Rabu, 29 September 2010

Kedewasaan Menerima Putusan Mahkamah


Membanjirnya kasus yang masuk ke Mahkamah Konstitusi (MK) diharapkan menjadi gejala meningkatnya pemahaman hak-hak konstitusional warga negara. Bersengketa di pengadilan berdasar fakta-fakta hukum merupakan bentuk kedewasaan dalam berdemokrasi yang sehat. Penyelesaian setiap permasalahan sesuai koridor hukum, mulai ketidakadilan dalam proses pemilukada, tidak main hakim sendiri, hingga lebih mengutamakan aspek penegakan hukum di pengadilan dan bukan di jalanan, pada prinsipnya mengejawantahkan tingkat tertinggi sebuah peradaban manusia. Semuanya bermuara pada harapan untuk mendapatkan keadilan.

Pada satu sisi, bersengketa adalah bentuk sikap belum menerima kekalahan proses demokrasi meskipun tanpa bukti sama sekali. Pemohon berharap ”keberuntungan” memperoleh suara atau menggeser pemimpin daerah yang terpilih. Kecurangan pemilu kerapkali susah dibutikan kebenarannya. Akan tetapi, sebuah proses peradilan menghendaki bukti dan bukan prasangka. Menuduh tanpa disertai bukti adalah sebuah pelanggaran tersendiri. Bersengketa juga sering menjadi ajang ”tawar menawar” mencari keuntungan pihak yang kalah. Tentu saja kita berharap semoga ini tidak terjadi.

Sampai akhir Mei 2010, hampir separuh dari 244 Pemilukada 2010 yang berlangsung di Indonesia disengketakan di MK. Lembaga pengawal konstitusi ini harus siap dengan banjirnya sengketa pemilukada tersebut, apapun motif pihak berperkara. Yang pasti, mempersoalkan hasil Pemilukada oleh penyelenggara adalah hak yang dijamin konstitusi dan undang-undang (UU).

Selain soal substansi, syarat formal juga harus dipenuhi. Semisal, tenggat waktu maupun hak gugat (legal standing). MK terikat asas tidak boleh menolak mengadili perkara. Semua perkara harus diterima dan diadili sesuai hukum yang berlaku. Tidak dibenarkan menolak memeriksa perkara karena tidak ada hukumnya menolak mengadili sebelum diperiksa.

Dengan modal pengalaman MK sebelumnya, khususnya Pemilu Legislatif 2009 yang amat berat –terutama karena ratusan perkara masuk–, MK optimis mampu menyelesaikan Sengketa Pemilukada tahun ini. Berapapun perkara yang masuk, akan diselesaikan cepat selama 14 hari kerja tanpa mengabaikan kualitas putusan yang dijatuhkan. Transparansi dan akuntabilitas akan selalu dijaga selama perkara diproses. Pihak-pihak yang berperkara akan didengar semua keterangannya. Tidak ada yang ditutup-tutupi dari proses persidangan, kecuali Rapat Permusyawararatan Hakim yang harus tertutup dan bersifat rahasia.

Para pihak harus jujur di persidangan. Tanpa kejujuran, maka hasil yang dicapai tidak akan sesuai harapan. Sebab, yang diperiksa dan yang menjadi dasar memberikan putusan adalah apa yang dikemukakan pihak-pihak di persidangan. Jika kedua belah pihak berbohong di persidangan, MK tentu saja juga akan kesulitan mengungkap fakta di luar yang diajukan. MK bukan lembaga penyelidik dan penyidik, memiliki keterbatasan hanya merekam alat bukti dan saksi-saksi di persidangan. Keterbatasan lembaga peradilan itulah yang harus dilengkapi lembaga-lembaga berwenang lainnya, seperti panwaslu dan polisi.

Selanjutnya, yang tidak kalah penting dengan berperkara adalah siap dengan putusan yang akan dijatuhkan. Harapan mendapatkan keadilan di MK harus disertai pemahaman tugas dan wewenang MK dan hukum acara yang berlaku. Dengan memahami itu semua, pengajuan permohonan akan memperhitungkan segala kemungkinan. Permohonan diajukan dengan bukti-bukti dan mempersoalkan hal yang menjadi ranah MK. Meski semua masalah akan diperiksa, baik yang diajukan Pemohon, Termohon, dan Pihak Terkait, semua tetap akan kembali kepada fakta-fakta di persidangan. Dibutuhkan kedewasaan menerima putusan.

Editorial Majalah Konstitusi Edisi Mei 2010
Foto: Humas MK/ Wiwik BW