Minggu, 17 Oktober 2010

Terobosan Mencegah Kerugian Hak Konstitusional


Sebuah putusan penting diambil pada akhir Oktober 2009. Sembilan Hakim Konstitusi membacakan putusan yang terbuka untuk umum yang berbeda dengan putusan-putusan yang kita kenal sebelumnya. Kenapa berbeda? Sebab dalam perkara pengujian undang-undang (UU), putusan ini adalah pertama kalinya dilakukan dalam sejarah berdirinya MK. Putusan ini adalah sebuah putusan sela (provisi) atau putusan antara sebelum putusan akhir nantinya akan dijatuhkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan akhir menjadi tujuan utama dari pengujian konstitusional yang dilakukan. Jenis putusan nanti dapat perkara dikabulkan, ditolak atau tidak dapat diterima, dan semuanya sepenuhnya tergantung proses pembuktian yang sedang berlangsung apakah norma yang diujikan benar-benar bertentangan dengan konstitusi atau tidak.

Putusan ini sebenarnya menindaklanjuti permohonan uji materi UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) dimana Bibit S. Rianto dan Chandra M. Hamzah sebagai Pemohon juga mengajukan permohonan agar proses hukum yang sedang berlangsung atas dirinya ditangguhkan. Bibit-Chandra adalah tersangka dugaan tindak pidana yang sedang dalam proses di Markas Besar Kepolisian RI. Proses penyidikan oleh kepolisian dan nantinya penuntutan oleh Kejaksaan, serta pemberhentian oleh Presiden dengan statusnya sebagai terdakwa dimintakan untuk ditangguhkan atau setidak-tidaknya sampai putusan akhir dijatuhkan Mahkamah.

Jika MK tidak mengabulkan putusan ini —terlepas dari apakah proses hukum pidana nantinya menyatakan keduanya bersalah atau tidak—, maka kedua Pemohon perkara pengujian UU ini dapat diberhentikan oleh Presiden, oleh karena status terdakwa Bibit-Chandra. Dengan pemberhentian tersebut, hak-hak mereka berdua sebagai Pimpinan KPK akan hilang sesuai peraturan yang berlaku. Tidak hanya hak Pemohon menikmati hak-haknya sebagai pimpinan KPK, maka seluruh rakyat yang memberikan amanah kepada pimpinan KPK, akan dirugikan dengan absen-nya yang bersangkutan sebagai garda depan dalam pemberantasan kasus-kasus korupsi dalam skala besar dan melibatkan orang-orang penting. Meski statusnya hanya tersangka,—bukan terdakwa, terpidana, bahkan terpidana berdasarkan putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde)—, sudah dapat diberhentikan sementara.

Jika Pimpinan KPK tersebut dinyatakan tidak bersalah oleh pengadilan atau Kepolisian dan Kejaksaan menghentikan perkaranya, maka akan meruntuhkan dasar legitimasi pemberhentian (sementara) yang telah dilakukan Presiden. Pejabat-pejabat negara lain, memang dipersyaratkan harus berdasarkan putusan pengadilan yang inkracht baru berpengaruh atas jabatan yang diemban. Hal inilah salah satu dasar-dasar norma UU KPK tersebut diujikan di hadapan MK. Jika pokok permohonan Bibit-Chandra dikabulkan atau kasus-kasus yang sama lain, maka hak-hak konstitusional Bibit-Chandra, KPK, dan seluruh rakyat Indonesia telah dirugikan dengan berhentinya yang bersangkutan tanpa perlindungan sementara.

MK dengan putusan ini membuat terobosan baru dalam pengujian UU dengan berdasarkan pertimbangan diperlukannya putusan ini “seiring dengan perkembangan kesadaran hukum, kebutuhan praktik dan tuntutan rasa keadilan masyarakat serta dalam rangka memberikan perlindungan dan kepastian hukum yang adil”. Selain itu dalam praktik seringkali dibutuhkannya putusan sela ini dengan, “tujuan melindungi pihak yang hak konstitusionalnya amat sangat terancam sementara pemeriksaan atas pokok pemohonan sedang berjalan”. Namun MK menimbang juga dengan putusan tersebut tidak akan menimbulkan kerancuan hukum di satu pihak, sementara di pihak lain justru akan memperkuat perlindungan hukum. Dengan putusan ini juga menimbang hal utama untuk mencegah pelanggaran Hak Asasi Manusia apapabila norma diterapkan, sedangkan proses pengujian masih berlangsung dan hak-hak konstitusional Bibit-Chandra tidak dapat dipulihkan dengan putusan akhir.

Putusan ini merupakan terobosan hukum baru MK dalam pengujian UU dari sisi hukum acara yang tidak kalah penting dengan substansi putusan akhir. Selama enam tahun terakhir ini, putusan sela juga diakomodir dan digunakan dalam memutus pelanggaran yang bersifat kualitatif dalam sengketa pemilu 2009. Meski terhadap Bibit-Chandra, putusan ini memberikan harapan baru hak-hak konstitusional dalam perkara lain terlindungi dan tidak dirugikan dengan upaya prefentif MK. Keberadaan mekanisme tindakan-tindakan sementara sebelum putusan akhir ini sebenarnya tidak hanya melindungi pihak-pihak berperkara, tetapi juga melindungi kepentingan masyarakat luas, karena keberadaan KPK adalah amanat reformasi 1998. Sejarah baru ditancapkan lembaga peradilan ini dengan terobosan di tengah kekosongan hukum, sementara lembaga ini mengemban amanah mengawal dan menafsirkan konstitusi, juga melindungi hak-hak konstitusional warga negara.

Editorial Majalah Konstitusi No. 33-Oktober 2009
Foto: Andhini SF/Humas MK