Kamis, 07 Oktober 2010

Separation of Powers


Ajaran Separation of Powers menurut Black’s Law Dictionary dijelaskan sebagai berikut: the government of State and the United State are devided into three departments or branches: the legislative, which is empowered to make laws, the executive which is required to carry out the laws, and the judicial which is charged with interpreting the laws. On branch is not permitted to encroach on domein of another.

Hal ini menggambarkan pelaksanaan pemer intahan Amer ika Serikat. Di dalam Negara Federal dan Negara Bagian, pemerintahannya terbagi atas tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif dan kehakiman. Kekuasaan legilatif bertugas membuat undang-undang (UU), kekuasaan eksekutif diperlukan untuk melaksanakan UU dan kekuasaan kehakiman ber tanggung jawab menafsirkan UU. Kekuasaan satu dengan yang lain tidak diperkenankan saling mencampuri.

Pemisahan kekuasaan mutlak di Amerika Serikat sebenarnya dilakukan dalam situasi khusus, yaitu jika veto Presiden ditolak Kongres maka secara konstitusional dibenarkan membuat UU tanpa pengesahan Presiden. Dalam hal yang biasa pada dasarnya Presiden dapat mencampuri urusan Kongres, dalam arti jika ada UU yang disetujui Kongres, sedangkan Presiden tidak bersedia melaksanakan isinya, dapat mengajukan veto atas UU tersebut. Umumnya veto Presiden selalu mendapatkan perhatian Kongres dan berhak menentukan veto diterima atau tidak. Cara kerja inilah di Amerika disebut sebagai checks and balances system. Pemisahan kekuasaan dimodifikasi dengan saling mengontrol antara kekuasaan legislative terhadap eksekutif dan kekuasaan yudikatif terhadap kekuasaan legislatif. Kekuasaan ini saling membatasi sehingga tidak terdapat kekuasaan yang terlalu menonjol dan membawahkan yang lain.

Akan tetapi sistem checks and balances menurut Soewoto Mulyosudarmo dalam disertasinya berjudul “ Kekuasaan dan Tanggung Jawab Presiden Republik Indonesia” (1990) pada dasarnya sistem ini tidak hanya diterapkan di negara yang bersistem presidensiil, akan tetapi juga parlementer sebagaimana Belanda dengan “teori keseimbangan”- nya. Menurut Mooij, J. Stegeman-den Engelse dan Tuurenhout dalam artikel berjudul Organisatie en Bevoegdheden dalam Franken, H., e.a., Inleiden tot de Rechtswetenschap (1983) menjelaskan pengakuan kekuasaan yang diberikan kepada berbagai badan negara oleh pembuat konstitusi atau UU dipandang sebagai “balances”. Sedangkan kewajiban penerima kekuasaan untuk bertanggung jawab kepada pemberi kekuasaan dipandang sebagai “checks”. Menurutnya antara pemberi dan penerima kekuasaan terdapat hubungan pengawasan.

