Kamis, 14 Oktober 2010

MK Mengantisipasi Sengketa Hasil Pemilu


Mahkamah Konstitusi (MK) diberi mandat konstitusi untuk menyelesaikan sengketa hasil pemilu atau perselisihan hasil pemilu (PHPU). Kepercayaan besar sebuah pelaksanaan pesta demokrasi jika terjadi cacat perolehan hasil suara, diselesaikan lembaga peradilan yang independen dan imparsial. Penyelesaian di MK diharapkan berlangsung cepat, sederhana, murah, akuntabel, netral dan bebas pengaruh pihak manapun, serta putusannya mengakhiri dengan tuntas masalah perebutan “kursi” yang berat, rumit dan kompleks.

Adanya pelanggaran Pemilu free and fair, maka syarat demokrasi ternodai. Kemajuan penyelesaian perkara PHPU saat ini hanya berdasarkan bukti-bukti yang sah dan meyakinkan dengan parameter hukum yang jelas, pasti dan terukur. Jauh sebelumnya, penetapan KPU dianggap benar dan tertutup mempersoalkannya. MK dalam hal ini mengisi ruang kosong yang selama ini tidak tersentuh. Selain itu, MK tidak hanya berfungsi sebagai pengadilan atas fakta, akan tetapi juga sekaligus mengadili bersandarkan konstitusi, sebagaimana khittah-nya MK tidak menjalankan undang-undang yang berseberangan dengan konstitusi, akan tetapi sebagai pengawal dan penafsir konstitusi.

Permohonan perkara PHPU 2009 dibatasi pengajuannya 3x24 jam sejak penetapan hasil pemilu secara nasional, sehingga para pihak harus siap jika bersengketa. Disamping itu, MK dibatasi memutus 30 hari kerja (Pemilu legislatif) dan 14 hari kerja (Pemilu presiden) sejak diregistrasi, oleh karenanya berapapun perkara yang masuk harus diselesaikan. Model sengketa hasil Pemilu tergolong baru dan pengaturannya masih terbatas, sehingga MK telah mengantisipasinya sebaik mungkin.

Antara lain MK menetapkan Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yang terkait, yaitu: Pertama, PMK No. 16 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. Kedua, PMK No. 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Ketiga, PMK No. 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak jauh (video conference).

Berdasarkan prinsip speedy trial beberapa hal baru diatur, antara lain: Pertama, prosedur cepat terlihat dari proses persidangan yaitu: tenggat waktu perbaikan ketika permohonan kurang lengkap, pemberitahuan salinan permohonan ke KPU, penetapan hari sidang, batas waktu jawaban KPU diajukan, diberitahukannya jadwal sidang, dan batas waktu perbaikan permohonan setelah hakim memberi nasihat dalam sidang pemeriksaan pendahuluan.

Kedua, dengan wilayah Indonesia yang luas, maka dibuka permohonan online, surat elektronik atau faksimili, dengan tetap mensyaratkan permohonan asli. Ketentuan ini untuk memudahkan masyarakat berperkara dan tidak terkendala dengan jarak dan waktu untuk calon anggota DPD dan Parpol lokal peserta pemilu DPRA dan DPRK di Aceh.

Ketiga, untuk tercapai persidangan yang efektif dan transparan, pemeriksaan persidangan jarak jauh (video conference) dirumuskan pengaturannya yang memung-kinkan masing-masing pihak melihat dan berbicara sebagaimana dalam persidangan offline tanpa harus datang ke Jakarta atau hadir langsung di gedung MK.

Keempat, pada prinsipnya dalam perkara PHPU, hakim konstitusi juga mengadili fakta sebagaimana peradilan pertama dan peradilan banding di bawah Mahkamah Agung sebagai judex factie. Sehingga keberadaan putusan sela sangat penting sebelum putusan akhir dijatuhkan, untuk memperoleh kebenaran hukum yang dituju sebelum putusan akhir dijatuhkan.

Karena ketika palu hakim konstitusi dike-tok, tidak ada upaya hukum apapun atasnya, karena putusan MK final dan mengikat (final and binding). Selain itu, ditentukan dalam perkara PHPU Presiden, jika KPU tidak melaksanakan kewajiban hukumnya terkait dokumen resmi kepada saksi peserta pemilu (menurut Pasal 10 ayat (1) PMK No. 17/PMK/2009), maka dimungkinkan adanya putusan sela yaitu penghitungan suara ulang secara berjenjang. Pada sengketa pemilu 2009 yang akan datang, putusan sela dirumuskan belajar dari kasus-kasus sebelumnya yang membutuhkan mekanisme tersebut.

Kelima, dimungkinkan alat bukti informasi elektronik dan atau dokumen elektronik yang diajukan oleh para pihak untuk mengatasi dan mengikuti perkembangan teknologi yang sangat pesat.

Keenam, untuk kepentingan pembuktian MK berwenang memanggil KPU di daerah untuk memberikan keterangan dalam persidangan dan memanggil saksi selain saksi resmi peserta pemilu dan saksi pemantau Pemilu, asalkan memenuhi syarat melihat, mendengar dan mengalami sendiri proses penghitungan suara yang diperselisihkan. Dengan ketentuan ini, maka kebenaran substansial sangat diperhitungkan dan tidak memandang jabatan yang disandang. KPU di daerah adalah pihak yang mengetahui langsung penyelenggaraan Pemilu di daerah, sehingga keberadaan mereka di persidangan sangat penting baik sebagai Turut Termohon atau sebagai saksi. Selain itu, PMK membuka ruang bagi saksi selain ”saksi resmi”, dan juga dimungkinkan saksi di luar Bawaslu/Panwaslu dan kepolisian asalkan bukan testimonium de auditu.

Semoga keberadaan PMK 2009 dapat mengisi dan melengkapi peraturan perundang-undangan yang ada. Akhirnya dukungan dan komitmen semua pihak menghargai suara rakyat menentukan kualitas demokrasi kita. (Miftakhul Huda)

Sumber: Editorial Majalah Konstitusi Edisi April 2009
Foto: ma6ma.wordpress.com