Rabu, 15 September 2010

Ke Arah Pengembangan Ilmu Hukum Pidana


Oleh Miftakhul Huda
Redaktur Majalah Konstitusi

Kontroversi yang muncul akhir-akhir ini terkait apakah tepat larangan perkawinan siri disertai sanksi pidana atau rumusan pasal-pasal UU No.1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama, dan berbagai hukum pidana yang sering diuji di MK, membutuhkan pemahaman ilmu hukum pidana dengan baik. Buku Mr. R. Tresna yang berjudul “Asas-Asas Hukum Pidana Disertai Pembahasan beberapa Perbuatan Pidana yang Penting” yang terbit pada 1959, adalah buku klasik yang mempelajari hukum pidana dalam bahasa Indonesia.

Tresna dikenal dengan “Komentar atas Reglemen Hukum Atjara didalam pemeriksaan dimuka Pengadilan Negeri atau HIR dihubungkan dengan ketentuan-ketentuan dari UU Darurat No.1/1951 diubah No.11/1955” dibanding karya ini atau “Peradilan di Indonesia dari abad ke abad” yang tidak kalah berbobot. Masa 1950-an, Tresna pelopor sebagaimana dikemukakan Iwa Kusuma Sumantri, dan istilah-stilah yang digunakan agak menyimpang dari kebiasaan. (Sepatah Kata Sambutan Iwa Kusuma Sumantri, hlm.6) Karena memang istilah-istilah hukum pidana belum baku sebagaimana saat ini.

Buku-buku pelajaran saat itu masih berbahasa Belanda, itupun membahas hukum pidana yang berlaku di Belanda. Karena kita mewarisi hukum kolonial tersebut, bahan tersebut tetap penting. Tresna menyatakan kondisi penulisan orang baru tahapan menerjemahkan pasal-pasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), dan untuk mengetahui seluk beluk ilmu hukum pidana itu tidak cukup. Namun Iwa dan Tresna bisa lega harapannya tercapai saat ini.

Tresna berusaha mengantarkan letak dan perbedaan norma hukum dengan norma lain, dan norma lain (agama, kesusilaan, dan sopan santun) bagi kebutuhan masyarakat tidak cukup. Pelu norma bersanksi nyata dan dirasakan seketika. Karena misalkan untuk orang yang tidak percaya akhirat, tidak akan tersentuh norma agama. Hukum pidana letaknya berada dalam hukum publik dengan sanksi. Ada kepentingan masyarakat lebih besar yang tidak hanya menghendaki pembetulan atas kerusakan saja, akan tetapi juga menghendaki sanksi hukuman, sehingga hukum pidana dikenai hukum sanksi. Corak khusus hukum pidana bukan pemuatan norma di dalamnya, akan tetapi penyebutan sanksi-sanksi memelihara norma tersebut.

Isi buku ini terdiri dari tiga Bab yaitu “Bagian Umum”, “Tentang Hukuman dan Soal-Soal Disekitarnya”, dan “Sejarah terjadinya KUHP dan Tinjauan tentang Susunan Pembagiannya serta Jauhnya Kekuatan Berlakunya”. Di Bab I, Tresna membawa kita kepada soal-soal “peristiwa pidana” atau dikenal juga dengan istilah ”perbuatan pidana” atau ”tindak pidana”. Inti buku ini sebenarnya terletak di bagian ini, sedangkan soal-soal lain dalam bab ini misalkan perbuatan disengaja, kesalahan, melawan hukum, percobaan, turut campur dalam peristiwa pidana, tempat dan waktu peristiwa pidana, memajukan dan mencabut kembali pengaduan dan lain sebagainya adalah segi-segi dari peristiwa pidana.

Jika saat ini diperdebatkan dasar penghukuman (pemidanaan), maka relevan sekali teori-teori yang dikemukakan Tresna dan bagaimana hukum Indonesia. Ia menyatakan: “Tidak dapat disangkal bahwa didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang sekarang ini berlaku, terlihat unsur-unsur yang memperhatikan kepribadian orang-orang yang terlibat dalam perkara”. Adanya tindakan berbeda untuk orang gila dan anak yang masih di bawah umur, teruma adanya hukuman bersyarat dan pembebasan bersyarat nampak bahwa tujuan hukuman berdasarkan kepada perikemanusiaan dan yang diisi kepercayaan, bahwa manusia yang pernah melakukan kejahatan dapat diperbaiki dan tidak semua orang melakukan kejahatan sebagai penjahat.