Selain itu, sebagai kebutuhan negara modern pula memaksa Kongres mendelegasikan kepada eksekutif kekuasaan membentuk peraturan yang mempunyai kekuatan memaksa, meskipun badan peradilan menentukan batas-batasnya kekuasaan yang dapat didelegasikan. Namun, pada dasarnya semua ahli sepakat bahwa hanya di Amerika Serikat yang melaksanakan pemisahan kekuasaan secara murni dari pada di negara lain. Kritik teori “trias politica” semisal dari Sir Ivor Jennings dalam “The Law and the Constitution”, antara lain bahwa teori ini tidak mencerminkan kenyataan di Inggris dan badan peradilan di Inggris adalah House of Lord, dari dahulu sampai sekarang sebagai bagian dari Parlemen, dan Raja tidak mengontrol pengadilan, akan tetapi bagian penting dari kekuasaan legislatif. (Ismail Suny, Pembagian Kekuasaan Negara, 1985, hlm. 3) Finer dalam “Handbook of Political Science” hendak menunjukkan tidak benar kekuasaan eksekutif hanya melaksanakan UU. Utrecht juga mengemukakan pemisahan ketat akan terbuka kemungkinan badan negara melampau kekuasaannya dan hanya cocok dengan negara yang menerapkan asas laissez faire, laissez aller. Selanjutnya kritik juga dari Crince Le Roy mengatakan di Amerika Serikat berkembang “kekuasaan birokrasi” sebagai kekuasaan keempat yang berpengaruh atas pengambilan keputusan politik. Ajaran pemisahan kekuasaan diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles dan dikembangkan oleh ahli tata negara Inggris John Locke. Dalam buku “Two Treatises on Civil Government” yang terbit pada 1690, John Locke memisahkan kekuasaan dalam tiap-tiap negara dalam kekuasaan legislatif, yaitu kekuasaan membentuk UU, kekuasaan eksekutif yaitu kekuasaan melaksanakan UU. Kedua kekuasaan ini harus dipisahkan. Selain itu, terdapat kekuasaan yang meliputi perang dan damai, membuat perserikatan dan aliansi serta segala tindakan dengan semua orang dan badan-badan di luar negeri. Kekuasaan ini disebut dengan kekuasaan federatif.

Diilhami pembagian kekuasaan John Locke, setengah abad kemudian Montesquieu dalam “L’Esprit des Lois” menyatakan dalam setiap pemerintah Terdapat tiga jenis kekuasaan yang dirincinya dengan kekuasaan eksekutif, legialatif dan yudikatif. Menurut Montesquieu, kekuasaan yang dilakukan terbatas pada masing-masing kekuasaan yang milikinya. Tiga jenis kekuasaan ini harus terpisah, baik tugas atau fungsi maupun lembaga/ organ yang melaksanakan kekuasaan. Kekuasaan eksekutif dengan legislatif harus dipisah karena dihawatirkan akan melaksanakan pemerintahan tirani dengan ciri pembuatan dan pelaksanaan hukum di tangan seorang atau suatu badan yang beranggotakan para bangsawan. Selanjutnya kekuasaan kehakiman harus berdiri sendiri agar hakim dapat bertindak bebas. Sedangkan kekuasaan hubungan luar negeri, John Locke menurut Montesquieu dimasukkan dalam kekuasaan eksekutif.

Ajaran Montesquieu ini memang tidak menggambarkan kenyataan sebenarnya di Inggris masa itu. Sebagaimana banyak ditulis para ahli, latar belakang sosial dan politik yang tertekan, oleh karena itu yang dicita-citakan adalah bentuk masyarakat yang bebas (liberty). Karena sebelum di Inggris, Montesquieu hidup di bawah kekuasaan Raja Lodewijk XIV dengan kekuasaan yang absolut. Sekitar 1732 itu ia meninggalkan negerinya Perancis yang sedang gencar-gencarnya menentang despotisme dan Montesquieu dengan ajarannya terkenal dengan “trias politica” ingin melawan kekuasaan absolut yang berlaku di negerinya.

Ajaran Separation of Powers ini usianya sebenarnya jauh lebih muda dari pada ajaran supremasi parlemen yang pertama-tama dikenalkan di Inggris dengan sistem parlementer sebagai pengganti sitem pemerintahan kerajaan yang absolut. Pola demokrasi di Inggris memberikan peran besar rakyat melalui wakilnya di Majelis Rendah (House of Commons) tanpa menghilangkan tradisi kekuasaan Raja yang bersifat formal. Parlemen merupakan cerminan kekuasaan rakyat. Dicey sebagaimana dijelaskan Jones mengenai “Sovereignty of Parliament” antara lain menjelaskan bahwa Parlemen mempunyai hak untuk membuat atau tidak membuat suatu hukum apapun, dan lebih lanjut tiada seorangpun atau suatu badan yang diakui oleh hukum Inggris mempunyai hak merubah atau meniadakan hukum yang dibuat Parlemen. (Miftakhul Huda)


Sumber: Majalah Konstitusi No.41 Juni 2010
Foto: ira-einhorn.com