Rabu, 24 November 2010

“Judicial Liability”


Oleh Miftakhul Huda (Praktisi Hukum dan Pengamat Masalah Hukum dan Ketatanegaraan)

Apakah hakim memiliki tanggung jawab hukum atas kelalaian atau kesalahannya dalam tugas mengadili (judicial liability)? Pertanyaan ini mengemuka akhir-akhir ini, meskipun pada dasarnya sekitar 1970 sampai 1980-an isu ini sempat menjadi perbincangan hangat di kalangan dunia hukum.

Perdebatan terutama mengenai pertanyaan dapatkah seorang hakim digugat secara perdata atas kesalahannya dalam mengadili yang berakibat kerugian bagi seseorang. Selain itu juga terkait hukum acara pidana, pernah muncul pertanyaan dapatkah hakim di praperadilankan, disamping polisi dan jaksa yang menyalahi prosedur hukum acara pidana.

Terkait judicial liability, dunia praktek hukum, sebenarnya menganggap seorang hakim dalam menjalankan tugas yudisialnya tidak bertanggung jawab terhadap siapapun, hanya kepada Tuhan. Ketua Pengadilan atau pengadilan diatasnya pun tidak diperkenankan mempengaruhi hakim dalam mengambil putusan. Merupakan sebuah kebiasaan dan sikap saling menerima, jelak atau bagus kualitas putusan yang dijatuhkan, jika tidak menerima atau tidak adil, menggunakan upaya hukum yang tersedia. Hakim yang terbukti, misalkan menerima suap, korupsi dan penyalahgunaan lain menjadi persoalan tersendiri, bahwa yang bersangkutan bertanggung jawab secara pribadi atas perbuatannya.

Sebastiaan Pompe (2005) dalam A Summary of A.W. Jongbloed's piece on Judicial Liability (Aansprakelijkheid voor optreden van de rechterlijkemacht (Den Haag: BoomJuridische Uitgevers 1999) yang dipresentasikan pada diskusi mengenai judicial liability oleh Komisi Yudisial-NLRP pada 12 Mei 2010, yang didimaksud konsep judicial liability terkait dengan tanggung jawab pidana dan perdata. Tanggungjawab pidana mengarah pada tindakan yudisial yang melibatkan korupsi. Tanggungjawab pidana meletakkan hakim pada sanksi pidana secara pribadi, di mana penuntutannya ada di tangan negara. Sedangkan tanggungjawab perdata meletakkan hakim pada kemungkinan membayar ganti rugi. Pada siapakah tanggungjawab hukum tersebut melekat? Pada dasarnya, tanggungjawab hukum perdata tersebut dapat melekat baik pada hakim secara individu, atau pada negara.

Jauh hari Oemar Seno Adji sebenarnya mengemukakan dalam makalahnya, “Safeguards of The Judiciary”, yang disampaikan dalam Konprensi Ketua-Ketua MA se-Asia Pasifik ke-7 di Jakarta, Juni 1978, umumnya di semua negara hakim tidak dapat dipertanggungjawabkan karena melakukan suatu “onrechtmatige daad”, untuk kesalahan yang ia perbuat selama ia menjalankan tugas peradilannya. Begitu pula negara tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh hakim dalam pelaksanaan tugasnya. Kesalahan di luar tugas peradilan masih memungkinkan diajukannya gugatan perdata terhadap hakim. Selanjutnya, negara tidak dapat dipertanggungjawabkan untuk “rechtterlijk handelingen”, sekedar dan selama itu perbuatan peradilan, sedangkan dapat dipertanggungjawabkan jika perbuatan yang tidak memiliki sifat peradilan tersebut.(Lihat buku Oemar Seno Adji, Peradilan Bebas Negara Hukum, Erlangga, 1980, hlm. 258)

“Dalam Ilmu Hukum yang diperkembangkan oleh Sarjana Hukum seperti misalnya Prof. Meyers, umumnya berkesimpulan bahwa Pasal 1365 BW tidak dapat diterapkan terhadap hakim yang salah dalam melaksanakan tugas peradilannya,” jelas Oemar Seno Adji dalam bukunya KUHAP Sekarang. Selanjutnya dikatakan bahwa Malaysia, Filipina, Pakistan, Amerika Serikat dengan sistem hukum yang berbeda, akan tetapi memiliki identitas konstitusionalnya sebagai peradilan yang bebas, termasuk hakim bebas dari gugatan perdata, biasanya disertai syarat bahwa apa yang dilaksanakan hakim dengan itikad baik. Kecuali Belgia dan Perancis terdapat tambahan “Kecuali apabila hakim menerima suap atau melakukan penolakan hukum”.

