Kamis, 11 November 2010

“Onrechtmatige Overheidsdaad”


Di negara-negara Eropa Kontinental, perbuatan melawan hukum (PMH) dikenal dengan istilah ”onrechtmatige daad” atau di negara Aglo Saxon dengan istilah ”tort” yang pengertiannya terus berkembang tidak hanya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh orang perorangan, tetapi juga dilakukan oleh badan hukum termasuk oleh penguasa.

Pasal 1365 BW mengatur mengenai PMH yang dikenal sebagai pasal yang menampung perbuatan-perbuatan yang melanggar hukum. Pasal tersebut berbunyi, “Tiap perbuatan melanggar hukum yang menimbulkan kerugian pada orang lain, mewajibkan pembuat yang bersalah untuk mengganti kerugian”.

Pengertian PMH secara klasik menurut Munir Fuady mengutip William C. Robinson (1882) yaitu sebagai berikut: Pertama, nonfeasance, yakni merupakan tidak berbuat sesuatu yang diwajibkan oleh hukum. Kedua, misfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan secara salah, perbuatan mana merupakan kewajibannya atau merupakan perbuatan yang dia mempunya hak melakukannya. Ketiga, malfeasance, yakni merupakan perbuatan yang dilakukan padahal pelakunya tidak berhak untuk melakukannya.

Di Belanda sebelum 1919, PMH hanya diartikan sebatas melanggar pasal-pasal hukum tertulis. Akan tetapi sejak kasus Lindenbaum versus Cohen tahun 1919, onrechtmatige daad tidak hanya melanggar peraturan yang sifatnya tertulis (onwetmatige daad saja), namun secara luas, yakni: 1. Perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain. 2. Perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri. 3. Perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan. 4. Perbuatan yang bertentangan dengan kehati-hatian atau keharusan dalam pergaulan masyarakat yang baik (Lihat, Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum, Pendekatan Kontemporer, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm. 1-9)

Dalam ilmu hukum sendiri dikenal tiga macam kategori PMH yaitu: PMH karena kesalahan, PMH tanpa kesalahan (tanpa unsur kesalahan dan kelalaian), dan PMH karena kelalaian.

Disamping semakin luasnya lapangan pengertian PMH, menurut Wirjono Prodjodikoro dalam Bunga Rampai Ilmu Hukum (1974) menyatakan pada tahun 1942 ada putusan penting dari Peradilan Tertinggi di Negeri Belanda (Ostermann-arrest), yang menentukan bahwa pemerintah berdasarkan atas Pasal 1401 BW Belanda (Pasal 1365 BW Indonesia) bertanggung jawab atas segala perbuatan alat perlengkapannya tidak hanya yang melanggar hukum perdata saja, melainkan juga melanggar hukum publik.

Dengan putusan ini pengadilan perdata diperbolehkan mengadili di lapangan peradilan tata usaha pemerintahan atau peradilan administrasi. Tanggung jawab negara atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh alat-alat pemerintah tersebut dikenal dengan onrechtmatige overheidsdaad.

“Perbuatan alat-perlengkapan pemerintah dapat dianggap tidak pantas dalam masyarakat, apabila Pemerintah memakai kekuasaannya menurut Hukum Publik itu untuk tujuan yang tidak dimaksudkan oleh Hukum Publik itu, atau dalaman bahasa Prancis kalau ada ‘detournement de pouvoir’. Sekiranya juga dapat dikatakan, bahwa perbuatan Pemerintah tidak pantas dalam masyarakat, apabila perbuatannya bersifat sewenang-wenang (willekeur),” tulis Wirjono dalam bukunya.

Di Indonesia sendiri, putusan MA menunjukkan perkembangan sama. Misalkan saja Putusan MA Nomor 421 K/Sip/1969 tanggal 22 November 1969 kurang lebih menyatakan: “Sebelum ada UU tentang Peradilan Tata Usaha Negara, maka Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus gugatan terhadap Pemerintah RI.” (Kasus Oentoeng Sediatmo melawan Kejaksaan Agung).

Kemudian putusan MA No. 981 K/Sip/1972 tanggal 31 Oktober 1974 yang berbunyi antara lain, “Berdasarkan yurisprudensi perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh pejabat negara tunduk pada yurisdiksi Pengadilan Negeri/Umum.”(Kasus Jong Kong Seng melawan Pemerintah Daerah Kabupaten Panarukan cs.).

Lalu, mengenai luas pengertian PMH bisa dilihat pada putusan MA Nomor 838 K/Sip/1970 tanggal 20 Januari 1971 yang berbunyi kira-kira sebagai berikut: “Hal perbuatan melawan hukum oleh Penguasa harus dinilai dengan undang-undang dan peraturan formal yang berlaku, dan selain itu dengan kepatutan dalam masyarakat yang seharusnya dipatuhi oleh Penguasa.” (Kasus W. Josopandojo melawan Pemerintah DKI Jakarta Raya)

Semenjak diberlakukan UU No5 Tahun 1986 yang dirubah dengan UU No. 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU No.5 Tahun 1986 tentang Pengadilan Tata Usaha Negara, PTUN yang berwenang mengadili mengenai adanya sengketa tata usaha negara (TUN), di mana sengketa tersebut timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat maupun didaerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan TUN, termasuk di dalamnya sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Yang dianggap keputusan TUN merupakan perbuatan hukum perdata yang oleh UU dianggap tidak termasuk kompetensi absolut PTUN.

Sehingga pada dasarnya jika terjadai PMH oleh penguasa terkait perbuatan hukum perdata (di luar objek PTUN untuk mengadili) masih tetap menjadi kewenangan peradilan umum untuk mengadilinya.(Miftakhul Huda)

Majalah Konstitusi No.44-September 2010