Rabu, 29 September 2010

Pidato Soekarno untuk Indonesia


Oleh Miftakhul Huda, Redaktur Majalah Konstitusi

Buku ini merupakan pidato Ir. Soekarno pada 1 Juni 1945 yang dikemukakan pada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai atau dikenal dengan nama Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK). Pidato lain yang sangat penting selain Soekarno adalah pidato Mr. Moh. Yamin pada 29 Mei dan Prof. Dr. Soepomo pada 31 Mei. Pidato Soekarno yang dikemukakan tanpa teks mendapatkan sambutan hangat dari peserta sidang dengan penyampaian berapi-api yang berlangsung kira-kira satu jam.

Moh Hattta dalam pidato penerimaan gelar Doctor Honoris Causa dari Universitas Indonesia pada 30 Agustus 1975 yang berjudul ”Menuju Negara Hukum”, menyatakan bahwa Pancasila lahir pada 1 Juni 1945 sebagai intisari pidato Bung Karno yang diucapkan sebagai jawaban atas pertanyaan Ketua BPUPK yaitu K.R.T. Radjiman Wedioningrat: Negara Indonesia Merdeka yang akan kita bentuk, apa dasarnya?.

Buku” Lahirnya Pancasila” dengan kata pengantar dari Dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat (1947) yang juga Ketua BPUPK, sebelum masa reformasi sempat hangat menjadi kontroversi panjang. Orde Baru sempat mengecilkan peran Soekarno dan larangan memperingatinya. Perdebatan mengenai ini bersumber pada buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 karya Yamin. Dari buku ini memperlihatkan Bung Karno bukan orang pertama dan bukan satu-satunya mengetengahkan dasar negara Indonesia merdeka. Beberapa sejarawan dan ahli hukum berdasarkan risalah satu-satunya tersebut mempersoalkan Soekarno sebagai bukan yang pertama menyampaikan isi Pancasila tersebut. Akan tetapi Yamin sendiri dalam berbagai pernyataanya hanya mengakui Soekarno sebagai yang pertama mengemukakan Pancasila, baik dari sisi isi maupun penamaanya.

Pendapat lain yang bersumberkan pada buku Yamin pula dan berdasar dokumen terbaru yang ditemukan belakangan, serta kesaksian pelaku sejarah dalam ”Panitia Lima” (Hatta, A. Subardjo, A.A. Maramis, A.G. Pringgodigdo dan Sunario) membantahnya dan menegaskan kembali peran Soekarno mengenai Pancasila dan Soekarno satu-satunya yang secara jelas menyebut Pancasila dengan urutan berbeda sebagaimana saat ini (UUD 1945 sebagaimana disahkan 18 Agustus 1945).

Pancasila yang disepakati bersama oleh founding fathers yang ada saat ini memang tidak dapat dilepaskan dari beberapa momen, yaitu Pidato 1 Juni tersebut yang kemudian dirumuskan Tim Sembilan menjadi Piagam Jakarta. Selanjutnya rumusan Pancasila ditetapkan pada 18 Agustus 1945 setelah kemerdekaan dan kemudian diberlakukan dengan Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959.

Sama halnya sebuah fakta yang mengemukakan cita negara Integralistik atau persatuan adalah gagasan Soepomo saat memberikan jawaban apa dasar negara kita yang berpengaruh besar atas isi pasal-pasal batang tubuh. Selain itu tidak dapat dipungkiri juga bahwa yang mengusulkan pertama kali mengenai pasal adanya perubahan konstitusi adalah bukan Soekarno atau Soepomo, meskipun kemudian Soepomo misalkan yang merumuskannya dalam pasal, yang akhirnya rumusan yang disepakati bersama adalah sebagaimana yang ada dalam Pasal 37 UUD 1945 seperti yang dapat kita baca sekarang. Sehingga meskipun akhirnya menjadi karya bersama, tetapi sejarah tidak dapat dihapuskan mengenai penggagas pertama.