Di Belanda, sesuai putusan MA tahun 1971, yaitu putusan benchmark dalam kasus Mrs X melawan pemerintah Belanda, Prof. A.W. (Ton) Joengbloed dalam makalahnya “Thinking of abusive judicial decisions”, menyetujui putusan tersebut, negara pada prinsipnya tidak dapat dimintai tanggung jawab hukum atas “putusan yang tidak berdasarkan hukum”, kecuali jika hakim dalam mempersiapkan kasus tersebut tidak mengindahkan prinsip hukum yang fundamental, dan dapat dikatakan bahwa tidak ada “perlakuan yang jujur dan imparsial terhadap kasus tersebut”. Kemudian dikatakannya hanya pelanggaran terhadap prinsip fair trial sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ECHR yang dapat dikabulkan gugatan ganti ruginya, dan ketika pelanggaran tersebut diakui, kita pada dasarnya berbicara mengenai “tanggungjawab hukum Negara yang ketat/strict liability”.

Sebagai perbandingan, dalam sistem model Inggris/Amerika Serikat yang menganut tiada tanggung jawab hukum negara kecuali pada kasus-kasus yang ditentukan secara jelas, kata Pompe, Imunitas dipandang sebagai suatu elemen penting agar hakim dapat mengambil putusan kontroversial tanpa rasa takut, termasuk rasa takut terhadap gugatan hukum. Pompe mengutip pernyataan Lord Denning yang mengatakan dalam kasus Sirros v. Moore (1974) 3WLR 458 C.A: “He should not have to turn the pages of his book with trembling fingers, asking himself: ‘If I do this, shall I be liable in damages?”. Di Inggris, secara spesifik memberikan kekebalan hakim dalam malaksanakan tugas yudisialnya yang terkait independensi dan imparsialitas, sedangkan tindakan lain misalkan terkait fungsi administratif tiada kekebalan.

Sedangkan model Eropa Kontinental, yang lebih menekankan tanggung jawab negara atas kesalahan organnya, dijelaskan Sebastiaan Pompe, di dalam hukum Jerman bahwa,“.. hakim secara eksplisit dikecualikan dari ketentuan Konstitusi soal tanggungjawab hukum negara atas organ-organnya (Pasal 34 Konstitusi, kalimat kedua), tetapi hanya menyangkut “tindakan yudisial”. Juga, dua kategori dari tindakan yudisial secara spesifik dikecualikan: mengingkari keadilan (denials of justice) dan penundaan yang tidak layak (improper delays) juga berkontribusi terhadap kelemahan yang ada masih bisa dipertanggungjawabkan secara hukum.”

Yang menarik, di Belgia terdapat perkembangan padangan tradisional, di mana Mahkamah Agung Belgia (Cour de Cassation) mendefinisikan ulang tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial dalam kasus Kepailitan ANCA yang terkenal (RW1992-1993, 396). MA Belgia menyatakan negara bisa dimintai pertanggungjawaban hukum atas kerugian yang ditimbulkan oleh kekeliruan peradilan dalam perkara perdata, ketika hakim bertindak, atau dapat secara meyakinkan diasumsikan untuk bertindak, di dalam batas-batas kewenangannya.

Dari pertimbangan MA tersebut, argumennya negara merupakan subyek hukum seperti halnya pihak swasta. Tidak satu pun hukum di negara tersebut mengecualikan pengadilan dari kewajiban untuk bertindak secara hati-hati, atau dari kewajiban membayar ganti rugi jika kehati-hatian tersebut dilanggar. Mengenai anggapan pelanggaran independensi pengadilan, MA berpendapat hal tersebut terlalu berlebihan. Sedangkan anggapan pelanggaran atas pemisahan kekuasaan, menurut MA Belgia, lembaga peradilan sendirilah yang menentukan ada tidaknya tanggungjawab hukum dalam kasus ini (dan bukan kekuasaan negara yang lain), dan juga bahwa di sini tanggungjawab hukum tidak dilekatkan pada kekuasaan negara tertentu, melainkan pada negara sebagai kesatuan entitas hukum dan argument lainnya.

