Minggu, 26 September 2010

Rasa Keadilan dan Gagasan Pembaruan Hukum


Oleh Miftakhul Huda, Redaktur Majalah Konstitusi

Dalam bahasa masyarakat umum, jika kepentingan dan haknya terusik, ia dengan sederhana nyuwun keadilan (meminta keadilan)? Atau jika terjadi pencurian, korban dan masyarakat meminta pelaku dihukum secara adil? Hampir setiap hari kita bersentuhan dengan “hukum” dan “keadilan”. Dua kata itu hampir disebut bersamaan. Dalam Perubahan Ketiga UUD 1945 juga dirumuskan,“Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Ada apa dengan keadilan? Apa hubungan hukum dan keadilan? Apa itu hukum sendiri? Bagaimana peran ahli hukum, khususnya hakim dalam pembinaan hukum? Bagaimana peraturan dan sistem warisan kolonial ini menghadapi masyarakat yang berubah dan agar sesuai cita hukum kita sendiri? Bagaimana hubungan hukum dengan masyarakat, negara dan politik?

Rasa Keadilan
Wirjono Prodjodikoro dalam” Bunga Rampai Hukum Karangan Tersebar” berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan dengan renyah dan kaya pengalaman sebagai hakim. Kumpulan artikel masa 50-an ini ditulis mantan Ketua Mahkamah Agung RI periode 1952–1966 yang tergolong produktif mencatat pemikiran dan pengalamannya dan saat buku ini terbitkan sudah menulis 20-an buku dengan berbagai tema dari bidang hukum nasional maupun internasional.

Semua tulisannya berangkat dari dalil “Dasar segala segala hukum adalah rasa keadilan,” yang dikemukakan sejak 1953. Kenapa rasa keadilan? Ia melihat semua tujuan segala hukum mengejar keselamatan dan tata tertib dalam masyarakat (segala kepentingan segenap anggota masyarakat). Kadangkala berbagai kepentingan berbenturan dan tidak mungkin memuaskan semua kepentingan. Maka segala kepentingan harus ditimbang satu sama lain. Wirjono menegaskan, “Neraca kemasyarakatan harus tetap lurus berdirinya, maka diantara pelbagai kepentingan yang harus diperhatikan itu, harus ada suatu perimbangan. Perimbangan inilah yang saya maksudkan dengan yang dirasakan adil.”

Wirjono berusaha menggambarkan praktek bagaimana mengetahui perimbangan tersebut, dan suatu peraturan adalah peraturan hukum. Perimbangan berarti apa yang diperoleh suatu pihak sama beratnya dengan pihak lain. Sama berat tidak berrarti berwujud sama, akan tetapi nilai harga sama. Nilai harga ini tidak selalu dapat diukur secara objektif, tetapi tergantung penghargaan orang perseorangan yang berkepentingan. Rasa puas masing-masing faktor penting, meski memuskan semua mustahil, dan agar mendekati kepusan terhadap segala kepentingan.

Kemudian perimbangan tersebut berada di wilayah ”keinsafan” keadaan yang dianggap sesuai perimbangan yang dirasakan dalam sanubarinya. Kebanyakan langkah-langkah orang tidak dituntun oleh pikiran, akan tetapi perasaan belaka yang sudah berirama dengan masyarakat umum. Kemudian soal peraturan dalam masyarakat apakah peraturan hukum hanya soal sifat pertingkatan (gradueel), dimana kepatutan meningkat sampai tingkatan Pemerintah dan hakim untuk keperluan masyarakat harus memperhatikan peraturan tersebut, disitulah peraturan disebut peraturan hukum.

Pembaruan Hukum
Buku ini juga merekam gagasan Wirjono mengenai kedudukan perempuan dalam kaitannya dengan hak-haknya dalam wilayah privat maupun publik berdasarkan prinsip persamaan dalam hukum (hlm. 57-64). Selain itu banyak usulan-usulan brilian terkait usaha memperbaiki hukum perkawinan (hlm. 65-78), hukum warisan (hlm. 65-98), dan hasil penelitiannya terkait hukum warisan adat di Kabupaten Sidoarjo Jawa Timur, bahwa pembagian warisan antara orang yang beragama Islam kebanyakan berdasarkan temuannya tidak berdasarkan hukum Islam, akan tetapi hukum adat (hlm. 99-103).

Di dalam tulisan”Sekitar Kodifikasi Hukum-Perjanjian di Indonesia” yang ditulis pada 17 Mei 1958 disertai “Rancangan Undang-Undang Hukum Perjanjian” pada 27 Desember 1960, Wirjono membandingkan unsur-unsur hukum adat dan BW, terkait hukum perjanjian dan pilihannya jatuh kepada hukum adat. Pemikirannya sangat berharga untuk perbaikan hukum nasional saat terjadi dualisme hukum, yaitu hukum Adat dan Hukum Bergerlijk Wetboek (BW). Sampai saat ini karya ini sangat penting berkenaan dengan hukum perjanjian dan hak-hak atas benda, dimana Wirjono mengawali menawarkan rumusan pasal-pasal terperinci (Pasal 1-Pasal 93) untuk melengkapi UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (hlm. 104-163).

