Kamis, 10 Maret 2011

Hak Menyatakan Pendapat

Pasca perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memegang peranan penting dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Peran penting tersebut diberikan sebagai konsekuensi dari pergeseran model pemerintahan menjadi sistem presidensiil. Dalam sistem ketata negaraan yang baru ini, mekanisme kontrol dilakukan oleh DPR untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Demi menghindari pemerintahan yang otoriter, sebagaimana pernah dialami dalam sejarah republik, maka konstitusi memberi kewenangan yang besar kepada DPR.

Dalam rangka menjalankan fungsi pengawasan tersebut, berdasarkan Pasal 20A ayat (2) UUD 1945, DPR dibekali tiga hak, yakni hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Selain itu, anggota DPR memiliki hak mengajukan pertanyaan, hak menyampaikan usul dan pendapat, dan hak imunitas.

Mekanisme penggunaan hak-hak tersebut kemudian dirinci dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3). Namun, ternyata UU a quo dinilai malah mereduksi fungsi pengawasan DPR tersebut akibat berlakunya Pasal 184 ayat (4). Oleh karena itu, pada 12 Januari lalu Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan Pasal 184 ayat (4) UU No 27/2009 bertentangan dengan UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan mengikat.

Putusan MK tersebut mengabulkan permohonan uji materi UU MD3 yang diajukan oleh sejumlah anggota DPR, seperti Lily Chadidjah Wahid, Bambang Soesatyo, dan Akbar Faizal. Para Pemohon mempermasalahkan Pasal 184 ayat (4) yang mengatur ratio hak menyatakan pendapat harus mendapat persetujuan dari Rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit ¾ (tiga perempat), dengan persetujuan paling sedikit ¾ (tiga perempat) dari jumlah anggota DPR yang hadir.

Sementara, MK berpendapat, menurut sistem ketatanegaraan Indonesia, hak menyatakan pendapat ada yang bersifat umum (lex generalis) sebagaimana diatur dalam Pasal 20A UUD 1945; dan ada yang bersifat khusus (lex specialis) sebagaimana diatur dalam Pasal 7B UUD 1945. Mekanisme pengambilan keputusan pendapat DPR menurut Pasal 7B UUD 1945 dilakukan dalam sidang paripurna yang dihadiri paling sedikit 2/3 anggota DPR dan disetujui oleh paling sedikit 2/3 anggota DPR yang hadir.

Sedangkan Pasal 184 ayat (4) UU MD3, menurut MK, mengatur semua jenis hak menyatakan pendapat baik berdasarkan Pasal 20A UUD 1945 (lex generalis) maupun Pasal 7A dan Pasal 7B UUD 1945 (lex specialis). Semua jenis hak itu mencakup hak DPR untuk menyatakan pendapat atas kebijakan pemerintah, kejadian luar biasa, tindak lanjut hak interpelasi dan hak angket, serta dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum.

Karena itu, MK menilai Pasal 184 ayat (4) UU MD3 bertentangan dengan Pasal 7B ayat (3) UUD 1945, yang menyatakan usul pemberhentian presiden dan wakil presiden ke MK harus memperoleh 2/3 dukungan dari jumlah anggota DPR yang hadir. MK beralasan, Pasal 184 ayat (4) memunculkan penambahan syarat quorum dari 2/3 menjadi ¾, maupun syarat persetujuan keputusan DPR . Aturan tersebut tentu akan lebih mempersulit pelaksanaan hak menyatakan pendapat, khususnya hak usul pemberhentian presiden dan wakil presiden ke MK. Dengan sendirinya, pasal tersebut akan mempersulit pelaksanaan hak dan kewenangan konstitusional DPR.

Ketentuan tersebut, menurut MK, juga bisa mengakibatkan DPR tidak efektif melaksanakan fungsi pengawasan terhadap Presiden, sehingga tidak sejalan dengan sistem checks and balances yang dianut dalam UUD 1945. Lebih tegas, MK menyatakan bahwa aturan itu dapat mengakibatkan terjadinya pelanggaran dalam proses kontrol terhadap Presiden dan Wakil Presiden yang merupakan pelemahan terhadap demokrasi.

Dengan pertimbangan di atas, MK menyatakan bahwa syarat pengambilan keputusan DPR untuk usul menggunakan hak menyatakan pendapat mengenai dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden melakukan pelanggaran hukum, tidak boleh melebihi batas persyaratan yang ditentukan oleh Pasal 7B ayat (3) UUD 1945.

Bahkan, menurut MK, persyaratan jenis hak menyatakan pendapat atas kebijakan Pemerintah, kejadian luar biasa, dan tindak lanjut pelaksanaan hak interpelasi dan hak angket, harus lebih ringan dibanding persyaratan pendapat DPR terkait Pasal 7B ayat (3) UUD 1945. Karena itu, dengan tidak berlakunya ketentuan Pasal 184 ayat (4) UU MD3, MK memutuskan ketentuan persyaratan pengambilan keputusan mengenai “usul” penggunaan hak menyatakan pendapat berlaku ketentuan mayoritas sederhana.
Bagi ketatanegaraan Indonesia, putusan MK kali ini merupakan kado awal tahun, karena MK telah mengembalikan fungsi pengawasan DPR pada koridor konstitusi. Di sisi lain, MK tidak hanya menyatakan bahwa ketentuan undang-undang yang mereduksi fungsi pengawasan DPR itu tidak berlaku, melainkan mempermudah mekanisme hak menyatakan pendapat.

Melalui putusan ini MK kembali mengingatkan bahwa hukum tidak boleh dibuat, ditetapkan, ditafsirkan dan ditegakkan dengan tangan besi berdasarkan kekuasaan belaka (Machtstaat. Prinsip negara hukum tidak boleh ditegakkan dengan mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi yang diatur dalam konstitusi. Sebab, puncak kekuasaan hukum diletakkan pada konstitusi yang pada hakikatnya merupakan dokumen kesepakatan tentang sistem kenegaraan tertinggi.**

(Editorial Majalah Konstitusi No.48-Januari 2011/ Foto: media indonesia/ANTARA/Yudhi Mahatma)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar