Oleh Miftakhul Huda, Redaktur Majalah
Konstitusi
Muh Yamin adalah
tokoh dengan beragam julukan serba besar. Ia tidak hanya ahli konstitusi
kenamaan, tetapi dikenal pula sebagai sastrawan. Karya sastranya dapat dijumpai
dalam Tanah Air (1922), Indonesia Tumpah Darahku (1928), Ken
Arok dan Ken Dedes (1934), Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (1932) dan menerjemahkan
karya William Shakespeare dan Rabindranath Tagore. Karya sejarah juga dapat
ditemui antara lain Sejarah Peperangan Diponegara (1945), Gajah Mada (1948),
Revolusi Amerika (1951), Atlas Sejarah dan Lukisan Sejarah (1956),
dan lain sebagainya.
Selain
sastrawan, penggali sejarah, ia juga politikus, tokoh pergerakan, ahli bahasa,
dan piawai dalam antropologi. Sekalipun demikian, Muh Yamin tetap sosok yang dikelilingi
kontroversi. Sejak awal, perilaku dan karya-karyanya dikagumi orang dan tidak
sedikit dikritik berbagai pihak, bahkan dilecehkan. Contoh saja, pada 1945,
ketika ia menerbitkan Gajah Mada yang memuat potret patung Gajah Mada,
oleh pengkritiknya potret tersebut dianggap rekaan wajahnya sendiri. Buku “6000
Tahun Sang Merah Putih” pun dianggap
hanya “khayalan“nya saja. Namun, pada sisi lain, pengkritiknya sendiri tidak
mampu membuktikan kebenaran sejarah versinya. Bahkan karya-karya sesudahnya
mengenai sejarah dan sastra banyak memperoleh manfaat dari karya Yamin.
Keandalan
Yamin memang diakui siapapun. Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, menyebut
dirinya sejarawan Indonesia yang pengaruhnya paling besar. Majalah Tempo edisi khusus 16 Januari 2000
menyatakan, “Pakar sejarah Taufik Abdullah menempatkan Yamin sebagai sejarawan terbesar
abad ini.” Di tengah hujatan kepadanya sebagai penulis keraton, ada pula yang
memujinya. Hersri Setiawan menyanjung Yamin sebagai “sastrawan yang perlu
diberi tempat istimewa”. Patung Gajah Mada pun sampai saat ini tidak terdapat
pihak yang menunjukkan yang benar yang mana.
***
Buku Yamin
yang paling kontroversial sepanjang sejarah adalah buku yang berjudul lengkap “Naskah
Persiapan Undang Undang Dasar 1945, disiarkan dengan dibubuhi tjatatan oleh
Prof. Mr. Hadji Muhammad Yamin”. Buku ini terdiri atas tiga jilid yang
diterbitkan dalam waktu tidak bersamaan. Jilid I (1959) berisi segala naskah
sejak 29 Mei 1945 sampai ditetapkan konstitusi pada 18 Agustus 1945. Selain
itu, juga terdapat naskah terkait Konstituante I dan lain sebagainya. Djilid II
(1960) berisi naskah sejak Februari sampai 12 Mei 1959. Sedangkan Djilid III
(1960) mendokumentasikan lanjutan laporan Konstituante sejak 12 Mei sampai dengan
2 Juni 1959.
Naskah
Persiapan jilid pertama inilah yang memunculkan kontroversi berkepanjangan.
Naskah ini sejatinya menjadi rujukan utama dan satu-satunya sejarah perdebatan
para founding fathers dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di
samping sumber langsung kesaksian pelaku sejarah, baik memoar maupun
pengakuannya semasa hidup. Sumber kontroversi dipicu penerbitan buku tipis
Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi jang otentik dan Rumusan Pancasila
jang otentik (1971) dan Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara (1983)
yang menyatakan bahwa Soekarno bukan satu-satunya penggali Pancasila. Menurutnya
Yamin juga menyampaikan pidato yang lebih mirip Pancasila sebelumnya pada 29
Mei 1945. Pendapat Nugroho ini banyak diikuti sejarawan dan ahli hukum tata
negara lain, misalkan Darji Darmodiharjo dan lain-lain. Buku Yamin adalah
menjadi sumbernya yang semula tidak banyak dipersoalkan otentisitasnya.
