Kamis, 24 Maret 2011

Memahami Kudeta (Coup d'Etat)

Istilah kudeta (coup d'etat) akhir-akhir ini banyak digunakan berbagai media. Kata ini memang menakutkan dan di benak kita di depan mata ada sepasukan orang berseragam melakukan pemberontakan atas penguasa sah. Bagaimana arti kudeta sebenarnya?

Tulisan saya berjudul “Coup d’Etat” di blog ini pada 29/8/2010, menunjukkan gambaran diatas tidak sepenuhnya salah. Mengacu pendapat Moh Yamin dalam bukunya Sapta Dharma (Patriotisme Indonesia), edisi Medan, tanpa tahun, berdasar pengertian dan sejarah kudeta, ia mengatakan syarat-syarat Coup d’Etat adalah: 1. Arbitrary stroke of policy (tindakan politik atas kekuasaan sendiri. 2. Bersifat: suddenly, violently dan illegally (dengan tiba-tiba dengan kekerasan dan melanggar hukum). 3. Dilaksanakan oleh kekuasaan yang berkuasa (the ruling power), 4. Mengabaikan hak istimewa bagi badan politik yang lain (the prerogatives of other parts of the body politic).

Dari syarat ini bisa digambarkan lebih jelas apa itu kudeta? Memang kudeta tidak mensyaratkan penggunaan kekuatan militer, tetapi biasanya memang melakukan itu. Kudeta dilakukan tidak dengan waktu lama dan dengan cara-cara kekerasan. Selain itu, kudeta dilakukan bukan oleh orang di luar kekuasaan. Jadi, sepanjang apa yang dilakukan sesuai hukum tanpa kekerasan, maka itu bukan termasuk kudeta.

Asvi Warman Adam dalam ”Kudeta Dalam Sejarah Indonesia”, Jawa Pos (6/9/2006), berdasar teori Edward Luttwak, menggambarkan perbedaan antara putsch, pronounciamiento, dengan Coup d’Etat. Yang pertama dilakukan satu faksi angkatan darat, yang kedua oleh seluruh tentara, sedang yang terakhir selain militer bisa pula melibatkan orang sipil.

Yang menarik, kudeta membutuhkan intervensi massa atau kekuatan bersenjata besar. Prasyarat kudeta adalah: a) krisis ekonomi berkepanjangan diikuti pengangguran besar-besaran, b) perang yang lama atau kekalahan besar dalam bidang militer/diplomatik, c) instabilitas kronis di bawah sistem multipartai.

Kudeta mengandalkan kecepatan. Perlu penetrasi penuh kekuatan yang bisa menentang gerakan ini sebelum dan segera setelah kudeta, baik terhadap tentara, polisi, partai, organisasi kegamaan, serikat perkerja dan lainnya. Fasilitas strategis harus segera dikuasai, misalkan media cetak, TV, radio, bandara udara, jalan-jalan strategis, titik sentral perdagangan. Simbol-simbol negara, misalkan istana juga menjadi objek sasaran, untuk menunjukkan bahwa kekuasaan telah ditaklukkan, dan munculnya tank-tank di tengah kota sebagai simbol kudeta.

Lebih jauh, Samuel P. Huntington sesuai sumber Wikipedia mengidentifikasi kudeta menjadi tiga kelas yakni: Breakthrough coup d'état. Kudeta ini dilakukan sekelompok bersenjata yang dapat terdiri dari militer atau tentara yang tidak puas dengan kebijakan pemerintahan tradisional. Gerakan ini bertujuan untuk menggulingkan pemerintah tradisional dan kemudian menciptakan elit birokrasi baru.

Selanjutnya Guardian coup d'état disebut: “the " musical chairs " coup d'état”. Kudeta ini dilakukan oleh sekelompok orang yang bertujuan seperti pada umumnya mengumumkan diri sebagai penjaga untuk meningkatkan ketertiban, efisiensi, dan mengakhiri korupsi, akan tetapi pada kenyataan tidak akan ada perubahan mendasar. Kudeta ini sering merubah dari pemerintahan sipil kepada bentuk pemerintahan militer. Sebuah kudeta tak berdarah biasanya timbul dari kudeta Guardian d'état ini.

Sedangkan Veto coup d'état, dilakukan dengan melalui partisipasi dan mobilisasi sosial sekelompok massa rakyat dalam melakukan penekanan skala besar berbasis luas pada oposisi sipil.

Kudeta sukses bila sebelumnya dapat melakukan konsolidasi dalam membangun legitimasi sebagai persetujuan dari rakyat serta telah mendapat dukungan atau partisipasi dari pihak sipil maupun militer atau kelompok bersenjata.

Dari sisi hukum konstitusi, kudeta jika berhasil dan dapat mempertahankan kekuatannya, maka kekuasaanya pada akhirnya dianggap sah menurut hukum meskipun melalui kudeta atau revolusi. Bahkan penguasa dapat mengganti atau merubah konstitusi dan paraturan yang berlaku. Oleh karenannya, dikenal juga cara perubahan konstitusi melalui cara diluar konstitusi, antara lain kudeta. Namun, jika kudeta gagal, maka pelakunya akan dipenjarakan sebagai pelaku kriminal yang sangat berat hukumannya dan pasti kudeta menimbulkan korban berdarah.

Intinya semua butuh dukungan rakyat. Tapi alangkah baiknya menggunakan cara-cara konstitusional dalam menuntut perubahan apapun. Pemerintah yang lahir dari cara kekerasan biasanya juga akan tumbang dengan cara kekerasan pula. Demokrasi bisa melahirkan kudeta, akan tetapi kudeta akan menciptakan kudeta-kudeta baru.

Semoga kudeta tidak akan terjadi di Indonesia, kecuali tidak ada cara yang lain lagi menuju perubahan meskipun seluruh rakyat menghendakinya. Masih banyak cara menuju keadilan bagi seluruh rakyat indonesia.

Oleh Miftakhul Huda, Praktisi Hukum
Catatan: Tulisan ini menyadur sana-sini ini semoga berguna saja.

Foto: Wikipedia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar