Selasa, 02 November 2010

Mahkamah Konstitusi dalam Lintasan Sejarah


Dalam waktu relatif singkat, Mahkamah Konstitusi (MK) tumbuh menjadi lembaga peradilan yang berwibawa dan paling disegani di Tanah Air. Perjalanan tujuh tahun membangun harapan baru masyarakat akan keadilan tersebut bermula dari pergulatan ide jauh sebelum Republik Indonesia berdiri. Namun, gagasan constitutional court baru benar-benar diterima pada tahun 2001 ketika Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sedang menyusun amandemen Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Gagasan tersebut kemudian dirumuskan dalam Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga, yang disahkan pada 9 November 2001.

Berdasarkan Pasal 24C tersebut, MK memiliki empat kewenangan dan satu kewajiban. Yakni, mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final, untuk: menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar; memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar; memutus pembubaran partai politik; dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum. Sedangkan kewajiban MK adalah memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/ atau Wakil Presiden.

Tentu saja lembaga tersebut tidak bisa serta merta berdiri lalu menjalankan fungsinya pada saat itu juga. Oleh karena itu, dalam Perubahan Keempat UUD 1945 diatur mengenai Aturan Peralihan. Pasal III Aturan Peralihan tersebut memberikan waktu pembentukan MK hingga paling lambat pada 17 Agustus 2003. Sedangkan selama MK belum terbetuk, ditetapkan bahwa segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung (MA).

Amanat konstitusi tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Mahkamah Konstitusi antara pemerintah dengan DPR. Empat hari menjelang batas akhir pembentukan MK, pada 13 Agustus 2003, RUU tersebut akhirnya disahkan DPR. Pada hari itu juga undang-undang tersebut diundangkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri menjadi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Tanggal itulah yang kemudian diperingati sebagai hari kelahiran MK.

Dalam masa yang serba cepat, sembilan hakim MK diusulkan oleh lembaga trias politika, yakni DPR, Presiden, dan MA. Masing-masing lembaga mengusulkan tiga nama. Untuk pertama kalinya, DPR mengusulkan Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Letjen TNI (Purn) H. Achmad Roestandi, S.H., dan I Gede Dewa Palguna, S.H., M.H. Sedangkan Presiden mengajukan nama Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M., Prof. H. Abdul Mukhtie Fadjar, S.H., M.S., dan Dr. Harjono, S.H., M.C.L. Adapun MA mengajukan Dr. H. Mohamad Laica Marzuki, S.H. (kini profesor), Maruarar Siahaan, S.H., dan Soedarsono, S.H.

Mereka terpilih untuk masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk satu kali masa jabatan berikutnya. Dua hari kemudian, pada 15 Agustus 2003, kesembilan Hakim Konstitusi "edisi perdana" itu diangkat dengan Keputusan Presiden Nomor 147/M/Tahun 2003. Meski jatuh pada hari Sabtu, esoknya, 16 Agustus 2003, kesembilan hakim konstitusi itu mengucapkan sumpah di Istana Negara dengan disaksikan Presiden Megawati Soekarnoputi.

Selanjutnya dapat diunduh pada: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/pdfMajalah/17.%20BMK%20Edisi%20Agustus%202010.pdf
Foto: Ray Bahtiar/Humas MK