Rabu, 29 September 2010

Hukum Adat Menjawab Tantangan Perubahan


Miftakhul Huda, Redaktur Majalah Konstitusi

Pada bab I buku ini, Soepomo menguraikan konteks sosial politik setelah kemerdekaan, yaitu usaha pembinaan negara. Di bagian ini dikemukakan bagaimana sifat dan keadaan hukum adat dalam rangka memodernisasikan masyarakat Indonesia. Soepomo mendefinisikan hukum adat sebagai ”hukum non-statutair yang sebagaian besar adalah hukum kebiasaan dan sebagian kecil hukum Islam. Hukum adat itupun melingkupi hukum yang berdasarkan keputusan-keputusan hakim yang berisi asas-asas hukum dalam lingkungan, dimana ia memutuskan perkara. Hukum adat berurat berakar pada kebudayaan tradisional. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan firahnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam keadaan tumbuh dan berkembang seperti hidup sendiri.”

Soepomo mengemukakan peran hukum adat dalam masa kolonial, bagaimana politik hukum kolonial masa lampau terhadap hukum adat dan atas dorongan apa politik hukum tersebut disusun. Intinya politik hukum kolonial, menempatkan hukum adat untuk memenuhi tujuan-tujuannya dan kepentingan ekonominya, dan kepentingan dan kehendak bangsa Indonesia sendiri tidak diperhatikan. Sebagaimana kita lihat usaha ”kodifikasi” Mr. Wichers yang ”gagal”, Menteri Jajahan Belanda Van der Putte dengan usulan penggunaan hukum tanah Eropah bagi penduduk desa untuk kepentingan agraria pengusaha Belanda yang ”gagal” dan Cremer dengan semboyan kodifikasi seluruh hukum adat.

Kabinet Kuyper pada 1901, bahkan mengusulkan UU untuk mengganti hukum adat dengan Eropah (unifikasi), namun tidak berhasil sebab Parlemen Belanda menerima amandemen Van Idsinga, yang mengizinkan penggantian hukum adat jika kebutuhan rakyat menghendakinya, berkat tulisan Van Vollenhoven ”Geen yuristenrecht voor den Indonesia” (1905) yang mengatakan belum ada pengetahuan tentang hubungan-hubungan sebenarnya masyarakat Indonesia. Dan semenjak ini beberapa kali rencana percobaan unifikasi dan kodifikasi beberapa kali gagal atas tentangan Van Vollenhoven yang akhirnya konsepsinya diterima, sehingga terjadi dualisme, oleh Adamson dan Arthur Schiller disebut dualisme progresif. Usaha agar hukum adat tidak didesak ke belakang diteruskan oleh Ter Harr dengan konsep ”reorganisasi sistem peradilan”nya. Meskipun telah merdeka, Indonesia menghadapi tantangan baru sebagaimana secara jelas diungkap Soepomo dalam uraian-uraian bagian ini. Yang menarik dari uraian akhirnya, bagaimana mempersatukan cita-cita timur dengan cita-cita kebutuhan modern yang berasal dari barat supaya menjadi harmoni, jawaban satu-satunya adalah asimilasi pengertian-pengertian barat dalam bentuk yang sesuai dengan struktur masyarakat Indonesia sendiri.

Di bab II tentang Sistem Hukum Adat, dikemukakan bagaimana sistem hukum adat dan memahami bagaimana sistem hukum adat dengan menyelami dasar-dasar alam pikiran bangsa Indonesia. Perbedaan fundamental sistem hukum adat dan hukum barat disinggung dengan baik, semisal soal “zakelijk recht” dan “personlijk recht”, pembedaan hukum privat dan publik, pembagian golongan pelanggaran, dan lain sebagainya. Soepomo juga menyinggung metode Van Volenhoven dan Ter Haar untuk menunjukkan bagaimana bentuk dan sifat-sifat tersendiri sistem hukum adat. Dalam usaha pembinaan, dikemukan ”bahasa hukum”, ”Pepatah adat” diberbagai daerah di Indonesia yang harus dibina dan digunakan secara konsekuen. Usaha penyelidikan hukum adat penting, sekaligus bagaiamana metode yang tepat melukiskan hukum adat yang hidup di daerah-daerah di Indonesia.

