Rabu, 29 Desember 2010

“Erga Omnes”

Erga omnes sering digunakan dalam hukum untuk menjelaskan terminologi kewajiban dan hak terhadap semua. Sebagai contoh sebuah hak kepemilikan adalah sebuah hak erga omnes, dan karena itu dilaksanakan terhadap siapa pun yang melanggar hak itu. Sebuah hak erga omnes (a statutory right/ hak undang- undang) di sini dapat dibedakan dari hak yang timbul berdasarkan kontrak, yang hanya dilaksanakan terhadap pihak yang membuat kontrak (inter partes).

Dalam hukum Internasional, erga omnes digunakan sebagai istilah yang menunjukkan sebuah kewajiban hukum yang dimiliki oleh negara terhadap masyarakat negara secara keseluruhan. Pelanggaran terhadap kewajiban tersebut menjadi perhatian tidak hanya negara korban, tetapi juga kepada semua anggota lain dari komunitas Internasional. Pelanggaran kewajiban ini, setiap negara dibenarkan dalam memanggil (mungkin melalui jalur hukum) tanggung jawab negara bersalah melakukan perbuatan yang melanggar norma yang akui secara Internasional. Contoh norma-norma erga omnes termasuk pembajakan (piracy), genosida, perbudakan (slavery), penyiksaan (torture), dan diskriminasi rasial. Konsep tersebut diakui dalam keputusan Mahkamah Internasional (IJC) dalam kasus Traction Barcelona pada 1970. Baru-baru ini, ICJ mengakui bahwa hak menentukan nasib sendiri juga memiliki karakter erga omnes dalam kasus mengenai Timor Timur dan lain sebagainya. (Wikipedia)

Di dalam pengadilan perdata, putusan yang berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde) mengikat kedua belah pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga. Oleh karenanya semua pihak yang menyangkut perkara harus dimasukkkan sebagai para pihak, baik Pengugat, Tergugat atau Turut Tergugat. Hal ini semata-mata untuk membela kepentingan pihak lain atas perkara. Oleh karenanya pengadilan jika menerima permohonan yang kurang para pihaknya harus menyatakan tidak menerima (NO). Asas yang berlaku di pengadilan perdata adalah pihak-pihak yang digugat tergantung dari Pemohon/Penggugat sendiri. Namun untuk menghindari penyalahgunaan, semua pihak yang berkepentingan harus sebagai pihak berperkara kecuali dipanggil secara patut tidak menggunakan haknya. Sebaliknya hakim dalam perkara perdata umumnya dilarang menarik pihak ketiga sebagai “Turut Tergugat” atau mengeluarkannya. Untuk melindungi pihak ketiga terhadap putusan yang berkekuatan tetap adalah dengan mengajukan perlawanan atau darden verzet, sehingga pihak ketiga yang berkepentingan terikat dengan putusan.

Putusan Mahkamah Konstitusi oleh karena objeknya menyangkut kepentingan bersama dan semua orang, sehingga sifat permohonan di MK tidak bersifat berhadap-hadapan sebagaimana sengketa di pengadilan perdata atau tata usaha negara. Termasuk putusan yang dijatuhkan MK misalkan terkait pengujian undang-undang (UU), dimana UU sendiri adalah mengikat secara umum kepada semua warga negara, maka dengan dinyatakan tidak mengikat, maka UU tersebut tidak hanya memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pihak yang memohonkan di MK, akan tetapi juga semua warga negara. Sehingga pada dasarnya karena hakikat perkara yang diadili di MK tersebut, maka putusan yang dijatuhkan oleh MK bersifat erga omnes.

MK beberapa kali menegaskan sifat erga omnes putusan MK tersebut. Misalkan saja saat pemeriksaan perkara PHPU Legislatif 2009, MK memutuskan erga omnes cara penerapan yang benar atas penerapan penghitungan kursi tahap ketiga dalam ketentuan Pasal 205 ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) UU 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD pada 10 Juni 2009 yang intinya penarikan sisa suara untuk penghitungan tahap ketiga di tingkat provinsi haruslah meliputi semua Dapil yang ada di provinsi yang bersangkutan. Penerapan pasal ini berlaku tidak hanya kepada para Pemohon saja tetapi harus diterapkan untuk semua penghitungan tahap ketiga tentang penetapan perolehan sisa kursi DPR bagi partai politik peserta Pemilihan Umum 2009, di semua provinsi yang harus melakukan penghitungan tahap tiga.

Meskipun tidak tegas disebutkan erga omnes, perkara pengujian perkara No. 110-111-112-113/PUU-VII/2009, putusan ini tidak hanya berlaku terhadap empat Pemohon yang mengajukan. MK dalam perkara ini memutusakan terkait penghitungan tahap kedua untuk penetapan kursi DPR bagi parpol peserta Pemilu (Pasal 205 ayat (4) UU No. 10 Tahun 2008) dan ketentuan pembagian kursi bagi partai politik untuk Pemilu Anggota DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/ Kota dalam Pasal 211 ayat (3) dan Pasal 212 ayat (3) UU tersebut. Bahkan salah atu amar putusan perkara ini menyatakan, “Memerintahkan Komisi Pemilihan Umum melaksanakan penghitungan perolehan kursi DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota tahap kedua hasil pemilihan umum tahun 2009 berdasarkan Putusan Mahkamah ini”.

Dalam perkara yang diajukan oleh Yusril Ihza Mehendra, pertimbangan erga omnes juga menjadi dasar terkait penolakan permohonan provisi, karena permohonan sudah masuk kepada mengadili kasus konkrit. MK terbatas mengadili norma dan kekuatan putusan MK terkait pengujian UU (judicial review) berlaku umum dan mengikat untuk semua kasus di seluruh Indonesia. Sehingga penolakan permohonan semata-mata karena permohonan provisi bertentangan dengan sifat erga omnes putusan MK tersebut. Selanjutnya, putusan final MK terkait UU Kejaksaan tersebut tidak hanya mengikat Jaksa Agung yang menjabat, akan tetapi siapapun yang menjabat, karena MK tidak mengadili Jaksa Agung, akan tetapi mengadili norma yang yang mengatur masa jabatan Jaksa Agung. (Miftakhul Huda)

Tulisan ini dimuat di Majalah Konstitusi No. 45-Oktober 2010

Foto: Ray Bahtiar/Humas MK