“Persoalan tanggung jawab hukum atas tindakan yudisial relevan di Indonesia untuk berbagai alasan,” kata Pompe dikaitkan hukum Indonesia. Alasannya menurut Pompe, karena selain meningkatkan manfaat untuk memperkuat akuntabilitas peradilan, juga orang yang dirugikan menghendaki hakim yang berperilaku buruk perlu diberikan sanksi sebagaimana sesuai alasan lahirnya Komisi Yudisial. Selain itu, kasus tanggungjawab hukum atas tindakan yudisial sebenarnya turut membentuk proses peradilan di Indonesia.

Namun, Pompe mengingatkan, “Tanggungjawab hukum atas tindakan yudisial adalah senjata yang berbahaya untuk digunakan. Jika digunakan secara sembrono, senjata ini dapat melukai dua sisi, dan ketimbang menjadi alat bagi akuntabilitas peradilan, dia bisa jadi senjata untuk mengikis independensi peradilan. Namun potensi kebaikannya juga besar, baik bagi masyarakat maupun bagi lembaga peradilan sendiri. Lembaga peradilan Indonesia menghadapi kondisi di mana kemampuannya untuk memulihkan kredibilitas dan efektivitasnya hanya dengan mengandalkan sumber daya internal diragukan.”

Diskusi mengenai judicial liability memang harus mempertimbangkan segala sisi. Masih kata Pompe, “Tanggungjawab hukum atas tindakan yudisial yang dirancang secara hati-hati akan mendorong partisipasi masyarakat dalam proses reformasi, dan menghasilkan daya dorong baru yang signifikan bagi proses reformasi kelembagaan.” Memang, jangan sampai kekhawatiran upaya gugatan perdata hanya menjadi senjata pihak yang telah menggunakan segala upaya hukum yang tersedia, akan tetapi tetap kalah, dan hanya upaya ini dimanfaatkan untuk ketidakpusan, serta putusan yang final menjadi sasaran sebuah gugatan baru oleh pihak yang dikalahkan untuk mementahkan kembali.

Di Indonesia, sedari awal sudah diantisipasi Mahkamah Agung (MA). Larangan menggugat perdata hakim diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 09 Tahun 1976, tanggal 16 Desember 1976, perihal: Gugatan terhadap Pengadilan dan Hakim. Pertimbangan hal ini mengaitkan dengan Kekuasaan Kehakiman yang bebas, yang dalam negara kita memperoleh jaminan konstitusional dan perundang-undangan. Selain itu, praktek segala sistem hukum dan kajian ilmu hukum menunjukkan hakim dibebaskan dari tanggung jawab tersebut.

, “… Mahkamah Agung minta agar supaya Pengadilan-Pengadilan Tinggi dan pengadilan-pengadilan Negeri dalam menghadapi gugatan terhadap pengadilan-pengadilan ataupun terhadap Hakim di dalam pelaksanaan tugas peradilannya dapat mengindahkan hal-hal tersebut di atas dan menolak permohonan tersebut,” bunyi Surat Edaran yang isinya sangat padat dan ilmiah tersebut.

Artinya, apa yang tertulis di SEMA yang ditandatangani Ketua MA Oemar Seno Adji selaras dengan apa yang disampaikan dalam konferensi Ketua-Ketua MA se-Asia Pasifik ke-7 itu.

Selain itu, terkait apakah hakim dapat dimohonkan praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP, MA pernah membuat Surat Edaran Nomor: 14 Tahun 1983, perihal: Hakim tidak dapat dipraperadilkan, yang isinya menyatakan seorang Hakim tidak dapat diajukan ke sidang praperadilan berdasarkan Pasal 77 KUHAP. Alasannya adalah, karena tanggung jawab yuridis atas penahanan itu tetap ada pada masing-masing instansi yang melakukan penahanan (pertama) itu, dan apabila yang melakukan penahanan (pertama) itu adalah Hakim sendiri, maka penahanan itu adalah dalam rangka pemeriksaan oleh Pengadilan Negeri di mana Pasal 83 ayat (1) huruf d berlaku terhadapnya. “Oleh karena itu apabila ada Pengadilan Negeri di bawah pimpinan Saudara ada permintaan pemeriksaan praperadilan terhadap seorang Hakim atas dasar Pasal 77 KUHAP, maka permintaan tersebut harus Saudara tolak, penolakan mana dapat Saudara lakukan dengan surat biasa di luar sidang,” tegas surat yang ditandatangani Ketua MA Mudjono tersebut.

