Rabu, 12 Januari 2011

"Pengundangan"

Mas Subagio dalam disertasi yang dibukukan berjudul Lembaran Negara Republik Indonesia Sebagai Tempat Pengundangan Dalam Kenyataan (1983) mengartikan “pengundangan” sebagai penempatan suatu peraturan perundangan negara yang tertentu di dalam suatu lembaran resmi sebagaimana diatur dalam suatu peraturan perundangan dan mengedarkannya kepada umum untuk diketahui.

Sedangkan pengertian menurut UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan menyatakan: “Pengundangan adalah penempatan Peraturan Perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita Negara Republik Indonesia, Lembaran Daerah, atau Berita Daerah” (Pasal 1 angka 11) Dalam arti yuridis ini, maka pengundangan tidak termasuk tindakan pengumuman resmi berlakunya peraturan atau penyebarluasan di masyarakat.

Sejak zaman Romawi Kuno pada dasarnya sudah dikenal lembaga pengundangan dalam bentuk sederhana, yaitu menuliskannya undang-undang baru pada spanduk (bakor) oleh petugas kerajaan dibawa ke alun-alun pada hari pasar. Diharapkan dengan itu, maka masyarakat mengetahui peraturan baru. Dengan tata cara demikian kemudian dikenal produk hukum yang disebut “Lex” (legere: membaca). Disamping itu terdapat bentuk lain lagi yaitu “decretum” (dekrit) yang tidak dipamerkan sebagaimana lex, tetapi karena pengumuman (excathedra) raja. Dekrit dikeluarkan karena hal-hal yang mendesak.

Tujuan pengundangan adalah agar masyarakat, penegak hukum dan pencari hukum, mengetahui peraturan tersebut dan dengan demikian lahirlah kekuatan mengikat. Pasal 50 UU No.10 Tahun 2004 menyebutkan”Peraturan Perandangundangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan” Setelah sebuah peraturan diundangkan, maka berlaku fiksi hukum yang menyatakan “indereen wordt geacht de wet te kennen” (setiap orang dianggap mengetahui undang-undang). Oleh karena itu, maka tidak dibenarkan menolak penuntutan hukum dengan alasan “tidak tahu akan adanya peraturan tersebut”.

Menurut Philipus M. Hadjon dalam Lembaga Tertinggi dan Lembaga- Lembaga Tinggi Negara Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan (1992), pengundangan merupakan fase terakhir dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan. Pengundangan merupakan proses legislatif dan bukan post-legislatif, karena pengundangan melahirkan kekuatan mengikat, fiksi hukum efektif setelah pengundangan dan Lembaran Negara RI sebagai tempat pengundangan merupakan sumber otentik naskah peraturan perundang-undangan.

Konsekuensinya, maka naskah yang termuat dalam Lembaran Negara RI yang berbeda dengan naskah yang disetujui, maka naskah yang harus dilaksanakan adalah naskah yang diundangkan. Sebagai contoh, rumusan pembukaan “Atas berkat rachmat Allah Jang Maha Koeasa...” dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No.7 dan LNRI Tahun 1959 No.75, adalah yang berlaku mengikat dan sebagai sumber otentik, meskipun tulis Hadjon dalam bukunya menurut Bonar Sidjabat, menurut notulen rapat PPKI, rumusan tersebut atas usul anggota I Goesti Ktoet Poedja dan disepakati oleh sidang telah diganti dengan rumusan lain yang berbunyi “Atas Berkat Rahmat Tuhan Yang Maha Esa”.

Menyangkut peraturan perundang-undangan apa saja yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI meliputi: Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden mengenai: 1. penggesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan internasional; dan 2. pernyataan keadaan bahaya. Selain itu juga yang diundangkan perataran perundang- undangan lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara RI (Pasal 46 ayat (1)). Sedangkan, peraturan perandang-undangan lain yang menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku harus diundangkan dalam Berita Negara RI (Pasal 46 ayat (2)).

Tambahan Lembaran Negara RI memuat penjelasan peraturan perandang-undangan yang dimuat dalam Lembaran Negara RI dan Tambahan Berita Negara RI memuat penjelasan peraturan perundang- undangan yang dimuat dalam Berita Negara RI (Pasal 47). Pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara RI atau Berita Negara R dilaksanakan oleh menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang peraturan perundang-undangan (Pasal 48). Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Daerah adalah Peraturan Daerah. Peraturan Gubernur, Peraturan Bupati/Walikota, atau peraturan lain di bawahnya dimuat dalam Berita Daerah. Pengundangan Peraturan Daerah dalam Lembaran Daerah dan Berita Daerah dilaksanakan oleh sekretaris daerah (Pasal 49).

Sedangkan, UU No. 10 Tahun 2004 menyatakan UUD 1945 ditempatkan dalam Lembaran Negara RI dan penempatan UUD 1945 dalam Lembaran Negara RI tidak merupakan dasar pemberlakuannya. Ditegaskan pula dalam penjelasan Pasal 3 Ayat (1) bahwa ketentuan ini menyatakan bahwa UUD 1945 berlaku sejak ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam praktek ketatanegaraan selama ini, peraturan perundang-undangan yang diundangkan tidak taat asas, begitu pula jenis perundang-undangan yang dikeluarkan. Bentuk Ketetapan MPR dan UUD 1945 sebelum perubahan dalam praktek juga pernah diundangkan dalam tempat resmi, meskipun tidak diatur harus diundangkan dalam tempat resmi. (Miftakhul Huda)

(Dimua di Majalah Konstitusi No. 45 Oktober 2010; Foto: www.pusakadaluang.blogspot.com)

1 komentar: