Jumat, 26 November 2010

Penjara dan Politik Kriminal


Penjara sebagai bentuk hukuman (pemidanaan) bukan konsep yang tiba-tiba turun dari langit. Ada proses perjalanan panjang, baik melalui pemikiran dan pengalaman baik dan buruknya. Perubahan rumah-rumah penjara menjadi lembaga pemasyarakatan atau lapas (LP) di Indonesia juga terkait dengan politik kriminal negara. Semua berdasar pengalaman dan ilmu pengetahuan bagaimana menanggulangi kejahatan yang terjadi di masyarakat.

Buku “Pendjara dan Keedjahatan” karya R.A. Koesnoen, berusaha membeberkan khususnya masalah penjara dan politik kriminal itu. Ia memang kerap ditemukan karyanya misalkan buku Pemberantasan kedjahatan di Inggris dan Indonesia, Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, dan Pembelaan Diri Tanpa Sendjata. Selain itu ia juga menerjemahkan sebuah karya Bonger, Pengantar tentang Kriminologi dan Wetboek van koophandel.

Karyanya meski bukan hal baru lagi saat ini, akan tetapi pada masanya sangat berharga. Saat ini memang sudah banyak referensi bertebaran mengenai hukum pidana, kriminologi, penologi dan viktimogi. Namun, pada dasarnya penjara masih menyisakan banyak persoalan, baik pengaturan maupun pelaksanaan hukuman setelah diputus hakim. Pengalaman para penghuni penjara menunjukkan tujuan pidana penjara tidak sesuai harapan. Bahkan ada ungkapan penjara adalah sekolah kejahatan (school of crime), yakni yang sebelumnya sebagai pencuri ayam, maka setelah keluar dari penjara akan menjadi pencuri kelas kakap. Akhir-akhir ini juga muncul pemberitaan kejahatan yang dikendalikan dari penjara. Selain itu, buku-buku memoar para mantan pejabat banyak ditemukan persoalan serius di dalam penjara misalkan buku Rahadi Ramelan dalam Cerita dari Cipinang dan Cipinang Desa Tertinggal.

Buku ini sedikit banyak bermanfaat dan menjawab problem tersebut. Ilmu penjara memang bagian dari ilmu politik kriminal (criminal policy) yang menyelidiki sebab-sebab kejahatan dan bagaimana berupaya melawan kejahatan. Hukuman hilang kemerdekaan adalah bagian dari upaya menanggulangi kejahatan tersebut, sehingga politik kriminal dikatakan sebagai ilmu teleologis. Ilmu penjara belajar dari pengaman manusia dengan keberhasilan atau kegagalannya dalam sistem penjaranya, jenis hukum hilang kemerdekaan dan hal lainnya. Buku ini diawali uraian sejarah sistem penjara di berbagai negara dimana muncul dan berkembang, sehingga muncul hukuman hilang kemerdekaan pada posisi penting pada zaman modern.

Sebelum hukuman hilang kemerdekaan juga dikenal hukuman mati yang dikenal sampai sekarang atau hukuman badan yang oleh aliran modern dianggap tidak manusiawi dan tidak akan terwujud tujuan politik kriminal itu. Namun, hukuman hilang kemerdekaan semakin kokoh di zaman aufklarung sebagai kemenangannya atas hukuman mati dan badan, bersamaan lahir asas “nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege” untuk melindungi manusia dari merajalelannya autokrasi.

Penjelasan di dalam buku ini sangat kaya mengenai berbagai faham sebab-sebab kejahatan dari Cesare Lombroso sampai para pengritiknya. Sehingga tidak salah misalkan MK memutus narapidana dapat menjadi pejabat publik, karena urai Ferri, bahwa terdapat kejahatan yang justru memberikan sumbangan kemajuan masyarakat dan peradaban. Ini semua sumbangsih penyelidikan ilmu kriminologi. Nah, kemudian mengenai politik kriminal, harus diakui bahwa upaya preventif jauh lebih penting dari represif dengan pemberian hukuman. Dibagian tersebut diuraikan dengan lengkap “teori pembalasan” sampai dengan teori manfaat atau tujuan (utilitarianisme) atau restoratif.

Menurut peresensi, buku ini penting mengenali dengan baik pelaku kejahatan dan perbuatannya, sehingga negara tidak sampai salah menghukum atau memberikan macam dan berat ringannya hukuman. Selain itu berguna bagi orang-orang yang berhubungan dengan penjahat dan penjara, pemegang kebijakan dan masyarakat luas bagaimana memperlakukan mereka dengan secara manusiawi dengan tidak menghilangkan tujuan pemidanaan. Umumnya hukuman penjara sebagai jenis hukuman atau pemidanaan masih relevan dipertahankan, tinggal bagaimana pembaruan siapa layak mendapatkan hukuman tersebut dan seluk beluk sistem pemidanaan. Gagasan-gagasan akhir-akhir ini dalam rumusan RUU KUHP berkat pengetahuan mengenai sebab-sebab kejahatan, misalkan keseimbangan pidana yang berorientasi pelaku dan korban, penggunaan double track system antara pidana/ punish-ment dengan tindakan/treatment/measures, elastisitas/fleksibilitas pemidanaan, subsidiaritas di dalam memilih jenis pidana, permaafan hakim (“rechterlijk pardon”/”judicial pardon”) dan lain sebagainya.

