Minggu, 19 Desember 2010

Non-Derogable Rights

Non-derogable rights adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Non-derogable rights demikian dirumuskan dalam Perubahan UUD 1945 Pasal 28 I ayat (1) yang menyatakan sebagai berikut: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

Sebelum non-derogable rights dirumuskan dalam UUD 1945, sudah ditegaskan pula di dalam Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 7 yang menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun (non–derogable)”.

Selanjutnya Pasal 4 UU No. 29 Tahun 1999 tentang HAM juga menyebutkan: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun”.

Pengklasifikasian non-derogable rights dan derogable rights adalah sesuai Konvenan internasional Hak-Hak Sipil dan Politik atau International Covenan on Civil and Political Rights (ICCPR). Ifdhal Kasim dalam tulisannya “Konvensi Hak Sipil dan Politik, Sebuah Pengantar”, yang diterbitkan ELSAM, hak-hak non-derogable yaitu hak-hak yang bersifat absolut dan tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara-negara pihak, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Miriam Budiarjo dalam “Perlukah Non-Derogable Rights Masuk Undang-Undang Dasar 1945”, (Jurnal Analisis CSIS, Tahun XXIX/2000 No.4, hlm. 413-416) mengatakan dengan dimasukkannya non-derogable rights dalam UUD, maka kita telah mengikat tangan sendiri. Misalkan saja, fakir miskin dan anak terlantar dalam UUD dinyatakan sebagai hak non- derogable, maka kita akan dituduh negara pelanggar HAM jika tidak memenuhinya karena berhubung dengan keterbatasan dana.

Sesuai dengan Pasal 28 I, ICCPR menyatakan hak-hak yang sama sekali tidak boleh dikurangi karena sangat mendasar yaitu: (i) hak atas hidup (rights to life); (ii) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (iii) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (iv) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (v) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (vi) hak sebagai subjek hukum; dan (vii) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama. Negara-negara pihak yang melakukan pelanggaran terhadap hak-hak dalam jenis ini, seringkali akan mendapat kecaman sebagai negara yang telah melakukan pelanggaran serius hak asasi manusia (gross violation of human rights).

Sedangkan intinya, sesuai dengan ICCPR, the European Convention on Human Rights dan the American Convention on Human Rights terdapat empat hak non-derogable umum. Atau beberapa pendapat menyebut The core of rights (hak inti) dari non derogable rights berjumlah empat. Ini adalah hak untuk hidup, hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang tidak manusiawi atau merendahkan atau hukuman lainnya, hak untuk bebas dari perbudakan atau penghambaan dan hak untuk bebas dari penerapan retroaktif hukum pidana. Hak-hak ini juga dikenal sebagai norma hukum internasional yg harus ditaati atau jus cogens norms. (www.un.org/esa/socdev/enable/comp210.htm, diunduh pada 22/9/2010).

Hak-hak dalam jenis derogable, yakni hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara-negara pihak. Hak dan kebebasan yang termasuk dalam jenis ini adalah: (i) hak atas kebebasan berkumpul secara damai; (ii) hak atas kebebasan berserikat, termasuk membentuk dan menjadi anggota serikat buruh; dan (iii) hak atas kebebasan menyatakan pendapat atau berekpresi, termasuk kebebasan mencari, menerima dan memberikan informasi dan segala macam gagasan tanpa memperhatikan batas (baik melalui lisan atau tilisan).

Sebagaimana ditulis Ifdhal Kasim atau pendapat Prof. Laica Marzuki, negara-negara pihak boleh mengurangi atau menyimpangi kewajiban memenuhi hak-hak jenis non-derogable. Sedangkan non-derogable tidak diperkenankan. Tetapi penyimpangan itu hanya dapat dilakukan jika sebanding dengan ancaman yang dihadapi dan tidak bersifat diskriminatif, yaitu demi: (i) menjaga keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moralitas umum; dan (ii) menghormati hak atau kebebasan orang lain. Prof. Rosalyn Higgins menyebut sebagai ketentuan “clawback’, yang memberikan suatu keleluasaan yang dapat disalahgunakan oleh negara. Untuk menghindari hal ini ICCPR menggariskan bahwa hak-hak tersebut tidak boleh dibatasi “melebihi dari yang ditetapkan oleh Kovenan ini”. Selain itu diharuskan juga menyampaikan alasan-alasan mengapa pembatasan tersebut dilakukan kepada semua negara pihak ICCPR.

