Minggu, 17 Oktober 2010

“Satu-Satunya Wadah Profesi Advokat”


Permasalahan yang mendera antara Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dengan Kongres Advokat Indonesia (KAI) akhirnya menyebabkan para calon advokat yang lulus ujian dari kedua organisasi tersebut belum dapat mengucapkan sumpah atau janji pada sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisilinya. Para calon advokat tersebut merasa dirugikan hak konstitusionalnya dengan mem persoalkan konstitusionalitas norma Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945, karena berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan baginya.

Adapun pasal 4 ayat (1) UU Advokat berbunyi: “Sebelum men jalankan profesinya, Advokat wajib bersumpah menurut agamanya atau berjanji dengan sungguh sungguh di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya”. Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengadili per mohonan tersebut mengabulkan permohonan para calon advokat. Ketentuan norma yang diuji tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang tidak dipenuhi syarat bahwa frasa” di sidang terbuka Pengadilan Tinggi di wilayah domisili hukumnya” tidak dimaknai bahwa “Pengadilan Tinggi atas perintah Undang Undang wajib mengambil sumpah bagi para Advokat sebelum menjalankan profesinya tanpa mengaitkan dengan keanggotaan Organisasi Advokat yang pada saat ini secara de facto ada, dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak Amar Putusan ini diucapkan”. MK juga menyatakan apabila setelah jangka waktu dua tahun Organisasi Advokat sebagaimana dimaksud Pasal 28 ayat (1) UU Advokat belum juga terbentuk, maka perselisihan tentang organisasi Advokat yang sah diselesaikan melalui Peradilan Umum.

MK berpendapat hak untuk bekerja telah dijamin oleh konstitusi apapun bidang pekerjaan atau profesinya, termasuk Advokat agar bisa memenuhi kebutuhan hidupnya yang layak bagi kemanusiaan. Sedangkan mengenai sumpah atau janji sebelum menjalankan pekerjaannya adalah sebuah kelaziman. MK berpendapat pengambilan sumpah atau janji di sidang terbuka Pengadilan Tinggi adalah kelanjutan ketentuan terdahulu sebelum terbentuknya UU Advokat yang me nentukan pengangkatannya dilakukan Menteri Kehakiman/Hukum dan HAM. Mahkamah berpendirian profesi advokat diposisikan sebagai penegak hukum dan dalam rangka melindungi klien dari kemungkinan penyalahgunaan, maka aturan “penyumpahan atau janji” tersebut adalah konstitusional.

MK menganggap telah: “….terjadinya hambatan yang dialami oleh para Pemohon untuk bekerja dalam profesi Advokat pada dasarnya bukan karena adanya norma hukum yang dipersoalkan, akan tetapi adanya Surat Mahkamah Agung yang melarang Pengadilan Tinggi mengambil sumpah para calon Advokat sebelum organisasi advokat bersatu.” Selain kewajiban atributif Pengadilan Tinggi mengambil sumpah, Pasal 28 ayat (1) mengamanatkan adanya Organisasi Advokat yang merupakan satusatunya wadah profesi Advokat, sehingga para Advokat dan organisasiorganisasi Advokat yang saat ini secara de facto ada, yaitu Peradi dan KAI, harus mengupayakan terwujudnya Organisasi Advokat sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat.

Untuk mendorong terbentuknya Organisasi Advokat sebagai satu-satunya wadah organisasi advokat, maka kewajiban mengambil sumpah tanpa memerhatikan Organisasi Advokat yang secara de facto ada yang hanya bersifat sementara untuk jangka waktu 2 tahun sampai terbentuknya Organisasi Advokat sesuai UU melalui kongres para advokat yang diselenggarakan bersama oleh organisasi yang ada tersebut. Sedangkan jika selama dua tahun tersebut belum terbentuk, maka perselisihan organisasi advokat yang sah diselesaikan oleh Peradilan Umum.

Putusan ini meski berkenaan dengan konstitusionalitas norma UU, namun sekali lagi MK membuat terobosan penting dalam menyelesaikan ketidakpastian hukum dua organisasi yang mengklaim keabsahannya. Ketidakpastian hukum ini berakibat pada para calon advokat yang lulus seleksi dan tinggal melakukan penyumpahan tidak dapat dilangsungkan. Betapa peran negara penting dalam hal pengaturan, termasuk soal penyumpahan yang lazim bagi profesi, agar terdapat jaminan dan perlindungan klien advokat atas jasa advokat. Di sejumlah negara campur tangan terbatas negara dimungkinkan sematamata memperkuat Organisasi Profesi, melindungi klien dan masyarakat luas.

Sesuai UU Advokat, terwujudnya satu satunya organisasi Advokat merupakan semangat yang ingin diwujudkan. Namun, sebagaimana menjadi masalah lembaga penegak hukum pada umumnya, ada persoalan yang lebih penting, yakni profesi advokat tidak kering dari tudingan kurang mendukung pemberantasan korupsi. Ada ungkapan “noblesse oblige”, kalau mau dihormati, maka perlu juga perilaku terhormat. Artinya profesi dihormati bukan karena jabatan, pangkat, dan kedudukannya, akan tetapi perbuatannya. Mendengung-dengungkan profesi terhormat (officium nobile) mestinya disertai perilaku yang layak dihormati, dengan peran Organisasi Advokat menggunakan sistem seleksi berdasar kompetensi, bersih dan bebas KKN.

Kemudian keberadaan organisasi menjamin perilaku anggotanya tidak merusak kepercayaan masyarakat dengan sanksi tegas pelanggaran hukum dan kode etik. Organisasi Advokat baik secara kelembagaan maupun anggotanya punya tanggung jawab juga memberikan bantuan hukum cuma-cuma kepada masyarakat miskin sebagai Hak Asasi Manusia. Komitmen Organisasi Advokat memberantas korupsi menentukan nasib bangsa ini. Penyumpahan mestinya disertai komitmen dan mewujudkannya dalam perilaku yang nyata.

Editorial Majalah Konstitusi No.35-Desember 2009
Foto: celotehan2ku.blogspot.com