Akibatnya muncul berbagai gugatan dan penelusuran lebih lanjut kebenaran
sejarah.
Dalam
perkembangannya pendapat sebaliknya bermunculan, baik karena kepentingan
kebenaran sejarah maupun fakto pengkultusan tokoh. Buku Soerowo Abdoelmanap, Republik
Indonesia Menggugat (1997), dengan pengantar Roeslan Abdulgani, memuat
antara lain “Naskah Uraian Pancasila Hasil Panitia Lima”, dan berisikan Notulen
Sidang I sampai III mempersoalkan buku Yamin. Dalam notulen tersebut Prof. Mr.
Soenario mengemukakan kurang pengertiannya masyarakat mengenai hari lahirnya
Pancasila, apakah benar 1 Juni 1945. Pertanyaan Soenario terkait buku Yamin
yang menyatkan dirinya berpidato yang isinya mirip Pancasila, Hatta menyatakan,
“Tidak benar. Bung Yamin agak licik. Sebenarnya pidato itu adalah yang
diucapkan dalam sidang Panitia Kecil. Bung Karno-lah satu-satunya yang tegas-
tegas mengusulkan filosofishe grondslag untuk negara yang akan dibentuk,
yaitu Pancasila. Hanya urutannya sila Ketuhanan ada di bawah.”
(hlm.128-129).
Karya Nugroho
juga mendapat reaksi beragam. Tidak hanya dari politisi, mantan ABRI, pakar,
generasi muda, pers, bahkan sejarawan lain juga mempersoalkan metodologinya. Bahkan,
buku tersebut juga hanya dianggap pamflet politik daripada sebagai karya
sejarah. Inti bantahan juga mempersoalkan sumber buku Yamin tersebut. Gugatan
kepada Yamin, misalkan kenapa tidak memasukkan semua pembicara saat itu, tetapi
hanya Soekarno, Yamin dan Soepomo. Selain itu juga keraguan soal ketidakbenaran
klaim Yamin bahwa tanggal 29 Mei 1945 melampirkan Rancangan UUD yang mirip
dengan UUD 1945 yang tercantum dalam bukunya.
Buku lain yang diterbitkan
yang mempersoalkan Nugroho antara lain datang juga dari Sejarah Lahirnya Pancasila
(1985). Risalah Sidang BPUPKI-PPKI yang diterbitkanSekretariat
Negara sejak 1992 juga mengalami revisi karena persoalan ditemukannnya
sumber-sumber baru. Pakar sejarah konstitusi Universitas Indonesia A.B. Kusuma
dalam Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, terbit pada 2003 dan direvisi
pada 2009 juga banyak mengganggap Yamin merekayasa bukunya berdasarkan
temuan-temuan baru, yakni “Koleksi Yamin” dan “Koleksi Pringgodigdo”. Banyak keraguan yang wajar terjadi karena temuan sumber-sumber baru di mana penulisan sejarah selama ini mengandalkan naskah Yamin sebagai satu-satunya sumber.
***
Berdasarkan
semua perdebatan ini pada dasarnya persoalan menjadi ruwet dan berkepanjangan
karena pengkultusan individu, sehingga tidak dapat bersikap objektif terhadap
dokumen sejarah dan kebenaran fakta. Semua perdebatan ini sebenarnya juga tidak
perlu terjadi manaka semua pelaku sejarah pada saat masih hidup, terutama Yamin
sendiri yang meninggal di Jakarta pada 17 Oktober 1962 dan pelaku sejarah para
anggota BPUPK lain, menyampaikan kebenaran saat mendengarkan dan menyaksikan
sendiri pidato yang menjawab pertanyaan “Dasar (Beginsel) Negara Kita”.
