Senin, 30 Agustus 2010

DPR Memilih, Bukan Menolak Bambang-Busyro


Akhir-akhir ini bergulir wacana yang dihembuskan anggota DPR bahwa lembaga ini berhak menolak dua calon yang diajukan Presiden. Selain soal penolakan tersebut, juga muncul gagasan soal “kontrak politik” Parpol dengan calon mengenai pengusutan perkara tertentu, khususnya kasus Century yang seperti tenggelam di telan bumi.

Baru-baru ini Pansel KPK yang dibentuk Pemerintah telah memilih dua calon yakni Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas dari tujuh calon yang ada. Itu artinya secara moral, pilihan Pansel KPK harus diusung Presiden untuk diajukan kepada DPR untuk dipilih. Karena Pansel sendiri adalah amanat UU KPK untuk dibentuk untuk merekrut calon mulai dari pendaftaran sampai mengajukan nama 2 kali calon yang dibutuhkan.

Mengenai penolakan DPR, meskipun sebatas statement di media harus dikembalikan kepada UU KPK bagaimana mengatur soal kewenangan masing-masing terkait pemilihinan Pimpinan KPK. Sesuai UU KPK Pasal 30 Ayat (1) menyatakan,”Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud Pasal 21 ayat (1) huruf a dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh Presiden Republik Indonesia”. Dengan demikian Presiden sebatas punya hak mengusulkan dan tidak berhak memilih, sedangkan DPR hanya berwenang memilih calon yang telah diusulkan Presiden. Dua fungsi yang diemban kedua lembaga ini adalah agar saling mengontrol, apalagi pilihan Presiden tidak semata-mata “asal tunjuk”, tetapi melalui proses yang cukup transparan dan oleh orang-orang yang kompeten, kapabel dan cukup berintegritas seperti Todung Mulya Lubis dan Syafi’i Maarif.

Tinggal DPR dari kedua calon tersebut menimbang-nimbang mana yang terbaik berdasarkan kebutuhan KPK saat ini. Kedua calon tersebut adalah pilihan terbaik calon yang ada. Mengenai hal-hal yang sifatnya politis, apakah calon ini menguntungkan Partai A atau B, saya rasa harus dikesampingkan jauh-jauh oleh DPR. Kita memilih Pimpinan KPK untuk kepentingan rakyat, banyak memilih untuk kepentingan segelintir elit partai. Pilihan DPR nanti menentukan nasib bangsa dan negara dalam jangka panjang, terutama apakah Indonesia dapat keluar dari pemiskinan besar-besaran karena uang negara dicuri atau hanya berjalan di tempat yakni rakyat miskin hanya bisa menonton para koruptor berpesta pora.

Berita di Kompas.com (28/8) cukup mewakili bagaimana sosok Bambang dan Busyro. Berikut ini kami copy disini semoga berguna bagi semuanya. Amien..

SELEKSI KETUA KPK

Menimbang Sosok Bambang dan Busyro

Sabtu, 28 Agustus 2010 | 05:24 WIB

Pengantar: Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi akhirnya memilih Bambang Widjojanto dan Busyro Muqoddas dari 287 calon yang mendaftar. Keduanya dikenal sebagai sosok sederhana dan teruji. Namun, berbeda dengan Bambang Widjojanto yang dikenal sebagai petarung, Busyro Muqoddas cenderung kalem. Kini keputusan ada di tangan DPR untuk memilih satu sosok yang paling cocok untuk memimpin perang melawan korupsi.

Bambang Widjojanto
Sori, ya. Suaranya kurang jelas. Putus-putus, soalnya lagi di kereta, Bos,” kata Bambang Widjojanto (41) dari seberang pesawat telepon, suatu malam.
Demikianlah Bambang. Walaupun memiliki dua mobil di rumahnya di Depok, Jawa Barat, setiap hari dia menumpang kereta rel listrik untuk pulang-pergi ke tempat kerja, selain juga menggunakan ojek, bus kota, dan terkadang taksi.

Kesederhanaan Bambang sangat dikenal kawan-kawannya. Bahkan, saking sederhananya, Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia Teten Masduki secara berseloroh mengatakan, Bambang cenderung kikir terhadap diri sendiri. ”Dia naik angkutan umum dan kereta. Bukan berarti miskin. Di antara teman-teman, dia termasuk kaya,” katanya.

Kesaksian itu juga disampaikan Iskandar Sonhaji, rekan Bambang di kantor pengacara Widjojanto, Sonhaji & Partners. ”Dia sederhana dan melihat sesuatu dari kemanfaatannya. Karena itu, sehari-hari dia pilih kereta atau ojek karena lebih cepat,” katanya.

Bersama Iskandar, Bambang banyak menangani sengketa pemilu kepala daerah di Mahkamah Konstitusi dan perdata. ”Kasus pidana tak ada. Kami dari awal komitmen tak mau menjadi pengacara untuk kasus korupsi,” ujar Iskandar, yang mengenal Bambang ketika bersama-sama aktif di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta tahun 1984.

Daripada membela koruptor, ia memilih menjadi pengacara kasus perceraian. Bambang memang keras menjaga prinsipnya soal korupsi karena di matanya, korupsi adalah kejahatan besar terhadap rakyat, terhadap kemanusiaan.

Bambang adalah sosok yang merakyat. Hampir separuh kariernya dihabiskan sebagai pembela rakyat, khususnya melalui LBH. Sejak tahun 1984 hingga tahun 2000, ia menjadi pembela umum di LBH Jakarta.