Penulis buku ini menguraikan dengan gamblang apa peristiwa pidana. Tresna menyebut peristiwa pidana harus memenuhi syarat-syarat yaitu: 1) harus ada suatu perbuatan manusia; 2) Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam ketentuan hukum; 3) Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu orangnya harus dapat dipertanggungjawabkan; 4) Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum; 5) Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya di dalam undang-undang. Saat membahas No.5 yang berkaitan dengan Pasal 1 ayat 1 KUHP yang bermakna UU hanya berlaku ke depan dan tidak berlaku surut, dan sumber hukum pidana tiada lain dari undang-undang (dalam arti luas) yang dikenal asas nullum delictum nulla poena sine praevia lege poenali. Oleh karena hukum pidana Indonesia merupakan tiruan hukum pidana Belanda dari 1881 berdasarkan asas konkordansi, maka hukum kita mencerminkan aliran liberal-kapitalisme, termasuk asas nullum delictum.

Begitupula oleh karena hukum pidana materiil, merupakan accesoir hukum lain, sehingga sifatnya tergantung hukum privat. Bagi Utrecht, hukum pidana kita pembela tepat hak milik yang tercantum dalam Pasal 570 KUHPerdata dan pembela dari kemerdekaan pribadi berdasarkan faham individualism. Hukum kita jauh dari kehidupan kolektivisme yang asasnya tercantum dalam Pasal 37 dan 38 UUD Sementara. “Siapa jang mengutamakan kepentingan kolektivitet sudah tentu memilih meninggalkan azas nullum delictum..” kata Utrecht pada 3 Maret 1956. Namun, Utrecht tidak meninggalkan sama sekali, akan tetapi asas nullum delictum agar tidak digunakan atas delik-delik yang dilakukan terhadap masyarakat. Kemudian sanksi delik sosial harus lebih berat. Kata Tresna, pikiran Utrecht adalah sangat maju di tengah perbuatan dalam lapangan ekonomi dan perdagangan yang nyata-nyata merugikan masyarakat tidak dapat dituntut dimuka hakim karena hukum positif belum memungkinkan menghukum.

Mengenai ”melawan hukum” sebagai syarat peristiwa pidana, Tresna membahas apakah artinya bertentangan dengan hukum tertulis atau mencakup hukum tidak tertulis. Kemudian apakah melawan hukum merupakan unsur berdiri sendiri atau tidak, yang biasa dikenal faham materiil dan formil. Ia menguraikan dan melakukan kritik ahli dari berbagai aliran dengan contoh-contoh kasus yang mudah dipahami. Selanjutnya dalam Bab II, dibahas berbagai macam hukuman, baik hukuman utama dan tambahan. Buku ini dengan lugas membahas sejarah dan dasar masing-masing hukuman, serta pasal-pasal yang diklasifikasikan dengan hukuman tersebut. Selain hukuman tersebut, di bagian ini diulas mengenai ”Tindakan”, di samping hukuman yang lebih ke arah sosial dan perlindungan, misalkan anak-anak dikembalikan orang tua dan lain sebagainya.

”Hukuman dan Pelepasan bersyarat” diuraikan dengan baik dalam hal apakah hakim dapat menetapkan hukuman dimaksud dan mengenai penghapusan, pengurangan dan sebab-sebab penghukuman. Jadi dapat saja terjadi seseorang melakukan peristiwa pidana akan tetapi kehilangan unsur dosanya, baik karena pribadi (dari dalam) atau keadaan (dari luar). Semisal keadaan memaksa, bela paksa, peraturan hukum, dan perintah jabatan seseorang lepas dari hukuman. Tresna tidak hanya mengupas pasal-pasal yang umum yang biasa dibahas, akan tetapi pasal-pasal KUHP yang kurang diperhatikan. Pasal-pasal terkait dasar-dasar pengurangan dan pemberatan hukuman juga dijelaskan dengan baik. Buku ini sangat lengkap juga membahas gugurnya hak penuntutan dan pelaksanaan hukuman dengan beragam pasal terkait, praktek dan segala permasalahannya.

Sejarah terjadinya KUHP mulai terhapusnya Hukum Belanda Kuno dan Hukum Roma sampai berkunya UU No.1 Tahun 1946 sebagai peletak jejak sejarah KUHP dalam buku ini diletakkan bagian akhir. Karya ini juga disertai suplemen yang mengisi sepertiga bagian buku yang berisi komentar dan catatan penulis atas pasal-pasal KUHP yang penting yang diuraikan berdasarkan kategori kejahatan. Ketika membaca catatan pasal-pasal ini sangat membantu arti pasal-pasal warisan kolonial Belanda dengan cara pandang seorang ahli hukum yang berpikiran ke depan. Segala usaha perubahan RUU KUHP kearah lebih baik, buku ini sangat berharga untuk ditinggalkan.

Judul : Asas-Asas Hukum Pidana
Disertai Pembahasan beberapa Perbuatan Pidana yang Penting

Penulis : Mr. R. Tresna
Penerbit : PT. Tiara Ltd Jakarta
Tahun : 1959
Jumlah : 304 halaman

(Dimuat di Majalah Konstitusi Edisi Februari 2010)