Selama ini
tuduhan adanya perekayasaan kata atau kalimat dalam buku Yamin karena ditemukan
dokumen baru. Kebenarannya buku Yamin memang perlu ditelusuri kembali. Namun mengenai
adanya kesalahan huruf, kata, dan kalimat belum tentu terjadi rekayasa. Apalagi
naskah Yamin ini tidak dimaksudkan sebagai terbitan resmi. Sebuah contoh kecil
saja, perbedaan dan kesalahan tulis banyak terjadi di buku Yamin, misalkan manakala menyebut isi Jilid I-II dalam kata pengantarnya di dua jilid itu menyebut
rentang waktu berbeda dokumen yang dimuat. Apakah ini sebuah rekayasa? Menurut
peresensi “tidak”, karena kesalahan ini sering terjadi karena kurang
hati-hatinya penulisan sebuah buku.
Namun dari
beberapa jilid yang diterbitkan, Yamin berusaha mendokumentasikan naskah
bersejarah seperti buku-buku lainnya, misalkan buku Proklamasi dan Konstitusi
Republik Indonesia (1951) yang berusaha merekam perjalanan ketiga
konstitusi kita untuk memudahkan memahami jiwa dan semangat konstitusi yang
pernah berlaku. Tentang kenapa hanya Soekarno yang disebut menyampaikan dasar
negara Pancasila, sedangkan yang lain bukan, pada dasarnya hal ini sudah biasa
mengenai siapa penggagas pertama. Misalkan Yamin berjasa mengusulkan MA untuk
menguji undang- undang (judicial review), meskipun tidak diakomodir.
Kalau saja usul ini diterima, maka kita tidak dapat menghapus sejarah bahwa
usulan ini--meskipun disepakati bersama--, adalah usul Yamin. Begitu pula
dengan Pancasila yang diterima bersama tidak bisa dilepaskan dari siapa yang
mengemukakan pertama kalinya. Tentu sikap menerima kenyataan sejarah ini
dibutuhkan semuanya, karena penolakan tanpa dasar hanya memperkeruh keadaan.
Pelajaran
dari ini adalah pentingnya pendokumentasian sejarah, apalagi mengenai perdebatan
UUD 1945 sebagai hukum tertinggi oleh founding fathers. Perdebatan
ketatanegaraan selama ini karena soal beda kata dan huruf, karena lemahnya
pendokumentasian naskah resmi. Pengumuman dalam tempat resmi dalam waktu cepat,
menjadi penting untuk dokumen hukum yang penting. Karena rentang waktu panjang
memungkinkan terjadinya penyimpangan dokumen, sementara pelaku sejarah sudah
tiada. Dengan teknologi modern saat ini mudah sekali mendokumentasikan
peristiwa penting tinggal adanya kemauan akan itu.
Dokumen saat
sekarang bisa tidak penting, akan tetapi berguna bagi masa mendatang. Artinya
dengan pelaku sejarah masih hidup segala upaya penyimpangan dapat
diminimalisasi. Buku Yamin sendiri baru ramai dipersoalkan pada tahun 80-an ketika
para pelaku sejarah sudah meninggal dan rentang waktu dimasalahkan dengan kejadian
sudah terdapat jarak waktu yang lama. Karenanya upaya penyeragaman sejarah oleh
penguasa harus ditolak, karena sejarah mudah dijadikan alat legitimasi,
sehingga sejarah menjadi “bengkok”. Hambatan untuk mengungkap masa lalu pasti
selalu terjadi, karenanya kebebasan untuk menulis kembali sejarah harus dibuka
dan tidak dilarang, sebab apa yang kita anggap benar belum tentu benar.
Akhirnya
meskipun buku Yamin ini banyak dibenci selalu digunakan orang sampai saat ini
(termasuk sang pembenci) untuk mengetahui perdebatan UUD 1945 saat itu.
Tulisan ini mengalami
koreksi redaksional yang dimuat di Majalah Konstitusi No. 45 Oktober 2010. Dapat diunduh di: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/majalahkonstitusi/pdf/19.%20BMK%20Edisi%20Oktober%202010.pdf
Foto: asia-culture.blogspot.com