Rabu, 12 Januari 2011

Tim Investigasi, Upaya Membangun Kredibilitas MK

Sebagai sebuah lembaga peradilan yang baru dibentuk 13 Agustus 2003 lalu, dalam waktu yang relatif singkat, Mahkamah Konstitusi (MK) telah berhasil merebut perhatian masyarakat. Dari tahun ke tahun, perlahan tapi pasti MK mewujud menjadi lembaga tempat para pencari keadilan berkeluh kesah.

Walaupun pada kenyataaanya tidak semua kasus bisa diselesaikan oleh MK, tetapi kita dapat melihat bahwa setidaknya gejala tersebut memperlihatkan berseminya harapan masyarakat terhadap MK, sebagai lembaga yang dipercaya mampu menegakkan keadilan substanstif, keadilan yang diidam-idamkan masyarakat, yang selama ini dianggap jauh dari jangkauan.

Sekalipun demikian, MK tidak menutup mata atas tudingan-tudingan miring yang dialamatkan kepadanya. Sebut saja, tudingan bahwa MK tidak independen, atau isu berkeliarannya makelar kasus tukang jual-beli perkara. Sajauh ini, MK selalu berhasil membuktikan bahwa isu-isu tersebut tidak benar adanya.

Rupanya, isu-isu tersebut bukannya menyurut, melainkan kian ramai sejalan dengan membanjirnya perkara Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Kepala Daerah yang masuk ke MK. Sampai-sampai, pada pertengahan Oktober lalu, Ketua MK, Moh. Mahfud MD, perlu menggelar konferensi pers untuk menegaskan bahwa MK bersih dari praktik mafia perkara. Baik hakim maupun paniteranya tidak tersangkut kasus suap atau korupsi. “Sampai jam 12.46 tanggal 19 Oktober, kami bersih 100 persen!” tegas Mahfud.

Namun pernyataan Ketua MK itu berbuntut panjang, karena pengamat dan praktisi hukum, Refly Harun, menulis opini di harian Kompas, 25 Oktober 2010. Di bawah judul MK Masih Bersih? Refly mempertanyakan pernyataan Ketua MK tadi. Refly lantas menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke Papua. “Saya mendengar keluhan dari peserta pertemuan bahwa pilkada tidak perlu lagi. Biayanya terlalu besar, baik bagi penyelenggara maupun kandidat,” tulisnya. Para kandidat itu, tulis Refly, tidak hanya habis biaya banyak dalam Pemilukada, melainkan juga untuk bersengketa di MK. “Ada yang habis Rp 10 miliar-Rp 12 miliar untuk MK,” tulis Refly.

Selanjutnya Refly juga menyampaikan cerita soal negosiasi yang gagal untuk memenangi perkara. Menurut dia, ada orang yang bercerita bahwa seorang hakim MK meminta uang Rp 1 miliar kepada pemohon. Namun, pemohon yang calon gubernur tersebut hanya sanggup memberikan garansi bank. Karena garansi bank tersebut tak kunjung cair setelah menunggu sampai sore, akhirnya negosiasi gagal dan permohonan pun dicabut. Di bagian lain ia menulis, “Anggap saja tidak benar walau saya pernah melihat dengan mata kepala sendiri uang dollar AS senilai Rp 1 miliar, yang menurut pemiliknya akan diserahkan ke salah satu hakim MK.”

Meskipun opini tersebut tidak membuktikan apa-apa, namun isinya memberi kesan pembenaran akan adanya makelar perkara di MK. Refly sendiri, di akhir tulisannya memberi saran kepada Ketua MK, agar membentuk tim investigasi internal untuk mencari kebenaran soal isu-isu liar tersebut. Sebagai perbandingan, Refly tak lupa ia merujuk kasus Endin, pelapor kasus penyuapan tiga hakim, yang malah lebih dulu dipidanakan dengan tudingan pencemaran nama baik.

Nasib Refly tentu saja tidak sama dengan Endin. Sebab, Ketua MK bukan hanya menerima saran Refly untuk melakukan investigasi internal, melainkan lebih jauh dari itu, menunjuk Refly sebagai pihak eksternal untuk memimpin investigasi tersebut. “Demi tanggung jawab sebagai Ketua MK dan komitmen para hakim MK yang selalu bersikap akan menjamin kebersihan dari segala bentuk suap menyuap, maka MK akan mengangkat Refly sebagai ketua tim investigasi guna mengungkap kebenaran hal-hal yang dia saksikan dan lihat sendiri itu,” ujar Mahfud.

Penunjukan Refly, menurut Mahfud, bertujuan untuk menepis kecurigaan bahwa MK menyembunyikan fakta sesungguhnya. Terlebih lagi, tim investigasi tersebut juga beranggotakan tokoh-tokoh yang integritasnya tidak diragukan dari luas MK. Mereka adalah Adnan Buyung Nasution, Bambang Harimurty, Bambang Widjojanto, dan Saldi Isra. Kecurigaan sangat mungkin muncul manakala tim investigasi internal beranggotakan pejabat internal MK. Selain itu, Tim memiliki independensi, misalkan sampai untuk meminta keterangan kemanapun tanpa sepengetahuan MK.

Jika tim ini menemukan fakta adanya aliran suap kepada hakim MK, menurut Mahfud, MK akan membentuk Majelis Kehormatan Hakim. Sedangkan apabila ditemukan indikasi pidana, MK akan melanjutkan ke proses pidana. Sebaliknya, jika sinyalemen Refly itu tidak terbukti, Mahfud mempertimbangkan langkah pidana bagi Refly.

Langkah Ketua MK berkebalikan dengan pejabat-pejabat pada umumnya yang menanggapi tudingan miring dengan bantahan, atau membuat tim investigasi internal sekadar meredam kegaduhan namun hasil kerjanya tidak pernah diketahui publik. Sekali lagi, hal ini menunjukkan upaya MK menjadi lembaga yang kredibel dan menunjukkan masih ada lembaga penegak hukum yang benar-benar dipercaya yang bekerja dengan penuh kehormatan.

Selain itu, semua ini bagian untuk menjaga marwah MK, bagaimana suatu isu yang tidak benar jika terus menerus dihembuskan, lama kelamaan akan dianggap sebagai suatu kebenaran, padahal belum tentu benar. MK harus selalu melakukan kontrol di dalam. Dibutuhkan sistem yang kuat dan tidak mudah korup, penting saling mengawasi antar hakim, antar pegawai dan antara hakim dengan pegawai dan menjaga MK dari setiap upaya merusak wibawa dan kehormatan MK dengan upaya menyuap hakim atau pegawai. Jika akar MK kuat dan dalam menancap di dalam tanah, maka terpaan angin sekuat apapun tidak akan mampu menggoyahkannya. ***

Editorial Majalah Konstitusi No. 46, November 2010
Foto: Humas MK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar