Rabu, 29 September 2010

Perburuan Menuju Fundamental Hukum


Buku berjudul ”Hukum dan Perilaku, Hidup Baik adalah Dasar Hukum yang Baik” merupakan karya kesekian kalinya almarhum Pak Tjip, panggilan akrab Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H. Artikel yang dihimpun dalam buku ini merupakan karya terakhir sebelum beliau meninggal, sedangkan tulisan yang diterbitkan setelah kepergiannya juga terus bermunculan. Karya ini memiliki pesan sama, seperti tulisan-tulisan sebelumnya, yakni ia berteori tentang hukum dan cara berhukum manusia. Dengan bahasa ringan dan mudah dicerna, ia menawarkan pemahaman lain memandang hukum tidak semata-mata sebagai peraturan.

Baginya hukum selama ini terpaku didekati dengan ”cara hukum”, termasuk cara berpikirnya. Hukum selalu membicarakan tafsir pasal atau menjawab isu hukum, baik untuk kepentingan praktis atau akademis. Hukum selalu beranjak dari peraturan atau teks hukum. Ketika berusaha keluar dari kaca mata hukum umumnya, acapkali dianggap ”menyimpang”. Di tengah kondisi demikian, Pak Tjip hadir dengan konsep berbeda, yang banyak mengilhami aktivis hukum untuk melakukan gerakan membongkar paradigma yang gagal membawa perubahan ke arah lebih baik ini.

Kritik Hukum Modern

Penulis membuktikan hukum suatu bangsa memiliki fundamennya sendiri. Tidak terletak dalam sistem hukumnya, melainkan perilaku bangsa dalam berhukum. Ia risau kemajuan berjalannya hukum tak kunjung datang di negeri ini, dengan karut marut, kemerosotan dan krisis hukum berkepanjangan. Pak Tjip sampai menyatakan, ”Apa ada yang salah dengan hukum kita?” Secara sadar, ia perlahan dan pasti menukik kepada fundamen hukum yang tidak terletak pada bahan hukum, sistem hukum, berpikir hukum, akan tetapi perilaku manusia sendiri. Perilaku manusia yang baik menentukan bagaimana hukum Indonesia. (hlm. viii-ix)

Kehidupan manusia awal tidak dimulai dari membangun kehidupan di bawah hukum canggih seperti saat ini. Melainkan membangun sebuah masyarakat atau komunitas. Hubungan kepercayaan dan saling membutuhkan adalah basis kebersamaan masyarakat. Bangunan hukum modern yang masuk belakangan, tidak dapat menggeser hubungan kepercayaan pelaku hukum yang lebih alami. Membangun kehidupan bersama tidak dapat dilepaskan dari kepercayaan (trust) dan kerja sama tersebut. Kejujuran, kesantunan, dapat dipercaya, kepedulian atas sesama, tidak berbuat curang dan jahat kepada orang lain dan lain sebagainya adalah sebuah contoh berperilaku yang baik. Semakin tinggi kualitas sikap dan perilaku tersebut, semakin tinggi kualitas masyarakat itu.

Pak Tjip hampir selalu memberi contoh-contoh bagaimana kepercayaan dan kerja sama lebih penting, dari pada dokumen hukum. Seperti kata Stewart Macaulay, kontrak tidak hanya dilihat sebagai dokumen hukum (legal document), akan tetapi ”tool of axchange” sesuai kemauan pebisnis Amerika Serikat. Banyak ”jalan bisnis” digunakan untuk menyelesaikan masalah-masalah mereka. Fenomena ”Slugs” sebagai akibat krisis minyak, hukum secara alami mucul dengan segala kaidah dipatuhi bersama. Kasus Mille Simpson juga digambarkan perilaku yang tampaknya mematuhi hukum tidak selalu berangkat dari kesadaran ”patuh hukum”. Contoh-contoh Pak Tjip ingin menunjukkan masyarakat adalah pabrik yang memproduksi hukum.

Oleh karenanya dengan hukum modern, dengan hukum yang dibentuk dengan sengaja dan terencana (legislated law).serta terstuktur, seperti gugatan Roberto M. Unger, hukum mulai otonom (autonomy) dan bersifat umum (generality). Sistem hukum kemudian menjadi mandiri, sebagai institut baru, khusus dan unik dengan logika, prosedur dan personal-personal tertentu pula. Hukum berubah menjadi wilayah esoterik, terisolasi dan terasing dari masyarakat. Dari sinilah Pak Tjip selalu memulai lembaran-lembaran tulisannya yang menyatakan hukum bergeser dari bentuk semula yang interactional law.

Berhukum dengan Perilaku

Sejak teks hukum mendominasi, bahasa berperan utama. Dunia hukum berubah dari dunia nyata menjadi dunia maya terbatas kata-kata. Perubahan ini telah mereduksi gagasan utuh dalam menerjemahkan kenyataan menjadi kalimat. Gagasan menjadi skema, kerangka dan skeleton. Ia mencontohkan ”mencuri” dalam komunitas jawa yang awalnya 10 macam, menjadi pencurian yang dirumuskan di KUHP. Banyak hal tercecer ketika memindahkan realitas menjadi teks. Cara berhukum berhubungan keadilan bergeser hanya persoalan teks tertulis. Bab“Dari Institusi Moral Menjadi Teknologi” (hlm. 57-60) ia mengkritik hukum menjadi mesin tanpa nurani. Moral tidak penting, akan tetapi lebih penting efektifitas hukum sebai “tools of social engineering”. Pengadilan modern hanya tempat menjalankan aturan sebagaimana mengutip William T. Pizzi (1999) peradilan modern telah menjadi “Trials by rules, but without truth”.

Ia pada mengkritik cara berhukum konvensional. Teks hukum pada dasarnya bertujuan agar perilaku baik juga. Peraturan tertulis tidak dapat diandalkan satu-satunya cara perilaku baik. Karena di luar hukum negara, ada cara berhukum yang berjalan secara alami. Berapapun peraturan tertulis, tidak menjamin perilaku yang baik di masyarakat. Begitu pula dengan cara berhukum yang kaku, menjauhkan hukum dengan realitas sebenarnya. Orang mematuhi hukum bukan karena dirumuskan oleh negara, akan tetapi kesadaran hukum itu baik baginya.

Oliver Wender Holmes melalui doktrinya mengemukakan,”The life of the law has not been logic: it has been experience.” Ini sebagai kritik teks hukum tidak akan mampu merekam kebutuhan dan moralitas masyarakat. Oleh karena itu ia mengajak agar ”darah dan daging” hukum harus dikembalikan. Baginya, teks hukum tidak sepenuhnya dipercaya mewakili dunia hukum. Sebagaimana hukum Indonesia tidak lengkap dipahami tanpa memahami perilaku masyarakat dalam berhukum. Bisa terjadi kesenjangan yang jauh teks dengan perilaku dan hukum tumbuh sumbur di luar negara.

Jepang selalu menjadi contoh bagaimana cara berhukum secara substansial, dalam arti cara berhukum dengan nuraninya, bukan dengan jalan pikirannya. Cara berhukum di Jepang berakar secara fundamental ke dalam tatananan sosial. Kondisi inilah yang diidam-idamkan Pak Tjip bahwa perilaku tertib bukan ditentukan karena teks tertulis, akan tetapi kesadaran masyarakat sendiri. Sebaik apapun peraturan, tanpa disertai kultur perilaku yang baik, sistem dan manusia yang baik, maka bernegara hukum masih jauh.

Di bagian-bagian buku ini ditekankan progresifitas aktor-aktor hukum di tengah permasalahan hukum yang akut di Indonesia. Perkembangan ke arah “industri hukum” seperti di Amerika Serikat bahwa pelayanan hukum berkembang menjadi korporasi besar dan tidak jelas keberpihakannya mesti dipikirkan. Kritik pedasnya, jika kita menghadapi masalah hukum, dianjurkan datang ke juru rawat saja yang lebih berprikemanusiaan dari pada profesional tidak bernurani. Ia mengajak mendesain hukum, akan tetapi tidak terbatas merancang teks tertulis. Ia berharap tumbuh dan lahir para aktor-aktor hukum dengan gerakan yang tidak hanya berpandangan sempit, melainkan juga perubahan kultur secara besar-besaran yang mendukung berhukum secara substansial.

Pendidikan Hukum

Pendidikan hukum bagi Pak Tjip penting melahirkan perilaku berhukum substansial. Pendidikan yang membawa kembali kepada fundamen hukum, tidak semata-mata membentuk manusia profesional dan terampil. Akan tetapi juga menanamkan budi pekerti luhur. Pengajaran yang semata-mata beroptik hukum, akan mengabaikan realitas dan keadilan masyarakat. Pendidikan hukum model hafalan pasal-pasal tidak akan mampu menjawab permasalahan bangsa. Diperparah jika produk hukum masih warisal kolonial ditangan profesional yang hanya menerapkan pasal. Hukum hanya akan berjalan biasa-biasa saja. Rontoknya dunia hukum tidak lepas dari kontribusi pendidikan hukum mengabdi pasar kerja ini.

Pendidikan hukum sejak dini yang mengenali kenyataan adalah cita-cita beliau. Bukan berarti teks tertulis dan logika hukum tidak penting. Akan tetapi tujuan pengajaran hukum ditekankan mengatasi problem sosial, bukan terbatas problem hukum. Pendidikan hukum sejatinya tidak justru menenggelamkan rasa kemanusian. Hukum juga harus terbuka dan dimengerti masyarakat luas. Prof. Satjipto tidak berhenti satu teori, akan tetapi segala teori dilihat dengan kritis dan memakainya jika berguna untuk manusia. Semoga usaha perburuannya kembali kepada fundamental hukum, yakni berhukum secara substansial mengilhami kita.


Oleh Miftakhul Huda, Redaktur Majalah Konstitusi

Sumber: Majalah Konstitusi Edisi April 2010