusional warga negara, diharapkan masyarakat mengetahui hak-hak konstitusionalnya dan mampu menyelesaikan masalahnya sendiri. Kerja sama sinergis dan memperkuat jaringan telah dilakukan untuk membangun komunitas yang saling mendukung untuk mengatasi persoalan bangsa dan negara.

Semua putusan yang dijatuhkan MK semata-mata mengedepankan keadilan substantif saat berhadapan norma hukum yang justru menimbulkan ketidakpastian hukum dan keadilan. MK bisa tidak menyenangkan penguasa, akan tetapi semata-mata menjaga amanat rakyat dan meluruskan norma sesuai jalur konstitusional. MK sekaligus berusaha mewujudkan tujuan hukum yakni kepastian, keadilan dan kemanfaatan masyarakat. Dengan menghadapi perubahan sosial yang cepat, memang hukum harus dijalankan secara visioner. Sesuai Kata Satjipto hahwa penegakan hukum tidak berhenti menjalankan hukum apa adanya, within the call of law, melainkan menjadi tindakan kreatif, beyond the call law. Perlu keberanian melakukan rule breaking dan tidak hanya menjalankan hukum secara biasa-biasa saja. Perlu keluar dari rutinitas penerapan hukum, out of the box lawyering.

Ambil contoh putusan pemilukada Bengkulu Selatan yang diulang, pemungutan suara ulang dan penghitungan suara ulang di berbagai daerah, dan menyelesaikan permasalahan dengan putusan akhir atas putusan sela tersebut. Kebuntuan penghitungan kursi tahap ketiga dan tahap kedua, MK memberikan tafsir konstitusional atas pasal tersebut dan menyatakan konstitusional bersyarat penghitungan tahap kedua untuk penetapan perolehan kursi DPR bagi partai politik, Lembaga yang mentahbiskan diri sebagai pengawal demokrasi dan penegak keadilan substantif ini juga memperkenankan caleg dan Calon Kepala Daerah dari narapidana dengan syarat-syarat tertentu dan membuka ruang KTP atau Paspor sebagai identitas pemilih. Keberadaan Pasal ”Penyebaran Kebencian” KUHP juga dikoreksi sebagai delik materiil dan meniadakan larangan publikasi hasil quick qount dalam pemilu asalkan tidak berkaitan dengan rekam jejak atau bentuk lain yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu peserta pemilu. Selain itu MK meluruskan pemberhentian pimpinan KPK harus berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang banyak menyedot perhatian publik.

Pada agustus tahun 2010 ini MK memasuki usia tujuh tahun. Andaikan usia manusia, sebuah usia yang belum matang. Namun, langkah awal yang baik dan benar menentukan masa depan lembaga ini. Mempertahankan prestasi adalah pekerjaan tersendiri. Di sisi lain, masih membentang capaian-capaian yang harus direngkuh. Oleh karenanya, komitmen Wakil Ketua MK Achmad Sodiki dengan menyitir kaidah fikih Al-Muhâfazhah ‘ala al-Qadîm al-Shâlih wa al-Akhdzu bi al-Jadîd al-Ashlah (mempertahankan prestasi yang telah dicapai dan meningkatkan prestasi yang lebih baik lagi) menjadi cukup relevan memasuki pergantian tahun 2010.

Selain itu, kemandirian hakim konstitusi harus diimbangi kontrol masyarakat luas. MK harus senafas dengan nurani masyarakat, karena hukum bukan untuk hukum, akan tetapi masyarakat. Penting mengutip ungkapan Satjipto Raharjo sebelum beliau wafat yaitu: ”Tuan-tuan hakim, ingatlah, betapa besar kekuasaan yang ada pada Anda. Para jamhur bangsa yang membuat UUD 1945 boleh menuliskan apa saja, para legislator boleh memproduksi undang-undang apa saja, tetapi pada akhirnya hakimlah yang menentukan arti satu frase dalam konstitusi dan arti satu perkataan dalam pasal undang-undang. Ronald Dworkin, filsuf hukum, mengatakan, setiap kali hakim memutus, saat itu ia sedang berteori tentang apa hukum itu.” ***

(Editorial Majalah Konstitusi Edisi Januari 2010)