Rabu, 29 September 2010

"Yurisprudensi"



Istilah yurisprudensi di Indonesia harus dibedakan dengan istilah jurisprudence dalam bahasa Inggris yang berarti ilmu hukum. Yurisprudensi dapat disamakan dengan jurisprudentie di Belanda atau istilah serupa dalam bahasa Perancis yaitu jurisprudence.

Pasquer memberikan rumusan pengertian yurisprudensi yang berarti: Le droit objectif, qui se degage des arrest, rendus par les tribunaux. Mr. Mahadi (1958) menguraikan arti yurisprudensi  yang akhirnya menarik kesimpulan bahwa jurisprudence itu bukan keputusan-keputusan hakim, bukan pula sebagai "rentetan-rentetan" keputusan, melainkan hukum yang terbentuk dari keputusan-keputusan hakim.

Mahadi menyatakan umumnya yusrisprudensi dimaksudkan: rentetan keputusan-keputusan hakim yang sama bunyinya tentang masalah yang serupa. Dengan perkataan lain, para hakim menetapkan sesuatu sikap atau pendapat mengenai suatu soal dan telah ada persamaan pendapat soal itu.

Lebih lanjut ia menyamakan yurisprudensi dengan istilah "ijma" dalam hukum Islam. Sebagaimana dikemukakan Juynboll (1930), "ijma" yaitu “de overeenstemmende meening van alle in zaker tijdperk levende moslimssche geleerden”, yang artinya pendapat yang bersamaan di antara para ahli yang ada pada suatu masa.

Lebih jauh J. C.T. Simorangkir dkk dalam Kamus Hukum, Aksara Baru, 1983, hal. 91, mengatakan yurisprudensi sebagai: putusan-putusan pengadilan yang dapat dianggap suatu sumber hukum, karena bila sudah ada suatu jurisprudentie yang tetap, maka hal ini akan selalu diikuti oleh hakim-hakim dalam memberikan putusannya dalam soal yang serupa.

Prof. Subekti dan Tjitrosoedibio dalam Kamus Hukum (1969) juga menyatakan yurisprudensi adalah putusan-putusan pengadilan; apabila mengenai suatu persoalan sudah ada suatu yurisprudensi yang tetap, maka dianggapnya bahwa yurisprudensi itu telah melahirkan suatu peraturan hukum yang sama kuatnya dengan undang-undang. Karena itu maka yurisprudensi juga dianggap sebagai sumber hukum (dalam arti formal).

Di lingkungan Mahkamah Agung (MA) telah banyak melahirkan putusan-putusan yang dikuti, baik mengenai hukum formil atau hukum materiil. Semisal saja mengenai hukum acara mengenai “perubahan gugatan” dizinkan asalkan saja tidak melampau batas-batas materi pokok dan tidak menimbulkan kerugian pembelaan Tergugat, serta perubahan gugatan dapat diajukan sebelum Tergugat mengajukan jawaban dan lain sebagainya (Lihat Putusan MA No. 434.K/Sip/1970, Putusan MA No.1043.K/Sip/1971, Putusan MA No. 823.K/Sip/1973, Putusan MA No. 1425.K/Pdt/1985).

Mengenai “penggabungan gugatan” juga diperkenankan dalam yurisprudensi Mahkamah Konstitusi. Penggabungan gugatan dibolehkan asalkan antara gugatan-gugatan terdapat hubungan erat dan masing-masing pihak tidak tunduk kepada hukum acara berbeda (Lihat Putusan No. MA No. 677.K/Sip/1972 dan No. 677.K/Sip/1972).

Begitula pula berkenaan “ne bis in idem” sudah muncul yurisprudensi sesuai putusan MA No.102.K/Sip/1972 tanggal 23 Juli 1973 dan putusan-putusan lainnya yang menyatakan bahwa apabila dalam perkara yang baru diajukan ternyata subjek hukum para pihak berbeda dengan pihak-pihak dalam perkara yang sudah diputus lebih dulu, maka tidak ada ne bis in idem. Putusan ini menambah kriteria baru, yaitu tidak hanya mengenai perkara yang sama, tetapi juga apabila sebuah perkara sama tetapi pihak-pihak yang mengajukan perbeda maka tidak bisa dianggap perkara ne bis in idem.

Begitu pula hukum acara di MK banyak melahirkan putusan yang kemudian diikuti dalam putusan-putusan selanjutnya. Misalkan mengenai kedudukan hukum Pemohon (legal standing), yaitu sejak putusan MK Nomor 006/PUU-III/2005 tanggal 31 Mei 2005 dan Putusan MK Nomor 11/PUU-V/2007 tanggal 20 September 2007, serta putusan-putusan selanjutnya, MK berpendirian kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) UU MK harus memenuhi lima syarat. Lima syarat tersebut, yaitu: a. adanya hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945; b. hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut oleh Pemohon dianggap dirugikan oleh berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; c kerugian konstitusional tersebut harus bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; d. adanya hubungan sebab-akibat (causal verband) antara kerugian dimaksud dan berlakunya Undang-Undang yang dimohonkan pengujian; e. adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional seperti yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.

Selain lahir yurisprudensi soal hukum acara yang diikuti dalam putusan selanjutnya, MK beberapa kali menggunakan pertimbangan sama mengenai norma konstitusi dalam pengujian norma atau beberapa pertimbangan yang serupa dalam hal MK mengadili perkara di luar pengujian undang-undang. (Miftakhul Huda)

Sumber: Majalah Konstitusi Edisi April 2010
Foto: Humas MK/ Wiwik BW

Lebih jauh mengenai berbagai pengertian yurisprudensi dan perkembangan yurisprudensi dalam putusan MK dapat di baca artikel penulis berikut ini:
Yurisprudensi (1)
Yurisprudensi (2)
Yurisprudensi (3)
Yurisprudensi (4)
Yurisprudensi (5)