Kamis, 14 Oktober 2010

Pancasila dan Mahkamah Konstitusi


Menurut Van Vollenhoven (1934) ketika pada 1596 kapal Belanda dengan bendera tiga warna untuk pertama kali masuk kepulauan Nusantara, Indonesia bukanlah tanah liar tanpa penghuni dan kosong. Sudah ada segudang lembaga pengaturan masyarakat dan kekuasaan, pemerintahan oleh dan terhadap suku-suku, desa-desa, gabungan desa-desa, kerajaan-kerajaan. Terdapat seperangkat hukum tata negara Asia Timur bercorak bumiputera. Rakyat Indonesia sudah memiliki cita hukum sendiri bagi tata kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Pancasila dalam Pembukaan UUD 1945 disepakati bersama pendiri negara (founding fathers) dalam sidang PPKI 18 Agustus 1945 dengan sedikit perubahan rumusan, sehingga merupakan karya bersama bangsa Indonesia yang digali dari bumi Indonesia sendiri. Lima dasar yang disebut Pancasila dikemukakan pertama kali oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 dalam sidang BPUPKI bersama pendiri negara lain, yakni Moh. Yamin dan Soepomo.

Dengan demikian, Pancasila sekarang telah berusia sekitar 64 tahun. Pasca reformasi 1998, Pancasila tidak terdengar lagi dan dilupakan orang sebagai visi dan platform berbangsa dan bernegara. Pancasila kehilangan kredibilitasnya sebagai ideologi negara karena praktek selama ini menempatkannya hanya menjadi alat indoktrinasi, materi penataran, legitimasi politik, klaim penemu untuk kepentingan sesaat, lipservices dan jargon-jargon politik, dan yang memprihatinkan adalah menjadi alat memberangus lawan-lawan politik dengan stigma anti-Pancasila.

Yang diharapkan founding fathers Pancasila adalah sebagai ”Philosofische Grondslag”, yaitu sebagai fundamen, filsafat, pikiran dan jiwa hasrat yang sedalam-dalamnya untuk didirikan negara Indonesia merdeka. Selain itu, Pancasila memiliki kualitas sebagai cita hukum (rehtsidee) yakni ius constituendum yang diarahkan agar menjadi ius constitutum. Namun, kita baru tersadar sebagai bangsa berjalan tanpa karakter dan tanpa arah. Meski menganut demokrasi, praktek bernegara tidak berlangsung demokratis.

Lima sila Pancasila mendasari perubahan konstitusi dengan dipertahankannya Indonesia sebagai negara kesatuan, penegasan prinsip kedaulatan rakyat dan supremasi konstitusi, pemilihan Presiden langsung dan pemilihan kepala daerah lebih demokratis, penegasan Hak Asasi Manusia, pengaturan kesejahteraan sosial untuk menjamin keadilan sosial, jaminan kemerdekaan untuk memeluk dan melaksanakan agama yang diyakini setiap warga negara, dan lain sebagainya. Perubahan mendasar UUD 1945 sebagai “a politic-legal document” tiada artinya tanpa perubahan seluruh norma yang berlaku dalam negara dengan tetap seiring dan sejalan dengan Pancasila dan UUD 1945.

Mahkamah Konstitusi (MK) ditetapkan keberadaannya yang berperan strategis menjaga kesatuan sistem hukum dengan Pancasila dan UUD 1945 sebagai ruh, batu uji dan ”bintang pemandu” apakah UU sejalan atau tidak. Namun, MK tidak dapat berjalan sendiri, tanpa komitmen dan tanggung jawab lembaga negara lain dan dukungan masyarakat luas.

Contitutional review adalah salah satu mekanisme agar Pancasila dapat berfungsi menilai hukum yang berlaku adil atau tidak, disamping dengan judicial review, legislative review, dan executive review oleh lembaga lain. Disamping fungsi regulatif, Rudolf Stammler dan Gustav Radbruch menyatakan cita hukum Pancasila juga berfungsi konstitutif, yakni mengarahkan hukum positif menuju sesuatu yang adil dan untuk mencapai cita-cita masyarakat.

Sampai saat ini (31 Mei 2009) MK telah melaksanakan pengujian UU, memutus sengketa kewenangan lembaga negara (SKLN) dan memutus perselisihan hasil pemilu. Itu artinya UU yang tidak senafas dengan konstitusi dinyatakan tidak mengikat. Kekuasaan dalam negara agar tidak melampaui kekuasaan yang diberikan konstitusi, ditetapkan lembaga netral yang memutus. Dalam kekuasaan mengadilinya tidak terhindarkan MK melakukan penafsiran konstitusi, sehingga MK disebut the Sole Interpreter of the Constitution. Cita hukum mengarahkan penafsiran menuju hukum sesuai dengan cita-cita pendiri republik.

Selain itu, agar proses demokrasi berjalan berkualitas dan berintegritas MK memutus hasil pemilu. Perolehan suara yang ditetapkan KPU atau KPU Provinsi/Kabupaten/Kota yang salah, harus diluruskan. Namun MK tidak terpenjara UU, namun menafsirkan konstitusionalitas pelaksanaan pemilihan umum tersebut dilangsungkan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

Ketua MK Moh. Mahfud MD dalam Kongres Pancasila mengemukakan pentingnya seluruh elemen bangsa Indonesia untuk meneguhkan dan mereaktualisasikan nilai-nilai Pancasila dalam penyelenggaraan negara dan kehidupan masyarakat. Peringatan hari lahirnya Pancasila pada 1 Juni 2009 merupakan momentum tepat untuk melakukan evaluasi praktek berbangsa dan berbangsa dan tidak menyia-nyiakan mutiara terpendam yang telah digali pendiri republik dari bumi Indonesia dengan memberi ruh baru yang kontekstual dengan perkembangan zaman. (Miftakhul Huda)

Sumber: Editorial Majalah Konstitusi Edisi Mei 2009
Foto: Humas MK