Rabu, 29 September 2010

Pemilukada Tanpa Politik Uang



Indonesia dengan demokrasinya kerap dituding gagal membawa perubahan dan kemakmuran rakyatnya. Pemilihan kepala daerah langsung, dan diperkenankannya “calon independen”dalam Pemilukada juga dianggap menyuburkan politik uang (money politics). Penyakit korupsi yang mengiringi demokrasi ini menjadi masalah yang perlu diatasi dengan kerja keras. Karena dengan Pemilukada langsung hanya menggeser locus yang dulunya di lingkaran elit politik, kemudian menyebar kepada pemilih.

Politik uang memang tidak hilang dengan Pemilukada secara langsung. Berdasarkan data yang diungkap ke publik, lembaga pengawas Pemilu, penegak hukum, lembaga pemantau dan fakta-fakta hukum yang terbukti di Mahkamah Konstitusi (MK) berbagai modus politik uang masih terjadi dengan ungkapan halus sampai kasar. ini berlangsung setiap momen pergantian kekuasaan, termasuk politik lokal. Jabatan-jabatan publik menjadi ajang perebutan kekuasan mereka yang memiliki modal yang besar.

Pemilu seremonial dan ritual lima tahunan ini tentu keluar dari tujuan sebenarnya. Indonesia tentu tidak sama dengan negara otoriter yang mengklaim demokrasi dengan telah melangsungkan Pemilu meski dengan cara curang. Yang mengkhawatirkan adalah kemudian masyarakat merindukan sistem lama yang tidak lebih baik. Harapan perbaikan dan persepsi masyarakat menjadi perhatian bahwa politik uang merusak mental masyarakat dan abai atas persaiangan sehat. Kita pasti tidak ingin mengulang perdebatan lama menghadap-hadapkan kemakmuran dengan demokrasi, karena kontraproduktif. Kesepakatan politik tertinggi dalam konstitusi kita bernegara demokrasi, sekaligus bernegara hukum. Demokrasi tidak liar tanpa rambu-rambu hukum.

Berdemokrasi jelas mencegah pemerintahan kaum otokrat yang kejam dan menjamin hak-hak asasi manusia. Kepentingan pokok rakyat lebih terjamin dari pada pemerintahan non demokrasi. Selain itu dalam pemerintahan dengan sistem demokrasi memberikan kesempatan pemimpin menjalankan kekuasaannya dengan tanggung jawab moral, politik dan hukum. Lebih dari itu lebih membantu perkembangan manusia

Di tahun ini diperkirakan berlangsung sekitar 244 Pemilukada berbagai daerah. Ketua MK, Moh. Mahfud MD pernah memprediksi, sekitar 30-50 persen berpotensi menjadi perkara yang dimohonkan ke MK. Artinya, sejumlah 73 sampai 122 Pemilukada berpeluang menjadi perkara di MK. Sampai dengan akhir Mei 2010 ini kurang lebih tiga perkara telah diregistrasi dan lembaga ini berkomitmen melaksanakan kewenangannya memeriksa, mengadili dan memutus dengan prinsip speedy trial. Meski terbatas memutus perselisihan hasil suara, akan tetapi sebagaimana lalu-lalu, berbagai permasalahan dibawa, mulai pelanggaran pidana, administratif dan terkait penafsiran hukum. Sehingga MK lebih mengutamakan keadilan substantif dari pada keadilan prosedural.

Bersengketa di MK sebatas upaya represif menegakkan hukum dan keadilan. Namun yang lebih penting mengantisipasi pelanggaran terjadi dengan pengawasan sejak awal oleh KPU di berbagai daerah, pengawas pemilu, pemantau, penegak hukum dan tentu masyarakat itu sendiri menjaga kesucian pemilu. Upaya berbagai pihak meminimalisir hal tersebut, misalkan komitmen kontestan Pemilu tidak berpraktek curang patut dihargai. Himbauan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam Forum ke-6 World Movement for Democracy belum lama ini, untuk berdemokrasi tanpa politik uang perlu sungguh-sungguh dilaksanakan. Politik uang bukan hanya mereduksi demokrasi atau kedaulatan rakyat, melainkan menghasilkan pemimpin yang menang tidak secara ksatria. Sulit diharapkan menyerahkan kepercayaan rakyat kepada mereka yang mengabaikan etika politik dan melanggar peraturan yang disepakati.

Pemilukada yang berintegritas dan berkualitas, termasuk tanpa money politics menjadi keinginan bersama. Pemerintahan harus disi mereka yang representatif (representative government). Lebih dari itu, dengan elit politik dipilih secara free dan fair, mereka mampu menerjemahkan keinginan rakyat dalam kebijakan yang dikeluarkan. Selain itu dengan pemimpin responsive, akan dapat mengartikulasikan program-program dan janji-janjinya dalam tindakan dan akuntabel. Meski Pemilukada yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil, belum sepenuhnya menjamin itu, setidaknya kita bersama memulai dengan hal yang bersih dan jujur. Andil kita menentukan siapa pemimpin daerah kita.

(Editorial Majalah Konstitusi Edisi April 2010/Foto: pemiluindonesia.com)