Minggu, 17 Oktober 2010

Jangan Melawan Kekuatan Rakyat


Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menjadi bagian perhatian masyarakat terkait kasus Bibit-Chandra. MK dalam putusannya menyatakan ketentuan pemberhentian tetap Pimpinan KPK menjadi terdakwa tindak pidana kejahatan bertentangan dengan konstitusi secara bersyarat (conditionally unconstitutional). Dalam arti ketentuan tersebut sesuai konstitusi jika dimaknai ”pimpinan KPK berhenti atau diberhentikan secara tetap setelah dijatuhi pidana berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”.

Sebelumnya MK menunda pemberlakuan ketentuan tersebut sampai perkara ini diputus untuk mencegah kerugikan hak konstitusional warga negara dalam putusan sela. Putusan ini sama sekali tidak berhubungan bersalah atau tidaknya seseorang. Namun, MK terbatas mengadili norma UU KPK. Keduanya memang disangka kepolisian melakukan tindak pidana sehingga dinon-aktifkan dari jabatannya. Ketika statusnya naik menjadi terdakwa, maka mereka dapat diberhentikan tetap oleh presiden. Ketentuan UU KPK menyatakan demikian.

Meski telah menjawab persoalan norma, ada masalah penerapan hukum oleh penegak hukum yang menjadi sorotan luas dan bagaimana sikap Presiden. Opini masyarakat sebelumnya sudah terbentuk proses hukum atas keduanya bagian rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK. Benar tidaknya memang harus dibuktikan. Namun ketidakpercayaan ini menguat seiring diperdengarkan rekaman pembicaraan di MK dan hasil temuan Tim 8 yang dibentuk Presiden RI. Kebenaran sangkaan kejahatan Bibit-Chandra atau rekayasa kriminalisasi pimpinan KPK harus ungkap lebih lanjut. Jika semua jujur mungkin tidak terjadi kisruh ini. Namun, kita sepakat menghukum siapapun harus berdasar bukti dan dilakukan sesuai prosedur yang dibenarkan. Ada pepatah lebih baik melepas 10 orang penjahat dari pada menghukum 1 orang yang tidak bersalah. Ini semata-mata menghargai orang yang tidak bersalah dan otoritas negara menghukum harus berdasarkan bukti.

Anggapan sesuatu yang “tidak beres” itulah publik meragukan proses hukum yang sedang berlangsung. Dari sinilah pentingnya arti keterbukaan proses hukum sehingga tidak timbul kecurigaan hukum hanya menjadi instrumen kekuasaan belaka (law as a tool of ruling power) atau hanya menjadi tempat memupuk keuntungan pribadi, kelompok, agama, ras atau golongan. Karena kekuasaan cenderung bersalah guna dan me-mabuk-kan, diperlukan keterbukaan informasi dan peran masyarakat mengontrol. Saat penerapan hukum melenceng, tujuan hukum semakin jauh dari harapan.

Suara rakyat sejatinya tidak terputus dengan terpilih wakil rakyat atau pemimpin politik kita. Semua yang berada dalam lalu lintas negara ini tidak lepas dari jangkauan suara rakyat. Karena suara rakyat berada di konstitusi kita sebagai kesepakatan politik tertinggi dan perwujudan suara rakyat. Hak-hak konstitusional rakyat tetap dimilikinya dan dijamin konstitusi, meski semua lembaga dan pejabat sudah mengatasnamakannya. Konstitusi sendiri hakekatnya membatasi kekuasaan dalam negara dan menjamin hak-hak warga negara tersebut.

Suara korban kejahatan dan ketidakadilan, korban korupsi, dan juga pelaku kejahatan sekalipun sebagai suara rakyat. Putusan MK sendiri mempertimbangan kekuatan rakyat pasca reformasi 1998 yang menghendaki bahwa kejahatan korupsi adalah kejahatan extra ordinary crime sehingga KPK dibentuk dengan kekuasaan luar biasa pula. Namun, soal sanksi dianggap tetap harus disamakan pejabat publik lain, yang semata-mata berdasar hanya sesuai asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) persamaan di depan hukum (equality before the law), due process of law yang menghendaki proses peradilan yang jujur, adil dan tidak memihak.

Suara rakyat tidak dapat dianggap sepi, sekecil dan selirih apapun. Karena kekuasaan bersumber darinya, sehingga lembaga-lembaga yang ada di negara ini memiliki tugasnya sendiri-sendiri. Pernyataan Ketua MK Moh. Mahfud, ”Jangan berani melawan arus kekuatan rakyat,” patut sebagai bahan refleksi kita. Semua kekuatan bangsa ini harus bersatu mencegah dan memberantas korupsi, karena kejahatan terorganisir akan menang tanpa perlawanan yang terorganisir pula. Jangan sesekali melawan kekuatan rakyat, karena dari sanalah semua kekuasaan dilahirkan, alasan negara ini didirikan, serta semua tujuan bermuara.

Editorial Majalah Konstitusi No. 34-Nopember 2009
Foto: Ardli/Humas MK