Terlepas dari kontroversi tersebut, dari buku ini, Soekarno mengemukakan dasar negara atau yang disebutnya sebagai ”philosofische grondslag”. Philosofische grondslag adalah, ”pundamen, filsafat, pikiran jang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam-dalamnya untuk diatasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.”(hlm.7). Soekarno menyebut dasar negara dengan ”Weltanschauung”, seperti Hitler mendirikan Jerman atas ”national-sozialistische Weltanschauung ”, Nippon mendirikan negara Dai Nippon diatas satu ”Tennoo Koodoo Seishin”, dan Saudi Arabia, Ibnu Saud mendirikan negara diatas satu dasar agama, yaitu Islam. Sedangkan Weltanschauung kita apa?

Soekarno mengatakan pertama kali Pancasila sebagai philosofische grondslag dan Weltanschauung, bukan ”Pantja Dharma” yang menurutnya adalah tidak tepat, karena membicarakan kewajiban, sedangkan saat tersebut yang dibicarakan mengenai dasar negara. ”Sila artinya asas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi.” ujar Soekarno yang disambut tepuk tangan riuh (hlm. 28). Soekarno ingin dasar negara disusun bukan seadanya saja, akan tetapi yang sudah lama harus kita bulatkan dalam hati dan pikiran kita sebelum Indonesia merdeka.

Jembatan Emas

Sebelum mengemukakan dasar negara, Soekarno menyampaikan soal apa yang disebut merdeka? Presiden pertama RI ini dengan lantang menyatakan merdeka adalah ”political independence”, politieke onafhankelijkheid. Merdeka di tiap negara berbeda mengenai isi dan derajatnya. Soekarno berharap merdeka tidak harus siap 100 persen.

Ia menyebut contoh Saudi Arabia dan Sovyet Rusia. Bahwa merdeka tidak harus rakyatnya sudah cerdas dan mengerti, dan mampu baca. Cukup sesuai dengan hukum Internasional, yakni adanya rakyat, bumi dan pemerintahnya. Oleh karenanya sebagaimana dikemukakan Soekarno dalam ”Mencapai Indonesia Merdeka”, kemerdekaan adalah ”satu jembatan, satu jembatan emas”. Diseberang jembatan itulah kita sempurnakan masyarakat. Dengan Indonesia merdeka, kita memerdekakan rakyat Indonesia, kita leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang kata Soekarno: gagah, kuat, sehat, kekal dan abadi (hlm. 7-13).

Lima prinsip yang dikemukakan Soekarno yaitu: 1. Kebangsaan Indonesia, 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan, 3. Mufakat atau demokrasi, Kesejahteraan sosial, dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa. Hatta menyebutkan sila ke- 1 s/d 4 adalah fundamen politik, sedangkan sila ke-5 adalah fundamen moral. Rumusan ini sebagaimana kita ketahui bersama dalam perkembangannya fundamen moral diletakkan paling atas, sedangkan fundamen politik di bawahnya. Pengubahan urutan ini dilakukan oleh Panitia 9 bentukan Panitia Kecil. Selain itu, sila kebangsaan diganti dengan sila ”Persatuan Indonesia” yang menurut Hatta dikarenakan adanya kekhawatiran pembesar-pembesar Jepang akan memecah belah Indonesia menjadi berbagai negara, sekurang-kurangnya tiga negara.

Selanjutnya, urutan dan rumusan Pancasila saat ini sebagaimana yang termaktub dalam Pembukaaan UUD 1945 yang ditetapkan dalam Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus dengan perubahan-perubahan kecil berasal dari Mukaddimah atau Jakarta Charter hasil Panitia 9. Teks resmi UUD 1945 saat ini yaitu sebagaimana yang diberlakukan dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 (Lembaran Negara No.75/1959). Pembukaan UUD 1944 saat amandemen konstitusi berlangsung (1999-2002) menjadi salah satu “kesepakatan dasar” MPR yang dipertahankan tidak akan diubah.

Soekarno dalam uraian pertamanya menyampaikan sila kebangsaan. Kita mendirikan negara ”semua buat semua”, bukan oleh dan untuk satu orang, golongan, agama dan lainnya. Soekarno menekankan pentingnya negara bangsa ini, sebuah nationale state. Syarat bangsa dengan melengkapi pendapat Ernest Renan dan Otto Bauer, dan pendapat Ki Bagoes Hadikoeoemo atau Munandar, Soekarno menekankan mengenai pentingnya ”persatuan orang dan tempat”. Tidak bisa dipisahkan rakyat dan bumi di bawahnya. Sehingga Soekarno menyinggung ”tanah tumpah darah kita” atau ”tanah air kita”. Nationale staat Indonesia seluruhnya, bukan hanya kebangsan Jawa, Sumatera, Sulawesi, Bali dan sebagainya (hlm. 16-22). Peresensi melihat bahwa ”The Three People’s Priciples” Sun Yat Sen dan ajaran Gandhi Soal kebangsaan: ”my nationalism is humanity” sangat berpengaruh dan meresap atas pandangan Soekarno mengenai kebangsaan tersebut.

Kemudian, dikemukakan soal ”Internasionalisme” yang berakar pada nasionalisme. Lalu, sila ketiga dan keempat mengenai prinsip kesejahteraan sosial, yaitu prinsip tidak akan ada kemiskinan di dalam Indonesia merdeka. Tidak hanya politieke democratie saja, akan tetapi ekonomische democratie. Soekarno menggunakan bahasa rakyat akan hal ini yaitu: ”Permusyawaratan yang memberi hidup” atau ”Demokrasi yang mendatangkan kesejahteraan sosial”. Sila terakhir yang dikemukakan sebagai lima prinsip adalah prinsip Ketuhanan. Ketuhanan yang dimaksud adalah ketuhanan yang berkebudayaan, berbudi pekerti luhur, hormat menghormati satu sama lain. Tiada egoisme agama.

Menggerakkan Sejarah

Pancasila sebagai dasar negara oleh para ahli filsafat dan ketatanegaraan juga dipahami sebagai staatsfundamentalnorm atau Grundnorm (teori Hans Kelsen-Nawiasky), Pancasila sebagai Rechtsidee (cita hukum) dan penyebutan lain juga dilakukan oleh para pakar. Yang pasti Proklamasi yang mengandung prinsip yang berisi asas kerohanian tidak dapat didekati dari teori yang kurang tepat. Beberapa prinsip ini juga harus dijabarkan dalam konstitusi dan segala peraturan perundang-undangan dan menjadi cita-cita aparatur negara dan masyarakat.

Selain itu, Pancasila yang dipertahankan sejak 1945 dalam buku ini merupakan perpaduan pandangan golongan-golongan dalam masyarakat yang mempersatukan bangsa Indonesia dan sebuah kehendak yang ingin diwujudkan. Dengan Pancasila mudah ditafsirkan oleh kekuasaan dan penyelewengan-penyelewengan seperti sila keadilan sosial diganti kapitalisme dan pemiskinan rakyat, buku ini dapat menjadi pengingat bersama makna Pancasila. Memang harus ada kesesuaian sila-sila dengan realitas saat ini. Kuntowijoyo dalam ”Radikalisasi Pancasila” perlu menjadi perenungan kembali agar Pancasila diberi ruh baru, sehingga mampu menjadi kekuatan yang menggerakkan sejarah. Perjalanan bangsa harus searah dengan Pancasila, sehingga bangsa tidak kehilangan arah.

Judul : Lahirnya Panca-Sila
Pengarang : Soekarno
Penerbit : U.D. & Penerbitan “Djawa Timur Press”
Tahun : 1961
Jumlah : 32 halaman

Sumber: Majalah Konstitusi Edisi Mei 2010