Rabu, 29 Desember 2010

Pelajaran dari Kontroversi Buku Yamin


Oleh Miftakhul Huda, Redaktur Majalah Konstitusi

Muh Yamin adalah tokoh dengan beragam julukan serba besar. Ia tidak hanya ahli konstitusi kenamaan, tetapi dikenal pula sebagai sastrawan. Karya sastranya dapat dijumpai dalam Tanah Air (1922), Indonesia Tumpah Darahku (1928), Ken Arok dan Ken Dedes (1934), Kalau Dewa Tara Sudah Berkata (1932) dan menerjemahkan karya William Shakespeare dan Rabindranath Tagore. Karya sejarah juga dapat ditemui antara lain Sejarah Peperangan Diponegara (1945), Gajah Mada (1948), Revolusi Amerika (1951), Atlas Sejarah dan Lukisan Sejarah (1956), dan lain sebagainya.

Selain sastrawan, penggali sejarah, ia juga politikus, tokoh pergerakan, ahli bahasa, dan piawai dalam antropologi. Sekalipun demikian, Muh Yamin tetap sosok yang dikelilingi kontroversi. Sejak awal, perilaku dan karya-karyanya dikagumi orang dan tidak sedikit dikritik berbagai pihak, bahkan dilecehkan. Contoh saja, pada 1945, ketika ia menerbitkan Gajah Mada yang memuat potret patung Gajah Mada, oleh pengkritiknya potret tersebut dianggap rekaan wajahnya sendiri. Buku “6000 Tahun Sang Merah Putih” pun dianggap hanya “khayalan“nya saja. Namun, pada sisi lain, pengkritiknya sendiri tidak mampu membuktikan kebenaran sejarah versinya. Bahkan karya-karya sesudahnya mengenai sejarah dan sastra banyak memperoleh manfaat dari karya Yamin.


Keandalan Yamin memang diakui siapapun. Sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, menyebut dirinya sejarawan Indonesia yang pengaruhnya paling besar. Majalah Tempo edisi khusus 16 Januari 2000 menyatakan, “Pakar sejarah Taufik Abdullah menempatkan Yamin sebagai sejarawan terbesar abad ini.” Di tengah hujatan kepadanya sebagai penulis keraton, ada pula yang memujinya. Hersri Setiawan menyanjung Yamin sebagai “sastrawan yang perlu diberi tempat istimewa”. Patung Gajah Mada pun sampai saat ini tidak terdapat pihak yang menunjukkan yang benar yang mana.

***

Buku Yamin yang paling kontroversial sepanjang sejarah adalah buku yang berjudul lengkap “Naskah Persiapan Undang Undang Dasar 1945, disiarkan dengan dibubuhi tjatatan oleh Prof. Mr. Hadji Muhammad Yamin”. Buku ini terdiri atas tiga jilid yang diterbitkan dalam waktu tidak bersamaan. Jilid I (1959) berisi segala naskah sejak 29 Mei 1945 sampai ditetapkan konstitusi pada 18 Agustus 1945. Selain itu, juga terdapat naskah terkait Konstituante I dan lain sebagainya. Djilid II (1960) berisi naskah sejak Februari sampai 12 Mei 1959. Sedangkan Djilid III (1960) mendokumentasikan lanjutan laporan Konstituante sejak 12 Mei sampai dengan 2 Juni 1959.

Naskah Persiapan jilid pertama inilah yang memunculkan kontroversi berkepanjangan. Naskah ini sejatinya menjadi rujukan utama dan satu-satunya sejarah perdebatan para founding fathers dalam Sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) di samping sumber langsung kesaksian pelaku sejarah, baik memoar maupun pengakuannya semasa hidup. Sumber kontroversi dipicu penerbitan buku tipis Nugroho Notosusanto, Naskah Proklamasi jang otentik dan Rumusan Pancasila jang otentik (1971) dan Proses Perumusan Pancasila Dasar Negara (1983) yang menyatakan bahwa Soekarno bukan satu-satunya penggali Pancasila. Menurutnya Yamin juga menyampaikan pidato yang lebih mirip Pancasila sebelumnya pada 29 Mei 1945. Pendapat Nugroho ini banyak diikuti sejarawan dan ahli hukum tata negara lain, misalkan Darji Darmodiharjo dan lain-lain. Buku Yamin adalah menjadi sumbernya yang semula tidak banyak dipersoalkan otentisitasnya. Akibatnya muncul berbagai gugatan dan penelusuran lebih lanjut kebenaran sejarah.