Dalam Bab III tentang ”Peradilan Hukum Adat” dijelaskan arti dan isi peradilan yang mengadili berdasar hukum adat. Sebagaimana saat ditulis berlaku UUDS 1950, dimana kodifikasi atas perintah UUD belum dilakukan, sehingga berlaku Indische Staatsregeling, yang artinya hukum perdata dan hukum dagang untuk golongan bangsa Indonesia masih berlaku hukum adat. Kemudian Soepomo banyak mengemukakan bagaimana ”peraturan adat yang hidup di dalam masyarakat dapat diakui sebagai peraturan hukum” diartikan. Yang penting Soepomo memberikan rambu-rambu meskipun penetapan-penetapan (putusan) para petugas hukum secara formil mengandung peraturan hukum, akan tetapi dari segi materiil belum tentu, jika masyarakat dalam sehari-hari tidak melaksanakan putusan tersebut. Soepomo menyebut”kekuatan materiiilnya adalah nihil”. Secara menarik dan lugas Soepomo menegaskan sifat tugas hakim bahwa dengan putusan hakim maka rasa keadilan masyarakat mendapat bentuk konkrit dan bagaimana hakim tidak boleh mengadili berdasarkan keadilan menurut pribadinya sendiri, akan tetapi terikat nilai-nilai objektif di masyarakat. Hakim terikat dengan sistem yang telah terbentuk dan hanya memperkuat kehidupan norma hukum tidak tertulis.

Bab IV tentang ”Tata Susunan Rakyat di Indonesia” merupakan bagian penting buku ini. Sebagaimana ditulis disini, menurut Van Volenhoven, untuk mengetahui hukum terutama perlu diselidiki sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, dimana orang-orang yang dikuasi hukum itu hidup sehari-hari. Kekuatan mempertahankan dan kekuatan hidup badan-badan persekutuan hukum Indonesia menentukan maju tidaknya dari segala ancaman sebagaimana politik kolonial yang lalu-lalu. Secara mendalam Soepomo menguraikan persekutuan-persekutuan hukum di Indonesia dan golongan-golongan menurut dasar susunan ketururan (genealogi) dan daerah (teritorial), perbedaan susunan-susunan persekutuan hukum di berbaai daerah yang berpengaruh atas peraturan hukum adat yang berlaku. Selain itu dikemuakan sifat pimpinan kepala-kepala rakyat yang bertugas memelihara jalannya hukum adat dengan semestinya. Dari keputusan kepala rakyat inilah, untuk mencegah atau memulihkan pelanggaran hukum, bersifat keputusan dapat diketahui berlakunya peraturan hukum. Yang penting dikemukakan disini, kepala rakyat tidak berjalan sendiri, akan tetapi selalu bermusyawarah, dan banyak hal dalam rapat desa. Kemudian di bagian selanjutnya dikemukakan suasana tradisional masyarakat desa dengan corak keagamaan, kemasyarakatan, kewibawaan, pengangkatan kepala rakyat, dan perubahan-perubahan susunan masyarakat desa sehubungan dengan campur tangan administrasi Hindia-Belanda yang berpengaruh sampai saat sekarang.

Kemudian di bab V tentang Hukum Waris yang ditulis pada 1953 ini dijelaskan sifat hukum adat waris dan perbedaan penting dengan hukum waris Eropa di BW. Dari uraian di bab ini terlihat hukum adat waris menunjukkan corak ”typerend” bagi aliran-aliran tradisional, yakni khas komunal dan konkrit bagi bangsa Indonesia.

Sedangkan di bagian akhir dengan judul ”Hukum Adat Delik”, dikemuakan hal-hal penting terkait sifat pelanggaran hukum adat yang tidak mengenal pemisahan pelanggaran hukum pidana dan perdata, petugas hukum adat bertindak baik atas inisiatif sendiri atau ex officio atas dasar ”kepentingan umum” berdasarkan ukuran alam tradisional sendiri. Selain itu, dikupas lahirnya delik adat, bagaimana aliran pikiran tradisional, sistem terbukanya hukum adat (tidak mengenal sistem prae-existente regels atau pelanggaran hukum jika ditetapkan lebih dahulu atau nullum delictum), jenis-jenis delik dalam hukum adat, dan luas lapangan berlakunya hukum adat.

Dari uraian buku ini Soepomo berjasa memberikan pengertian hukum adat bukan hukum zaman lampau dan hukum yang bukan islam. Ia juga sangat berjasa ia membeber politik hukum kolonial mengenai hukum adat dan pengaruhnya saat ini. Yang penting dikemukakan, sejak 1947, ia sudah memikirkan bagaimana kedudukan hukum adat nantinya. Bagaimana hukum adat menjawab kebutuhan masyarakat? Tapi sejatinya dimuka telah dijawab olehnya dengan menciptakan harmoni, yaitu dengan asimilasi pengertian-pengertian barat sesuai stuktur masyarakat Indonesia sendiri. Tetapi hal ini juga bisa dikritik, lembaga hukum asli Indonesia tidak dapat dimengerti dengan pengertian-pengertian barat.

(Dimuat di Majalah Konstitusi Edisi Juni 2010/ Foto: amartapura.com)