Minggu, 26 September 2010

Ikhtiar Menyelamatkan Pendidikan



Bebera kali Mahkamah Konstitusi (MK) menguji undang-undang (UU) terkait pendidikan. Sejak 2005-2007 tercatat, UU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahun diuji konstitutusionalitasnya karena anggaran pendidikan kurang dari dua puluh persen. Dalam putusannya, MK menyatakan UU tersebut bertentangandengan prosentase anggaran pendidikan menurut konstitusi. Meski dalam diktum putusannya MK tidak menetapkan bahwa UU tersebut tidak mengikat secara keseluruhan, dalam putusan terakhir MK menyatakan UU APBN-P 2008 berlaku sampai diundangkan UU APBN 2009.

Selain UU APBN tersebut, UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) juga beberapa kali dipermasalahkan. Sebut saja soal ”gaji pendidik” yang tidak dimasukkan anggaran pendidikan dan lain-lain. Dalam perkara yang diputus akhir Maret 2010 ini, lembaga pengawal dan penafsir konstitusi juga menyatakan mengabulkan permohonan pengujian beberapa pasal UU Sisdiknas. Bahkan, MK menyatakan UU No. 9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) tidak mengikat secara keseluruhan karena melanggar konstitusi. Tujuan utama Pemohon adalah menghilangkan ketentuan yang membebani masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan, karena penanggung jawab utama pendidikan adalah negara, utamanya pemerintah.

Untuk apa semua ini? Semua putusan MK di bidang pendidikan tak lain dalam rangka menegakkan konstitusi. Harus disadari, konstitusi menegaskan kewajiban negara dalam bidang pendidikan terhadap warga negara. Salah satu tujuan didirikannya negara (het doel van de saat) adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana termaktub dalam alenia keempat Pembukaan UUD 1945. Dengan kata lain, untuk mencerdaskan kehidupan bangsa itulah alasan negara Indonesia didirikan. Pentingnya bidang pendidikan tidak hanya dirumuskan sebagai hak warga negara untuk mendapatkan pendidikan, melainkan kewajiban negara memenuhi pendidikan dasar warga negara. Pasal-pasal konstitusi merupakan cerminan sebuah politik hukum (legal policy) untuk mewujudkan tujuan didirikan negara Republik Indonesia.

Politik hukum pendidikan selain mengacu tujuan negara dan hak dan kewajiban negara dan warga negara di atas, negara Indonesia adalah negara hukum bercorak negara kesejahteraan (welfare state). Sistem pendidikan nasional yang diatur dalam UU Sisdiknas juga harus mampu meningkatkan keimanan dan ketakwaan, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sebagai konsekuensi Pasal 31 UUD 1945, pembiayaan anggaran pendidikan merupakan tanggung jawab utama pemerintah, termasuk pemerintah daerah, sehingga anggaran pendidikan diprioritaskan 20 persen dan agar tidak ditunda-tunda perwujudannya dalam APBN dan APBD. Bahkan, seharusnya untuk pendidikan dasar gratis tanpa biaya.

UU mengenai BHP yang diperintahkan UU Sisdiknas, seharusnya juga mempertimbangkan aspek filosofis, yakni cita-cita membangun sistem pendidikan nasional yang berkualitas dan bermakna bagi kehidupan bangsa. Juga aspek sosiologis, yakni realitas mengenai penyelenggaraan pendidikan yang sudah ada. Ditambah dengan aspek yuridis, yakni tidak menimbulkan pertentangan dengan peraturan lain.

Penyusunan peraturan terkait bidang pendidikan semestinya mengacu rambu-rambu tersebut. Namun, UU BHP justru mengalihkan tanggung jawab utama penyelenggaraan pendidikan dari negara dan justru membebani kepada masyarakat. UU BHP juga mereduksi makna ”badan hukum pendidikan” menjadi nama atau bentuk badan hukum tertentu. Padahal, sejatinya sebagai sebuah sebutan fungsi penyelenggara pendidikan, yang artinya pengelolaannya dilakukan oleh suatu badan hukum sesuai peraturan perundang-undangan.

Bangunan dan norma UU BHP keluar rambu-rambu konstitusi. UU itu, antara lain, mengasumsikan kemampuan PTN-PTN di Indonesia merata. Kemudian, otonomi PTN dalam bentuk Badan Hukum Penyelenggara Pemerintah (BHPP) berakibat sangat kompleks; penyeragaman bentuk hukum badan hukum pendidikan yang diselenggarakan masyarakat (BHPM) tidak memberi ruang kemajemukan pendidikan selama ini; mengandalkan berhasil tidaknya pendidikan di Indonesia kepada BHPP dan Badan Hukum Penyelenggara Pemerintah Daerah (BHPPD); ditetapkannya model manajemen pendidikan yang tepat; prinsip otonomi dan nirlaba tanpa jaminan pendidikan murah; membuka kemungkinan BHP dinyatakan pailit tanpa perlindungan; pendirian BHPP/BHPPD dipersyaratkan kekayaan sendiri terpisah dari kekayaan pendiri sehingga berkurangnya kekayaan negara/daerah tanpa persetujuan wakil rakyat dan pengaturan lain yang saling bertentangan.

Pada intinya, semua komponen negara harus berikhtiar mengontrol sistem pendidikan nasional. Jika biaya pendidikan mahal, akses pendidikan bagi masyarakat miskin/ tidak mampu tertutup, pendidikan semakin tidak bermutu, pendidikan menjadi tempat “mengeruk” kekayaan, dan paradigma pendidikan berubah dari barang publik menjadi barang privat (private goods), maka menghalang-halangi hak-hak warga negara atas pendidikan. Untuk selanjutnya semoga pendidikan Indonesia benar-benar dirasakan semua warga negara. ***

(Editorial Majalah Konstitusi Edisi Maret 2010/ Foto: Antara.com)