Minggu, 24 Oktober 2010

7 Tahun Mahkamah Konstitusi


Ketika memperingati HUT ke-1 pada 2004, kala itu Mahkamah Konstitusi (MK) hanya menerima 41 permohonan. Dari jumlah tersebut, 20 permohonan selesai diputus dengan amar putusan yang dijatuhkan yaitu 3 permohonan dikabulkan, sedang yang lain ditolak dan tidak diterima. Sedangkan di usia ke-7 tepatnya pada 13 Agustus ini MK terhitung mengadili ratusan perkara. Tercatat sampai 30 Agustus, sebanyak 524 perkara telah diputus. Besarnya perkara menunjukkan MK semakin dikenal masyarakat luas.

Sejak awal berdiri, MK menempatkan diri sebagai pengawal dan penafsir konstitusi. Mengingatkan perjalanan awal, terobosan pertama kali dilakukan dalam perkara yang dimohonkan Machri Hendra. Meskipun tidak diperhitungkan media, lembaga ini melakukan ijtihad besar. MK mengesampingkan UU yang membatasi pengujian hanya terhadap UU setelah amendemen. Kemudian dalam putusan sesudahnya, ketentuan pembatasan tersebut dinyatakan inkonstitusional dan tidak mengikat.

Putusan bersejarah bagi MK ini sebuah keberanian. Pertama kali MK melampaui UU dan menafsirkan kewenangannya sampai mana. Semua ”kendali” yang mengekangnya akan dirontokkan. Yang mengekang dirinya adalah konstitusi itu sendiri. Karena keberanian itulah, semua produk legislatif bisa di-review. Masyarakat yang dirugikan, baik oleh produk masa kolonial, setelah kemerdekaan dan semenjak reformasi, asalkan UU bisa dipersoalkan. Tidak menunggu political will legislator untuk melakukan perubahan, padahal produk tersebut sudah menimbulkan korban. MK belum lama ini juga menyatakan bewenang mengadili objek Peraturan Pemerintah Pemgganti Undang-Undang yang berlaku sah dan mengikat.

Sejak berdiri, MK tidak tanggung-tanggung memutuskan. Sebut saja menyangkut pasal jantung UU yang dianggap bertentangan dengan konstitusi, maka seluruh UU diputus dibatalkan. UU tersebut yaitu UU Ketenagalistrikan, Pemberlakuan surut UU Terorisme Bali, Otonomi Khusus Papua dan KKR. Tidak terhitung putusan dijatuhkan dan ayat-ayat konstitusi ditafsirkan. Sebut saja, hak eks PKI dipulihkan yang dimana pembatasan tersebut dianggap bersifat politis dan diskriminatif. MK juga memperbolehkan calon perseorangan dalam Pemilukada, syarat domisili calon anggota DPD dianggap melekat secara implisit, seorang calon ”incumbent” Pemilukada tidak harus mengundurkan diri, penetapan caleg terpilih berdasarkan ”suara terbanyak”, konstitusional bersyarat (conditionally constitutional) persyaratan ”tidak pernah dipidana lima tahun” bagi jabatan publik tidak mencakup tindak pidana karena kealpaan (culpa levis) dan kejahatan politik yang dalam putusan selanjutnya ”bersyarat”nya diperluas dan anggota DPD boleh menjadi Ketua MPR.

Selain itu mengenai anggaran pendidikan, prioritas alokasi anggaran pendidikan 20% sebagai amanat konstitusi ditegaskan tidak boleh direduksi peraturan perundang-undangan, sehingga dalam pengujian UU Sisdiknas 2003, penjelasan ”pemenuhan pendanaan pendidikan dapat dilakukan secara bertahap” dinyatakan tidak mengikat. Selain itu, ”gaji pendidik” harus secara penuh diperhitungkan dalam penyusunan anggaran pendidikan. UU APBN beberapa kali dalam pengujian ditegaskan prosentase anggaran konstitusi dan dalam putusan terakhir pada 2008 anggaran pendidikan dalam UU APBN-P 2008 sebesar 15,6% meski dinyatakan inkonstitusional, UU tersebut tetap berlaku sampai diundangkannya UU APBN TA 2009.

Putusan MK mengedepankan keadilan substantif, khususnya mengadili perselisihan hasil Pemilu. MK turut mengawal proses demokrasi dengan menegakkan supremasi konstitusi dan hukum. Diakomodirnya pelanggaran sistematis, terstruktur dan masif yang terjadi dalam perselisihan hasil Pemilu semata-mata mengedepankan prinsip dan paradigma tersebut. Dalam pengujian UU, MK juga menyelesaikan silang sengkarut pemilih yang tidak terdaftar dengan dibolehkannya menggunakan KTP atau paspor sebagai identitas pemilih. Media massa juga boleh menyiarkan iklan kampanye dan hasil ”quck count” sebagai pembatasan-pembatasan yang melanggar sistem demokrasi.

Sudah banyak yang dilakukan MK dalam putusan-putusan besarnya. Selain mendapatkan apresiasi berbagai pihak, MK juga mendapatkan kritik tidak sedikit. Namun semua kritik harus dianggap sebagai kepedulian atas perbaikan lembaga ini. Tidak ada yang sempurna di dunia kecuali Sang Pencipta, karenanya MK selalu memperbaiki diri. Tanpa melakukan evaluasi dan melakukan perubahan, MK akan ditinggalkan sejarah. MK menerima masukan dan pengawasan masyarakat, karena tanpa itu berpotensi menyalahgunakan kekuasaan dengan besarnya kekuasaan yang dimiliki.

Dalam rangka ulang tahun MK yang Ke-7, sedikit putusan bisa ditulis di sini sebagai sumbangan MK bagi mempercepat proses transisi demokrasi yang berjalan lambat. Peran MK sebatas melaksanakan kekuasaan yang dimilikinya. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama sinergis semua lembaga negara, media massa, organisasi masyarakat sipil, dan masyarakat luas mewujudkan cita-cita bersama sebagaimana alasan kita merdeka dan mendirikan negara Indonesia.

Ketua MK Moh. Mahfud MD sendiri mengatakan tugas konstitusional MK didukung pelayanan administrasi umum dan yustisial oleh para pegawai Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK yang cukup baik dan optimal. “Keberhasilan tersebut hendaknya tidak menjadikan jajaran pegawai MK berpuas diri,” ujarnya mengingatkan untuk selalu meningkatkan kinerja dan mewujudkan visi dan misi MK yang telah dicanangkan. Selamat Ulang Tahun Mahkamah Konstitusi!

Editorial Majalah Konstitusi Edisi Khusus 7 Tahun MK No. 43-Agustus 2010
Foto: Yogi/Humas MK