Kasus kongkrit sebenarnya pernah terjadi di Indonesia, yakni kasus Sengkon (bin Yakin) dan Karta (bin Salam). Di dunia hukum kasus ini dianggap sebuah kesesatan peradilan. Mereka diputus bersalah melakukan pembunuhan dihukum masing-masing 12 dan 7 tahun penjara. Namun, ternyata kemudian terbukti Gunel dkk dan Elly dkk, melakukan pembunuhan atas Suleiman dan istri seperti yang dituduhkan atas Sengkon-Karta. Akhirnya melalui PK (herziening), mereka diputus tidak terbukti bersalah. Putusan Pengadilan Tinggi dibatalkan MA pada 31 Januari 1981. (Selengkapnya isi putusan PN, PT, dan MA dapat dilihat dalam Oemar Seno Adji, Herziening- Ganti Rugi, Suap, Perkembangan Delik, 1984, hlm. 109-162)

Namun, Sengkon-Karta sempat meringkuk 6 tahun dalam tahanan dan penjara, padahal mereka tidak bersalah. Mereka mengajukan gugatan ganti rugi berdasarkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa yang dikenal dengan onrechtmatige overheidsdaad. Akhirnya, PN Jakarta Pusat pada 14 Juli 1982 menolak gugatan Sengkon-Karta. Alasannya antara lain, ”menimbang bahwa para penggugat tidak berhasil membuktikan dalil gugatannya yang pokok, demikian karena berdasarkan pertimbangan di atas ternayata pasal 1365 KUH-Perdata tidak dapat diterapkan terhadap kesalahan hakim dalam menjalankan tugas peradilannya. Maka gugatan para penggugat haruslah ditolak, sedangkan tinjauan terhadap dalil para penggugat dan dalil sangkalan para tergugat tidak diperlukan lagi.”

Putusan Sengkon-Karta jelas-jelas bahwa sebuah putusan oleh hakim yang salah dan sembrono atau kurang hati-hati bisa membawa kerugian yang nyata. Atas putusan ini, Oemar Seno Adji dalam KUHAP Sekarang (1985) didasarkan perkembangan kasus dan pandangan hakim di luar negeri, ia menyatakan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat sewaktu menolak gugatan, patut mencantumkan asas, bahwa hakim tidak dapat digugat secara perdata dalam pelaksanaan tugas yudisialnya, dengan syarat bahwa kesalahan dilakukan dengan itikad baik tanpa mempersoalkan salah-tidaknya putusan.

Memang perlu diskusi mendalam dan membandingkan pengalaman negara lain mengenai judicial liability yang tidak diatur dalam konstitusi dan perundang-undangan kita. Artinya gagasan yang tujuannya baik jika digunakan secara sembarangan belum tentu membawa kebaikan dan manfaat bagi semuanya. Perlu dipertimbangkan bagaimana mekanisme yang terbaik korban yang dirugikan atas putusan yang salah tetap memperoleh hak-hak yang seharusnya diterima dan sekaligus bagaimana independensi hakim baik personal dan institusional tidak terusik. Sebab jika saja hakim dapat digugat secara perdata di Indonesia, penulis meyakini bahwa hampir dalam setiap perkara nantinya hakim akan digugat secara perdata, seperti ketika upaya banding dikalahkan, hampir pihak yang dikalahkan selalu mengajukan kasasi meskipun tiada alasan kasasi sama sekali.

Selain soal judicial liability, sejatinya banyak pertanyaan hukum di Indonesia yang belum selesai. Misalkan saja soal sampai batas mana seorang pembela (pengacara) dianggap menghina seseorang jika itu dikemukakan di persidangan seperti yang terjadi dalam kasus Yap Thiam Hien. Tidak hanya itu, bagaimana menjaga wibawa peradilan? Dalam batas mana seseorang dianggap melakukan contempt of court? Semua pertanyaan ini terkait imunitas atau kekebalan profesi hukum ketika menjalankan tugasnya. Apakah bersifat mutlaq atau terdapat pembatasan-pembatasan.

Sumber Foto: americanhistory.si.edu