Rabu, 29 September 2010

Pelanggaran Sistematis, Terstruktur dan Masif Masih Terjadi


Sampai dengan akhir Juni ini, MK telah menerima dan meregistrasi 64 perkara Perselisihan Hasil Pemilu (PHPU) Kepala Daerah. Tercatat permohonan terakhir diterima oleh Mahkamah Konstitusi, yaitu keberatan pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati Kepala Daerah Kab. Muna Prov. Sulawesi Tenggara LM Rusman Emba-P. Haridan. Dari perkara yang ditangani dengan batas waktu terbatas, 14 hari x 24 jam, MK telah memutus sebanyak 27 perkara.

Penyelesaian dengan sebaik-baiknya merupakan prestasi, akan tetapi merupakan tantangan MK semakin meningkatkan kinerja dan pelayanannya kepada pencari keadilan. Di awal bulan ini saja, pertama kali MK membuat putusan, 1 permohonan dikabulkan pada 3 Juni. Selain itu juga 2 perkara ditolak, 1 tidak diterima dan 2 permohonan gugur. Kemudian tidak selang berapa hari, pada 9 Juni 1 perkara dikabulkan dan menolak 1 perkara, dan memutus hari-hari selanjutnya sampai 27 perkara. Jika dikumulasikan, permohonan mayoritas ditolak karena permohonan tidak terbukti secara hukum. Namun jika dibandingkan tahun-tahun lalu, angka permohonan dikabulkan pada Pemilukada 2010 kali ini tergolong cukup tinggi.

Dapat dicatat, permohonan-permohonan yang tergolong dikabulkan, termasuk dengan putusan sela, pada dasarnya MK membuat pertimbangan taat asas. Kesinambungan antar putusan selalu dijaga dan mempertahankan yurisprudensi putusan yang sama. Jika terjadi pelanggaran yang sistematis, terstruktur dan masif dan signifikan yang otomatis melanggar asas-asas Pemilukada seperti diamanatkan UUD 1945, MK menetapkan sebuah putusan sela. Sebut saja, misalkan di Bangli, terjadi pencoblosan lebih satu kali dan diwakilinya hak pilih oleh orang lain, meskipun Panwaslu telah merekomendasikan pemungutan suara ulang. Dalam hal ini MK akhirnya menganggap terjadi pelanggaran asas langsung, bebas dan rahasia oleh warga dan penyelenggara Pemilukada.

Kemudian di Konawe Selatan, terjadi praktik politik uang (money politic), mobilisasi PNS, pemberhentian kepala sekolah karena suaminya tidak mendukung calon incumbent, pengangkatan pegawai tidak tetap untuk pemenangan Pemilukada dan pelanggaran-pelanggaran berat lain yang melibatkan PNS, aparat desa, penyelenggara Pemilukada, sehingga tidak ada cara lain selain menetapkan putusan sela untuk pemungutan suara ulang seluruh TPS di Konawe Selatan.

Begitu pula di Kab. Lamongan, meskipun KPU tidak melanggar, akan tetapi terjadi inkonsistensi dalam menetapkan keabsahan surat suara dan interpretasi berbeda surat suara coblos tembus di berbagai TPS. Sehingga demi validitas perolehan masing-masing calon, MK memerintahkan penghitungan suara ulang setiap kotak suara. Model yang sama dalam Pemilukada Kota Surabaya, yakni terjadi inkonsistensi ”coblos tembus”, sehingga dilakukan penghitungan suara ulang seluruh kecamatan kecuali di 4 kecamatan dan 2 kelurahan, dimana di kecamatan dan kelurahan ini juga terbukti adanya ”kampanye terselubung”, money politics, mobilisasi PNS, dan penyalahgunaan wewenang (abuse of power).

Pada hari sama dengan putusan Lamongan, di Kab. Sintang juga dianggap terjadi pelanggaran-pelanggaran cukup serius dan sifatnya sudah sistematis, terstruktur, dan masif. Sehingga diperlukan pemungutan suara ulang di seluruh TPS di 3 kecamatan, dan TPS-TPS di 4 desa, serta rekapitulasi ulang di TPS-TPS tertentu di 6 kecamatan. Pelanggaran juga terjadi ditandai pada Pemilukada Kab. Gresik yang tidak hanya selama masa pemungutan suara, akan tetapi juga sebelumnya, sehingga Mahkamah mengganggap diperlukan pemungutan suara ulang di 9 kecamatan.

Lain lagi untuk Tebing Tinggi, berbeda dengan pelanggaran diatas. Di kota ini, calon walikota terpilih menjalani masa percobaannya mulai 11 November 2009 sampai dengan 11 Mei 2011, sesuai putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih. Sehingga yang bersangkutan tidak memenuhi salah satu syarat hukum menjadi pasangan calon dalam Pemilukada. Sehingga batal demi hukum hasilnya. Selain itu, terjadi kesalahan KPU membuat formulir yang isinya, “... tidak sedang menjalani pidana penjara ...”, padahal seharusnya berisi, “... tidak pernah dijatuhi pidana penjara...”.

Dari uraian ini, pelanggaran pidana dan administrasi yang tergolong sistematis, terstruktur, dan massif masih terjadi, sehingga dijatuhkan putusan sela. Dengan putusan ini, para pihak terkait semestinya belajar dari catatan buruk dengan melaksanakan putusan sesuai dengan asas-asas Pemilu. Potensi pelanggaran masih terbuka saat pelaksanaan putusan sela tersebut. Sangat dibutuhkan komitmen berlaku jujur dan bersih disertai pengawasan berbagai pihak, serta peran serta masyarakat mengawal proses demokrasi lokal tersebut.

Pelajaran ke depan, kita perlu berkaca dari para pemimpin bangsa. Politik dipahami sebagai panggilan, pengabdian, perjuangan, tanggung jawab, dan juga siap menderita. Pemimpin sebenarnya tidak menang dengan curang. Pemimpin dengan politik menghalalkan segala cara, bukan pemimpin sebenarnya, meski tercatat menyandang pemimpin formal. Pemimpin sejati siap kalah dan mundur, karena tanpa embel-embel jabatan sekalipun, mereka tetap pemimpin yang melayani masyarakat.

(Editorial Majalah Konstitusi Edisi Juni 2010/ Foto: Humas MK)