Minggu, 26 Juni 2011

Hukum Transitoir


Apabila terjadi pergantian atau perubahan sebuah konstitusi atau undang-undang (UU) atau peraturan lainnya, maka timbullah persoalan-persoalan tentang badan-badan atau jabatan-jabatan dan juga sekaligus bagaimana dengan peraturan-peraturan yang keberadaannya berdasarkan konstitusi atau peraturan lama.

Jabatan-jabatan atau badan tersebut mungkin ditiadakan berdasarkan peraturan baru atau jabatan tersebut masih dipertahankan, akan tetapi dengan susunan dan wewenang berbeda. Dasar sebuah peraturan bisa saja mendasarkan diri pada konstitusi atau UU yang lama, tetapi kemungkinan juga bertentangan dengan asas-asas atau norma yang baru diberlakukan.

Apakah hanya dibiarkan atau perlu tindakan-tindakan pengaturan yang mengalihkan, baik jabatan atau produk-produk jabatan tersebut ke dalam suasana baru berdasarkan konstitusi atau UU yang baru? Semua pertanyaan ini, diperlukan pengaturan bagaimana tindakan-tindakan yang mengatasi atau menampung atas jabatan-jabatan tersebut atau peraturan tersebut. Tentu, tidak mungkin membiarkan begitu saja peraturan dan jabatan yang ada yang merupakan akibat dari perubahan atas ketentuan yang lama tersebut.

Aturan-aturan yang mengatur peralihan dari keadaan lama kepada keadaan baru tersebut biasa disebut dengan hukum transitoir atau juga hukum peralihan(Boedisoesetya,1960: 96-101), atau Kusumadi Pudjosewojo(1976: 77-78), menyebutnya dengan istilah hukum antara-waktu atau hukum intertemporal. Jika hukum transitoir dikaitkan dengan perubahan konstitusi, adalah mengatur akibat peralihan dari sistem norma-norma hukum lama yang mendasarkan konstitusi lama kepada sistem norma hukum baru yang berdasarkan konstitusi baru (G. J. Wolhoff, 1955: 23).

Jika jabatan lama ditiadakan oleh peraturan yang baru, tugas dan fungsi jabatan tersebut bisa benar-benar ditiadakan (penghapusan fungsi) dan bisa berarti juga tugas dan fungsinya masih ada, akan tetapi tidak dilaksanakan oleh jabatan lama (pengalihan fungsi). Atau bisa saja jabatan atau badan yang dihapuskan memiliki sisa-sisa yang berupa hak dan kewajiban dan mungkin juga memiliki harta kekayaan sebagai badan hukum, misalkan kalau badan tersebut dihapus siapa yang berwenang atas harta kekayaannya atau siapa yang berwenang mengeluarkan ijin jika sebelumnya jabatan tersebut yang memberikan. Jadi peraturan yang baru yang menggantikan atau merubahan peraturan lama tersebut harus memuat aturan-aturan yang dinamakan hukum peralihan yang mengatur akibat-akibat peraturan yang lama tadi.

Sifat hukum peralihan tergantung bagaimana peraturan yang baru menghadapi peraturan yang lama yang dibedakan dengan tiga jenis. Pertama, peraturan baru tersebut menghormati peraturan lama tersebut. Peraturan yang baru itu mengakui segala yang timbul karena peraturan yang lama itu. Tetapi hal yang baru terjadi harus diselesaikan menurut peraturan yang baru. Kedua, peraturan baru bersikap mengesampingkan sama sekali peraturan yang lama. Hal-hal yang ditimbulkan oleh peraturan yang lama harus diperbarui menurut peraturan yang baru atau aturan baru memiliki daya exelusif terhadap aturan lama. Ketiga, peraturan baru dapat pula diberlakukan surut, atau diberlakukan mulai saat sebelum dari pada saat peraturan ditetapkan. Dengan demikian, maka segala akibat berdasarkan peraturan yang lama tidak diakui sama sekali (Boedisoesetya: 100).