Namun selain soal sistem pemidanaan, hal yang penting di buku ini bagaimana memperlakukan para penghuni penjara agar politik penjara tercapai. Inti pembahasan dalam buku dan hal berbeda dari buku-buku lain terletak di bagian ini. Koesnoen mengetengahkan pendapat bahwa negara tidak hanya memiliki kewajiban menangkap, menuntut, mengadili dan menghukum, akan tetapi kewajiban negara masih panjang dan belum selesai. Negara berkewajiban juga mengembalikan mereka ke tengah masyarakat sebagai orang berguna dan menjadi warga negara baik. Beberapa upaya untuk mencapai itu dibahas di bagian ini, misalkan terkait pentingnya susana kekeluargaan, soal kerja paksa, harus tercapai menyesali perbuatannya, diberikan harapan, dan harus dididik sehingga dapat bergaul dalam masyarakat secara jujur. Beberapa hal dibahas dengan menggunakan sejarah dan perbandingan berbagai sistem di negara-negara lain.

Selain itu hal yang menarik, di bagian ini mengemuakan soal pentingnya UU Kepenjaraan dan urusan penjara semestinya masuk hukum tata pemerintahan. Yang memutuskan perampasan kemerdekaan adalah pengadilan, dipenjarakan atas perintah jaksa, akan tetapi bagaimana hubungan negara dan orang-orang hukaman masuk dalam lingkungan tata pemerintahan. Negara punya kewajiban mewujudkan politik penjara, sebagaimana di alam merdeka, negara wajib menjamin hak-hak warga negaranya. Begitu pula di penjara, berlaku pula semboyan ”yang memerintah hukum” dan ”kedaulatan rakyat” yang mengandung arti negara tidak boleh merampas hak-hak warga negara di penjara. Hak-hak ini harus dijamin dari kesewenang-wenangan pegawai penjara sebagai aparat negara. ”Oleh karena itu maka dalam penutupan tidak boleh dirampas lebih dari pada apa yang disebut dalam undang-undang atau keputusan yang timbul dari undang-undang itu” kata Freudenthal. Artinya hukuman hilang kemerdekaan tidak boleh ditambah dengan hukuman badan, mati, hilang kehormatan, jiwa, dan harta benda di dalam penjara. Hanya menghilangkan kemerdekaan sejati. Namun, Koesnoen memilih jalan tengah bahwa penutupan tidak hanya penutupan, akan tetapi perlu tindakan lain untuk tercapainya tujuan pemidanaan. Selain itu ia juga mengemukan hubungan pegawai penjara dan orang-orang hukuman bukan berdasarkan hak dan kewajiban, akan tetapi sebagaimana bapak-ibu terhadap anak-anaknya. Mengenai hak-hak, kata Koesnoen tetap juga harus diberikan asalkan tidak mengganggu hubungan kepercayaan kedua belah pihak.

Selanjutnya juga mengemukakan sejarah penjara di Batavia (Indonesia) yang mengambil tulisan A. Hellema pada 1936. Selain soal isu utama penjara dan politik kriminal, di buku terdapat dua tema besar yang rugi dilewatkan yaitu mengenai tema ”Asas Hukum Pidana” dan ”Ilmu Pidana” . Di bagian ini hampir mencapai separoh halaman buku ini. Persoalan yang dibahas banyak ditemukan dalam buku-buku ilmu hukum pidana pada umumnya. Yang berbeda, ia memberi ruang pembahasan mendalam mengenai hukuman hilang kemerdekaan, terutama sejarahnya dengan lengkap dan perbandingan berbagai sistem pemidanaan dan pandangan Koesnoen sendiri. Buku ini juga dilengkapi tulisan Prof. Mr. R.P. Notosusanto dan S. Tondokosoemoe yang membuat karya ini lebih menarik dan kaya pengalaman pelaku pembinaan penghuni penjara.

Di tengah upaya perbaikan problem penjara sebagaimana diatas, tentu tidak bisa dapat dibiarkan begitu saja meskipun terhadap orang-orang hukuman. Karena fakta yang terjadi dan dibenarkan oleh Kongres PBB Ke-V dan VI, bahwa faktor diskrepansi nilai dan inkonsistensi antara UU dengan kenyataan, akan menjadi faktor kriminogen itu sendiri. Semakin jauh dan bergesernya hukum atas nilai-nilai yang hidup di masyarakat, menimbulkan ketidakpercayaan dan ketidakefektifan sistem hukum itu. Koesnoen membuka cakrawala baru melindungi semua manusia, termasuk penghuni penjara untuk mencapai tujuan pemidanaan, sekaligus menunjukkan hukuman atau pemidanaan melalui upaya represif mestinya disertai pula upaya penanggulangan faktor-faktor yang menyebabkan kejahatan (non-penal).

Judul : Pendjara dan Kejahatan
Pengarang : R.A. Koesnoen
Penebit : P. Besar S.S. Kependjaraan
Tahun : 1952

Oleh Miftakhul Huda, Redaktur Majalah Konstitusi

(Dimuat di Majalah Konstitusi, No.43, Agustus 2010)