Tak cukup di Jakarta, Bambang juga membela rakyat di Papua dengan menjadi Direktur LBH Jayapura tahun 1986 hingga 1993. ”Tak sembarang orang berani ke Papua waktu itu. Apalagi menjadi pembela hak asasi manusia dan tinggal di sana. Keberanian dia sudah teruji, tidak perlu diragukan,” kata Teten lagi.

Bahkan, di matanya, Bambang agak nekat. ”Dibandingkan dengan tokoh LBH lainnya, dia tidak banyak melakukan terobosan. Jika Adnan Buyung (Nasution) ada terobosan dalam pengembangan bantuan hukum struktural, Bambang adalah tipe petarung yang konsisten mempertahankan prinsip. Pembelaannya terhadap rakyat tak perlu diragukan lagi,” kata Teten, yang pernah bersama-sama Bambang di YLBHI tahun 1994 dan mendirikan Indonesia Corruption Watch.

Keprihatinannya terhadap rakyat yang dimiskinkan oleh perilaku korupsi pengelola negaralah yang membuat Bambang mendaftar sebagai calon pimpinan KPK. ”Saya bukan job seeker. Ini dalam rangka berlomba-lomba berbuat kebaikan untuk rakyat,” kata Bambang, yang hingga kini menjadi national legal advisor di Partnership for Governance Reform.

Bambang mengaku siap bekerja di KPK, yang kini menghadapi badai masalah sekaligus sederet pekerjaan rumah. (aik)

M Busyro Muqoddas
Sederhana dan saleh, itulah yang dikatakan orang dekat lelaki kelahiran Yogyakarta, 58 tahun lalu, itu. Mengawali karier di bidang hukum sebagai dosen Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, tidak membuatnya hidup di menara gading. Busyro tetap aktif dalam advokasi berbagai kasus yang membuat dia pernah diuber polisi Jombang, Jawa Timur, dalam kasus bromocorah, kasus subversi, dan kasus lain.

Memimpin Ketua Komisi Yudisial (KY) sejak 2005 hingga saat ini, lembaga itu sempat ”mengguncang” Mahkamah Agung. KY melontarkan wacana kocok ulang semua hakim agung yang berujung pada penghapusan pasal pengawasan dalam UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang KY oleh Mahkamah Konstitusi.

Penerima Bung Hatta Anti Corruption Award pada 2009 ini memang dikenal bersih. Sekretaris Jenderal KY Muzayyin Mahbub memastikan Busyro hanya bersedia menerima uang yang diyakini benar-benar haknya. Ia menolak honor, seperti dalam seleksi hakim agung, meski legal dan tak mau menggunakan dana operasional pimpinan yang biasa untuk ketua dan wakil ketua lembaga negara.

Penampilan Busyro sederhana. Sesederhana pilihannya atas sarana transportasi. Busyro tak pernah bersedia duduk di kelas bisnis di pesawat. Ia selalu duduk di kelas ekonomi. Ia pun ke mana-mana lebih memilih kendaraan Toyota Kijang, bukan Toyota Camry yang menjadi kendaraan dinas Ketua KY. Camry berpelat RI 61 hanya digunakan ketika ada acara protokoler di Istana.

”Di Yogyakarta, ia tak jarang memilih naik sepeda motor jika ke kampus atau menemui kenalan yang datang dari luar kota,” kata Asep Rahmat Fajar, mantan staf ahli di KY.
Busyro pun dikenal tak suka dengan protokoler. Ia tak punya ajudan khusus seperti pejabat lain. Ia lebih suka hanya didampingi seorang sopir.

Soal penilaian Busyro terkesan tak tegas, Asep menilai, itu hanya masalah bahasa. Busyro memang tidak pernah menegur orang dan mengatakan yang bersangkutan salah. Hal itu bisa menimbulkan salah penafsiran dari orang yang tidak mengerti gaya orang Jawa.
Muzayyin menambahkan, sepanjang menyangkut otoritasnya, Busyro adalah sosok yang tegas. Hal itu terlihat dalam sikapnya terhadap pegawai. Namun, ia mengakui, saat berhadapan dengan komisioner lain, Busyro tidak dapat bersikap memaksakan kehendak. Hal itu memang bukan otoritasnya.”Paling-paling ngingetin, nyindir,” kata dia.
Bagi Busyro, melawan korupsi adalah wujud ”jihad kemanusiaan” yang bertujuan memerdekakan rakyat dan bangsa dari kondisi serta fenomena perilaku kumuh secara etika dan moral. Korupsi juga memproduksi kemiskinan sistemik dan masif. Jika nantinya terpilih menjadi pimpinan KPK, Busyro mengaku akan melakukan pemetaan (mapping) persoalan dan konsolidasi internal.

Dalam sesi wawancara dengan Panitia Seleksi, Busyro mengaku tak segan mengusut kasus dugaan suap yang melibatkan tokoh partai politik. Ia mengatakan hal itu saat ditanya mengenai dugaan suap dalam pemilihan Dewan Gubernur Bank Indonesia. Demikian pula soal rekening gendut petinggi Polri, ketika KPK harus mengusut, hal itu dilakukan, tetapi tanpa maksud memperlemah institusi kepolisian. Busyro setuju hukuman maksimal (mati) untuk koruptor diterapkan. (ana)http://cetak.kompas.com/read/2010/08/28/05244922/Menimbang.Sosok.Bambang.dan.Busyro

(Pertama kali diposting di Kompasiana: http://politik.kompasiana.com/2010/08/30/dpr-hanya-memilih-bukan-menolak-bambang-busyro/; Foto: www.sripoku.com)