Dalam perkembangannya pendapat sebaliknya bermunculan, baik karena kepentingan kebenaran sejarah maupun fakto pengkultusan tokoh. Buku Soerowo Abdoelmanap, Republik Indonesia Menggugat (1997), dengan pengantar Roeslan Abdulgani, memuat antara lain “Naskah Uraian Pancasila Hasil Panitia Lima”, dan berisikan Notulen Sidang I sampai III mempersoalkan buku Yamin. Dalam notulen tersebut Prof. Mr. Soenario mengemukakan kurang pengertiannya masyarakat mengenai hari lahirnya Pancasila, apakah benar 1 Juni 1945. Pertanyaan Soenario terkait buku Yamin yang menyatkan dirinya berpidato yang isinya mirip Pancasila, Hatta menyatakan, “Tidak benar. Bung Yamin agak licik. Sebenarnya pidato itu adalah yang diucapkan dalam sidang Panitia Kecil. Bung Karno-lah satu-satunya yang tegas- tegas mengusulkan filosofishe grondslag untuk negara yang akan dibentuk, yaitu Pancasila. Hanya urutannya sila Ketuhanan ada di bawah.” (hlm.128-129).

Karya Nugroho juga mendapat reaksi beragam. Tidak hanya dari politisi, mantan ABRI, pakar, generasi muda, pers, bahkan sejarawan lain juga mempersoalkan metodologinya. Bahkan, buku tersebut juga hanya dianggap pamflet politik daripada sebagai karya sejarah. Inti bantahan juga mempersoalkan sumber buku Yamin tersebut. Gugatan kepada Yamin, misalkan kenapa tidak memasukkan semua pembicara saat itu, tetapi hanya Soekarno, Yamin dan Soepomo. Selain itu juga keraguan soal ketidakbenaran klaim Yamin bahwa tanggal 29 Mei 1945 melampirkan Rancangan UUD yang mirip dengan UUD 1945 yang tercantum dalam bukunya.

Buku lain yang diterbitkan yang mempersoalkan Nugroho antara lain datang juga dari Sejarah Lahirnya Pancasila (1985)Risalah Sidang BPUPKI-PPKI yang diterbitkanSekretariat Negara sejak 1992 juga mengalami revisi karena persoalan ditemukannnya sumber-sumber baru. Pakar sejarah konstitusi Universitas Indonesia A.B. Kusuma dalam Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, terbit pada 2003 dan direvisi pada 2009 juga banyak mengganggap Yamin merekayasa bukunya berdasarkan temuan-temuan baru, yakni “Koleksi Yamin” dan “Koleksi Pringgodigdo”. Banyak keraguan yang wajar terjadi karena temuan sumber-sumber baru di mana penulisan sejarah selama ini mengandalkan naskah Yamin sebagai satu-satunya sumber.

 ***

Berdasarkan semua perdebatan ini pada dasarnya persoalan menjadi ruwet dan berkepanjangan karena pengkultusan individu, sehingga tidak dapat bersikap objektif terhadap dokumen sejarah dan kebenaran fakta. Semua perdebatan ini sebenarnya juga tidak perlu terjadi manaka semua pelaku sejarah pada saat masih hidup, terutama Yamin sendiri yang meninggal di Jakarta pada 17 Oktober 1962 dan pelaku sejarah para anggota BPUPK lain, menyampaikan kebenaran saat mendengarkan dan menyaksikan sendiri pidato yang menjawab pertanyaan “Dasar (Beginsel) Negara Kita”.

Selama ini tuduhan adanya perekayasaan kata atau kalimat dalam buku Yamin karena ditemukan dokumen baru. Kebenarannya buku Yamin memang perlu ditelusuri kembali. Namun mengenai adanya kesalahan huruf, kata, dan kalimat belum tentu terjadi rekayasa. Apalagi naskah Yamin ini tidak dimaksudkan sebagai terbitan resmi. Sebuah contoh kecil saja, perbedaan dan kesalahan tulis banyak terjadi di buku Yamin, misalkan manakala menyebut isi Jilid I-II dalam kata pengantarnya di dua jilid itu menyebut rentang waktu berbeda dokumen yang dimuat. Apakah ini sebuah rekayasa? Menurut peresensi “tidak”, karena kesalahan ini sering terjadi karena kurang hati-hatinya penulisan sebuah buku.

Namun dari beberapa jilid yang diterbitkan, Yamin berusaha mendokumentasikan naskah bersejarah seperti buku-buku lainnya, misalkan buku Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (1951) yang berusaha merekam perjalanan ketiga konstitusi kita untuk memudahkan memahami jiwa dan semangat konstitusi yang pernah berlaku. Tentang kenapa hanya Soekarno yang disebut menyampaikan dasar negara Pancasila, sedangkan yang lain bukan, pada dasarnya hal ini sudah biasa mengenai siapa penggagas pertama. Misalkan Yamin berjasa mengusulkan MA untuk menguji undang- undang (judicial review), meskipun tidak diakomodir. Kalau saja usul ini diterima, maka kita tidak dapat menghapus sejarah bahwa usulan ini--meskipun disepakati bersama--, adalah usul Yamin. Begitu pula dengan Pancasila yang diterima bersama tidak bisa dilepaskan dari siapa yang mengemukakan pertama kalinya. Tentu sikap menerima kenyataan sejarah ini dibutuhkan semuanya, karena penolakan tanpa dasar hanya memperkeruh keadaan.

Pelajaran dari ini adalah pentingnya pendokumentasian sejarah, apalagi mengenai perdebatan UUD 1945 sebagai hukum tertinggi oleh founding fathers. Perdebatan ketatanegaraan selama ini karena soal beda kata dan huruf, karena lemahnya pendokumentasian naskah resmi. Pengumuman dalam tempat resmi dalam waktu cepat, menjadi penting untuk dokumen hukum yang penting. Karena rentang waktu panjang memungkinkan terjadinya penyimpangan dokumen, sementara pelaku sejarah sudah tiada. Dengan teknologi modern saat ini mudah sekali mendokumentasikan peristiwa penting tinggal adanya kemauan akan itu.

Dokumen saat sekarang bisa tidak penting, akan tetapi berguna bagi masa mendatang. Artinya dengan pelaku sejarah masih hidup segala upaya penyimpangan dapat diminimalisasi. Buku Yamin sendiri baru ramai dipersoalkan pada tahun 80-an ketika para pelaku sejarah sudah meninggal dan rentang waktu dimasalahkan dengan kejadian sudah terdapat jarak waktu yang lama. Karenanya upaya penyeragaman sejarah oleh penguasa harus ditolak, karena sejarah mudah dijadikan alat legitimasi, sehingga sejarah menjadi “bengkok”. Hambatan untuk mengungkap masa lalu pasti selalu terjadi, karenanya kebebasan untuk menulis kembali sejarah harus dibuka dan tidak dilarang, sebab apa yang kita anggap benar belum tentu benar.

Akhirnya meskipun buku Yamin ini banyak dibenci selalu digunakan orang sampai saat ini (termasuk sang pembenci) untuk mengetahui perdebatan UUD 1945 saat itu.

Tulisan ini mengalami koreksi redaksional yang dimuat di Majalah Konstitusi No. 45 Oktober 2010. Dapat diunduh dihttp://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/infoumum/majalahkonstitusi/pdf/19.%20BMK%20Edisi%20Oktober%202010.pdf
Foto: asia-culture.blogspot.com