Minggu, 29 Agustus 2010

“Res Ipsa Loquitur”

Doktrin res ipsa loquitur dalam bahasa Inggris berarti the thing speaks for itself, terjemahan harfiahnya “benda tersebut yang berbicara. Doktrin ini dalam hukum perdata hanya relevan dan berlaku untuk kasus perbuatan melawan hukum dalam bentuk kelalaian (negligence) dan tidak berlaku untuk perbuatan melawan hukum dalam bentuk “kesengajaan” atau “tanggung jawab mutlaq”.

Doktrin ini merupakan doktrin pembuktian dalam hukum perdata yang membantu pihak korban (Penggugat) untuk membuktikan kasusnya. Di dalam pembuktian dalam hukum perdata, pihak yang mengajukan gugatan harus membuktikan kesalahan dari pelaku, jika merupakan kelalaian maupun kesengajaan. Pembuktian ini seringkali sangat menyulitkan korban untuk membuktikan bahwa terdapat kelalaian pelaku sehingga terjadi perbuatan melawan hukum yang merugikan korban.

Menurut Munir Fuady (2002) pihak korban dari suatu perbuatan melawan hukum dalam bentuk kelalaian dalam kasus-kasus tertentu tidak perlu membuktikan adanya unsur kelalaian dari pihak pelaku, akan tetapi cukup dengan menunjukkan fakta yang terjadi dan menarik sendiri kesimpulan bahwa pihak pelaku kemungkinan besar melakukan perbuatan melawan hukum tersebut, bahkan tanpa perlu menununjukkan bagaimana pihak pelakunya berbuat sehingga menimbulkan perbuatan melawan hukum tersebut. Doktrin ini sebenarnya merupakan semacam bukti sirkumstansial (circumstantial evidence), yakni suatu bukti tentang fakta dari fakta-fakta mana suatu kesimpulan yang masuk akal ditarik. Misalkan saja dari letak mobil atau kerusakan mobil dapat ditarik kesimpulan kecepatan mobil yang bersangkutan. Atau misalkan seseorang yang jatuh atau cedera karena eskalator tiba-tiba berhenti di suatu hotel atau tempat lain, menurut kelaziman hal ini tidak akan terjadi jika tidak terdapat kelalaian, dalam hal ini doktrin ini dianggap terbukti.

Doktrin res ipsa loquitur diterapkan di Inggris sejak 1809, yaitu dalam kasus terkenal Christie v. Grigg yang menerapkan doktrin tersebut dalam kasus kelalaian pengangkut orang terhadap penumpangnya. Tujuan sebenarnya doktrin ini bukan untuk membalikkan beban pembuktian dan juga bukan untuk mengubah kriteria tanggung jawab, akan tetapi semata-mata bertujuan untuk mempermudah korban dalam hal membuktikan siapa yang bersalah, dengan menunjukkan kepada bukti sirkumstansial. Kadangkala korban dalam kasus-kasus tertentu sangat sulit membuktikan unsur kelalaian dari pihak pelaku, apalagi bukti-bukti berada atau dalam akses dan kekuasaan pelaku yang sulit didapatkan oleh korban.

Sebuah tulisan Jeferson Kameo, Pertanggungjawaban Hukum Lapindo dalam harian Suara Merdeka, menyatakan doktrin ini dapat diterapkan dalam kasus Lumpur Lapindo Sidoarjo dengan fakta terjadinya korban dengan kesulitan beban pembuktian. Kesulitan membuktikan perbuatan melawan hukum dapat diatasi dengan menggunakan titik tolak dalam prinsip hukum fakta yang berbicara sehingga tidak perlu dibuktikan lagi. Jadi di sini berlaku praduga bersalah (presumption of fault or negligence). Mengingat kejadian tersebut tidak akan terjadi dalam keadaan normal tanpa adanya kealpaan pihak-pihak yang berkompeten.

Dalam pembuktian malpraktek juga sangat menyulitkan korban kecerobohan dan kelalaian medis untuk menuntut pertanggungjawaban secara hukum. Jika kelalaian medis tidak timbul kerugian tidak timbul persoalan, akan tetapi jika menimbulkan kerugian pasien, maka hukum harus melindungi korban. Kelalaian pada tingkat tertentu dan mengabaikan benda atau keselamatan seseorang sifat kelalaian itu dapat berubah menjadi tindakan kriminil. Fakta misalnya terjadi tertinggalnya gunting atau kasa di dalam luka operasi atau saat bidan akan memotong tali pusat bayi, perut pasien ikut terluka, di dunia medis menunjukkan fakta yang berbicara, dalam hal ini secara tidak langsung membuktikan kelalaian itu. Namun kondisi yang tidak diharapkan tidak selalu berarti kesalahan atau kelalaian dokter/perawat tersebut, namun jika faktanya jelas-jelas menunjukkan itu, berada dalam tanggung jawabnya, tidak adanya kontribusi pasien, berlakulah doktrin res ipsa loquitur.

Di dalam kasus berkaitan perlindungan konsumen, juga kesulitan ini dialami yakni untuk membuktikan adanya perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 BW) adanya kesalahan produsen menyulitkan konsumen, akan tetapi pada sisi lain konsumen menggangap adanya melawan hukum, akan tetapi bukti-bukti berada atau dikuasai pihak produsen. Hubungan yang tidak seimbang secara sosiologis ini berpengaruh terhadap kekuatan membuktikannya. Berdasarkan fault liability maka konsumen tidak diuntungkan untuk membuktikan adanya perbuatan melawan itu, meskipun terbukti adanya kerugian, perbuatan melawan hukum, dan adanya hubungan sebab-akibat. Membuktikan kesalahan yang tadinya terletak pada konsumen, beralih kepada produsen untuk membuktikan tidak terdapat kesalahan disebut doktrin no fault liability yang banyak digulirkan para praktisi dan aktivis perlindungan konsumen. Doktrin pembuktian terbalik ini dipengaruhi doktrin res ipsa loquitur tersebut.

Ilmu hukum memberikan syarat-syarat doktrin res ipsa loquitur dapat diterapkan sebagai berikut: 1) Harus ditunjukkan bahwa kejadian tersebut biasanya tidak terjadi tanpa adanya kelalaian (atau kesengajaan) dari pihak pelakunya; 2) Harus ditunjukkan pula bahwa kerugian tidak ikut disebabkan oleh tindakan korban atau pihak ketiga; 3) Halam kasus-kasus tertentu, pada saat kejadian, instrument yang menyebabkan kerugian dalam kontrol yang ekslusif dari pihak yang dituduh pelakunya; 4) Penyebab kelalaian tersebut haruslah dalam lingkup kewajiban yang ada oleh pelaku kejahatan; dan 5) Bukan kesalahan dari korban (tidak ada kelalaian kontributif).

Doktrin ini dapat saja diterapkan di Indonesia dengan mempertimbangkan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan prinsip-prinsip hukum yang berlaku universal dan mempertimbangkan kepentingan dan hak-hak korban kejahatan. (Miftakhul Huda)

Sumber:
http://serambinews.com/news/view/5284/keluhuran-etika-dokter-mencegah-malpraktik
http://www.pelita.or.id/baca.php?id=33159
Fuady, Munir, Perbuatan Melawan Hukum Pendekatan Kontemporer, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002
Jeferson Kameo, Pertanggungjawaban Hukum Lapindo, Suara Merdeka


(Sumber: Majalah Konstitusi No. 37-Februari 2010)