Apakah non-derogable rights dapat dikurangi oleh negara? Pada umumnya aktivis HAM berpendapat tidak dapat disimpangi dengan alasan apapun dan darurat sekalipun Beberapa pendapat sebaliknya hak-hak apapun bisa dibatasi oleh UU. Ada beberapa pendapat pula mengatakan dirumuskan saja dalam bentuk UU sebagaimana Konvenan tersebut. Jika diatur dalam UU, maka pembatasan atas hak-hak non-derogable tersebut dapat dilakukan, karena jika dirumuskan dalam konstitusi, maka negara telah melanggar konstitusi.

Mahkamah Kontitusi (MK) pernah menguji terkait asas retroaktif yang termasuk hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun yang menyatakan Pasal 28I ayat (1) harus dibaca bersama-sama dengan Pasal 28J ayat (2). Maka akan tampak secara sistematik, HAM– termasuk hak untuk tidak dituntut berdasarkan hukum yang berlaku surut — tidaklah bersifat mutlak, karena dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dan wajib tunduk pada pembatasan yang ditentukan UU dengan maksud semata-mata untuk menjamin penegakan dan penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain serta untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam satu masyarakat demokratis sebagaimana diatur dalam Pasal 28J ayat (2). MK juga berpendapat pengesampingan asas non-retroaktif dapat dibenarkan, bukanlah maksud pengesampingan setiap saat dapat dilakukan tanpa pembatasan. UUD 1945 sendiri, Pasal 28J ayat (2), sebagaimana telah diuraikan di atas, telah menegaskan pembatasan dimaksud. (Vide Putusan No. 065/PUU-II/2004 perihal Pengujian UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM).

Selanjutnya perkara No. 29/PUU-V/2007 perihal Pengujian UU No. 8 Tahun 1992 tentang Perfilman, MK mengetengahkan klasifikasi HAM tersebut. Ditegaskan pula HAM yang dikategorikan sebagai non-derogable rights pun, misalnya hak non retroaktif dapat dikesampingkan untuk pelanggaran HAM berat (gross violence of human rights) seperti kejahatan kemanusiaan dan genosida. Juga dalam HAM mengenai hak untuk hidup seperti yang tercantum dalam Pasal 28I ayat (1) dapat dibatasi oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Kemudian pengujian UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika, perkara No.2-3/PUU-V/2007, MK berpendapat sejarah penyusunan dari Pasal 28I UUD 1945 berdasarkan saksi dan ahli, dari perspektif original intent pembentuk UUD 1945, seluruh HAM yang tercantum dalam Bab XA UUD 1945 keberlakuannya dapat dibatasi. Original intent pembentuk UUD 1945 yang menyatakan bahwa HAM dapat dibatasi juga diperkuat oleh penempatan Pasal 28J sebagai pasal penutup dari seluruh ketentuan yang mengatur tentang hak asasi manusia dalam Bab XA UUD 1945 tersebut.

Secara penafsiran sistematis (sistematische interpretatie) menurut pertimbangan MK, HAM yang diatur dalam Pasal 28A sampai dengan Pasal 28I UUD 1945 tunduk pada pembatasan yang diatur Pasal 28J UUD 1945. Sistematika pengaturan HAM dalam UUD 1945 sejalan dengan sistematika pengaturan dalam Universal Declaration of Human Rights yang juga menempatkan pasal tentang pembatasan HAM sebagai pasal penutup, yaitu Pasal 29 ayat (2) yang berbunyi, “In the exercise of his rights and freedoms, everyone shall be subject only to such limitations as are determined by law solely for the purpose of securing due recognition and respect for the rights and freedoms of others and of meeting the just requirements of morality, public order and the general welfare in a democratic society.” (Miftakhul Huda)


Foto: konsultanhukumonline.blogspot.com