Mengenai pemberlakuan surut, misalkan Pasal 2 ayat (2) UU Federal No.7 Tahun 1950 memberlakukan surut norma UUDS 1950 jika sebelum tanggal 17 Agustus 1950 telah dilakukan tindakan-tindakan konstitusional berdasarkan ketentuan-ketentuan itu. Selanjutnya, terkait bagaimana perlakuan atas peraturan lama, UUD 1945 sebelum amandemen menyatakan, “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini” (Pasal II). Berbeda sekali dengan sistem UUDS 1950, bahwa peraturan dan jabatan-jabatan masih berlaku dan dinyatakan: “…dilanjutkan sampai diganti yang lain menurut Undang-undang Dasar, kecuali jika melanjutkannya itu berlawanan dengan ketentuan-ketentuan baru dalam Undang-undang Dasar yang tidak memerlukan peraturan undang-undang atau tindakan-tindakan pelaksanaan yang lebih lanjut.”

Sedangkan UUD 1945, juga diatur, bahwa PPKI mengatur dan menyelenggarakan kepindahan pemerintahan kepada Pemerintah Indonesia (Pasal I). Sedangkan terkait Presiden dipilih oleh MPR, akan tetapi dalam pertama kalinya, UUD 1945 mengatur dalam Pasal III bahwa, ”Untuk pertama kali Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.” Selanjutnya, Pasal IV juga menyatakan, “Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah komite nasional.” Hal ini semua dilakukan karena lembaga-lembaga yang dibentuk belum berdiri sementara aturan telah ditetapkan dan lembaga-lembaga lama berdasar ketentuan lama masih bertugas.

Jika dibandingkan dengan ketentuan peralihan UUD 1945 setelah perubahan, Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 menyatakan, “Segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Mengenai pengaturan jabatan lama, Pasa lII menyatakan, “Semua lembaga negara yang ada masih tetap berfungsi sepanjang untuk melaksanakan ketentuan Undang-Dasar dan belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”. Selain itu, keberadaan MK juga diatur dalam aturan peralihan, yaitu, ”Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada 17 Agustus 2003 dan sebelum dibentuk segala kewenangannya dilakukan oleh MahkamahAgung.”

Pengaturan untuk mengantarkan dari kondisi lama kepada kondisi baru ini penting. Karena kesalahan dalam mengatur hal ini, maka akan terjadi kekosongan hukum. Misalkan saja pasca amandemen, Dewan Pertimbangan Agung ditiadakan, bagaimana keputusan yang dikeluarkan saat konstitusi ditetapkan atau lembaganya otomatis bubar atau keputusannya tidak sah atau tidak perlu diatur. Tidak hanya itu saja, akan tetapi juga bagaimana kedudukan kelembagaan lembaga yang ditiadakan tersebut, jabatan-jabatan yang mengemban berdasarkan aturan masih mengemban jabatan, misalkan keanggotaannya belum selesai, apakah langsung berhenti dan sebagainya perlu diatur dalam aturan peralihan. Semuanya perlu pengaturan yang jelas dan tegas dalam hukum peralihan ini. Selain itu, eksistensi utusan golongan MPR yang ditiadakan, setelah amandemen, maka bagaimana dengan status utusan golongan yang masih bekerja di MPR, hal-hal ini semua menjadi materi hukum peralihan.

Selanjutnya, keberadaan Ketetapan MPR dalam praktik sejak 1960 menjadi produk MPR, akan tetapi setelah perubahan UUD 1945, Ketetapan MPR tidak diakomodir lagi, maka bagaimana akibatnya bagi produk tersebut yang masih berlaku dan bagaimana cara penyelesaiannya. Oleh karena peraturan sudah ditiadakan lagi, produk MPR bisa dirumuskan dalam ketentuan peralihan dalam UUD. Karena tanpa kejelasan mengatur akibat-akibat hukumnya, maka akan menimbulkan kekacauan dalam pelaksanaan dan proses ketatanegaraan.(Miftakhul Huda)

Tulisan ini dimuat di Majalah Konstitusi No.49 Februari 2011
Foto: sindromedia.co.cc

Tidak ada komentar:

Posting Komentar