Wirjono juga mengusulkan gagasan terkait perubahan peraturan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel) yang diminta oleh Menteri Kehakiman saat itu. Dalam buku ini ia juga mengajukan konsep hukum agraria di Indonesia (1959) dimana saat itu DPR sedang menyusun dan membicarakan Rancangan UU Pokok agraria. Beberapa hal bisa dikemukakan pentingnya negara turut campur menganai soal tanah, terutama hidup-perekonomian masyarakat Indonesia bercorak agraris dan tanah merupakan alat penting untuk kemakmuran dan kebahagiaan masyarakat seluruhnya.

Kedudukan kekuasaan kehakiman dalam pembagian kekuasaan Negara juga dikemukakan dan kekuasaan hakim mengganggu-gugat undang-undang olehnya harus dilakukan agar konstitusi yang akan dibentuk Konstituante tidak akan dilanggar. Di bawah judul “Peradilan dalam Tata-Usaha Pemerintahan” (1952) ia meguraikan soal perbedaan dan pemisahan kekuasaan Negara, pengertian tata-usaha pemerintahan, pengaruh tata usaha pemerintahan dalam masyarakat, pelbagai sudut dari soal yang bersangkutan, dan menjelaskan keadaan tata usaha pemerintahan berdasarkan hukum dan praktek yang berlaku. Intinya Wirjono saat tersebut meski menyetujui, namun agar legislator menunda membentuk peraturan sengketa tata usaha pemerintahan diselesaikan pengadilan perdata, dengan kurangnya ahli dan sudah terakomodasinya sengketa tersebut dalam Pasal 1365 BW. Pada tahun tersebut juga diusulkan rancangan diawah judul “Rancangan Undang-Undang No….Tahun 1949 tentang “Acara Perkara Dalam Soal Tata-Usaha Pemerintahan” berjumlah 80 pasal dalam sembilan bab.

Akhirnya Wirjono berusaha mengajak para ahli hukum, khususnya hakim menemukan rasa keadilan dalam masyarakat dengan berpandangan luas dan tidak hanya dari sudut hukum, dengan menempatkan dirinya di tengah-tengah masyarakat untuk memecahkan persoalan dengan mengingat rasa keadilan. Jika para pihak berselisih mengenai keadaan atau isi hukum yang inconcreto harus diberlakukan, hakim harus menegaskan hukum yang benar, yang kadangkala di luar pihak yang bersengketa. Mengetahui isi hukum tidak hanya dari kata-kata peraturan hukum, tetapi juga maksud, makna dan jiwanya. Dengan kondisi bagian terbesar hukum Indonesia belum tertulis, seorang hakim mendekati sifat menciptakan peraturan hukum. Hubungan erat hakim dengan masyarakat terlihat terbukanya proses pengadilan dan tugas pokok hakim melaksanakan “hukum yang hidup” dalam masyarakat. Oleh karenanya seorang hakim memiliki hubungan erat dengan hukum dan masyarakat.

Yang menarik, beberapa pandangan penulis atas cara pandang hakim yang melulu berpikir tentang sengketa yang ditangani dengan mencari rumusan hukum terlebih dahulu, baru memecahkan persoalan kata Wirjono menjalankan peradilan demikian kaku dan beku, karena hakim yang bersikap demikian akan menemukan jalan buntu. Dalam zaman peralihan dengan peraturan-peraturan bersifat kolonial, dibutuhkan korps hakim berpikir dan menempatkan perasaan diatas peraturan zaman lampau, agar putusannya memuaskan masyarakat. Ia membenarkan seorang hakim ketika menghadapi perkara , sudah merasakan segera atau tidak lama sebaiknya masalah dipecahkan. Kemudian hakim berpikir dan mencari alasan yang berakar dari ilmu pengetahuan hukum atau peraturan hukum tertentu, atau yang paling baik yang berakar dari undang-undang. (hlm. 32)

Meski banyak dikritik, karena kekuasaan yudikatif berada dalam bayang-bayang eksekutif, namun beberapa pemikirannya tergolong progresif pada masanya. Kondisi saat ini dengan banyaknya peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum yang justru mengabaikan hukum juga keadilan masyarakat, pemikiran-pemikirannya masih relevan sampai saat sekarang. Jangan sampai terjadi ahli hukum menjauh dari hukum yang hidup di masyarakat dan kekuasaan peradilan menjadi kekusaan tanpa tersentuh perubahan, angin reformasi sekalipun.

Sehingga tidak terjadi sebagaimana William Shakespeare mengatakan Let's kill all the lawyers. Sebuah ungkapan kritik terhadap ahli hukum sebagai bentuk ketidakercayaan atas kebenaran yang dikatakan menurut hukum tetapi bertentangan dengan nurani masyarakat. Bahkan tafsir lain mengatakan ungkapan ini sebagai kebencian publik atas kepura-puraan ahli hukum membela kebenaran, yang sebetulnya hanya membela penjahat demi kepentingan uang. Konon ungkapan yel yel para pemberontak penentang Raja Inggris Henry IV sebagai puncak dari kebuntuan dan kemarahan rakyat ini tidak terjadi di Indonesia.

Judul : Bunga Rampai Hukum Karangan Tersebar
Penulis : Prof. Mr. Wirjono Prodjodikoro
Penerbit: PT. Ikhtiar Baru- Jakarta
Tahun : Cetakan Pertama, 1974
Hal : 254 halaman

(Dimuat di Majalah Konstitusi Edisi Maret 2010)