Selasa, 28 Juni 2011

Penyadapan versus Hak Privasi

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali tampil memperlihatkan keberpihakannya terhadap hak asasi manusia. MK menyatakan bahwa penyadapan atau intersepsi merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak privasi yang bertentangan dengan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Sekalipun demikian, menurut MK, hak privasi merupakan hak asasi manusia yang dapat dibatasi (derogable rights). Tetapi, pembatasan hak privasi tersebut hanya dapat dilakukan dengan UU, sebagaimana ketentuan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Pendapat Mahkamah tersebut merupakan jantung dari Putusan Nomor 5/PUU-VIII/2010 yang dibacakan majelis hakim konstitusi yang dipimpin Ketua MK Mahfud MD, 24 Februari lalu. Putusan atas permohonan uji materi Pasal 31 ayat (4) Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) tersebut, diajukan oleh tiga pemohon. Mereka adalah Anggara, Supriyadi Widodo Eddyono, dan Wahyudi.

Pemohon meminta agar MK mencabut Pasal 31 ayat (4) UU ITE, yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.”


Pemohon meminta agar MK mencabut Pasal 31 ayat (4) UU ITE, yang menyatakan, “Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara intersepsi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.” Pemohon berdalil, ketentuan tersebut bertentangan dengan Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Sebenarnya sudah tiga kali MK memutus perkara soal penyadapan. Pada akhir 2003, pasal penyadapan pernah pula dipersoalkan di MK. Ketika itu, sebagai pemohon, sebenarnya Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) mengajukan permohonan uji formil atas pembentukan Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun, di dalam petitumnya terselip permintaan agar MK membatalkan sejumlah kewenangan KPK.

Salah satu kewenangan yang dimaksud adalah Pasal 12 Ayat (1) huruf a UU KPK, yang menyatakan, “Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembiacaraan.” Ketika itu pemohon mendalilkan bahwa penyadapan dan merekam pembicaraan bertentangan dengan hak asasi manusia karena melanggar hak privasi.

Pada 30 Maret 2004, MK menolak permohonan tersebut. Dalam pertimbangan hukum Putusan Nomor 006/PUUI/2003 tersebut MK menyatakan, penyadapan dan perekaman pembicaraan merupakan pembatasan terhadap hak-hak asasi manusia. Pembatasan demikian, menurut MK, hanya dapat dilakukan dengan undang-undang, sebagaimana ditentukan oleh Pasal 28J ayat (2) UUD 1945.

Selanjutnya, dalam pertimbangan hukum tersebut MK menggariskan pokok-pokok yang harus termuat dalam undang-undang itu kelak. Undang-undang itu, menurut MK, harus merumuskan, antara lain, pihak yang berwenang mengeluarkan perintah penyadapan dan perekaman setelah diperoleh bukti permulaan yang cukup. Artinya, penyadapan dan perekaman pembicaraan itu untuk menyempurnakan alat bukti, atau justru untuk mencari bukti permulaan yang cukup. Sedangkan untuk menghindari penyalahgunaan wewenang yang melanggar hak asasi, sesuai dengan perintah Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, semua itu harus diatur dengan undang-undang.

Pertimbangan hukum tersebut kembali dikutip oleh MK dalam Putusan Nomor 012-016-019/PUU-IV/2006 pada 19 Desember 2006. Ketika itu, Mulyana W. Kusuma, mengajukan permohonan uji materil Pasal 12 Ayat (1) huruf a UU KPK karena ia merasa hak konstitusionalnya dirugikan akibat pemberlakuan pasal tersebut.

Dalam putusan terbaru yang membatalkan Pasal 31 ayat (4) UU ITE tersebut, MK sengaja mengingatkan kembali akan kedua putusan tadi. Jadi, jauh sebelum UU ITE berlaku pada 2008, sebenarnya MK sudah menggariskan bahwa penyadapan merupakan pelanggaran hak privasi dan oleh sebab itu harus diatur dengan undang-undang. Namun kemudian, pada 2008, justru muncul ketentuan undang-undang yang memerintahkan tata cara penyadapan diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bahkan, ketika permohonan pengujian UU ITE diajukan pada awal 2010, pemerintah sudah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Tata Cara Intersepsi. Lahirnya RPP tersebut mengundang kontroversi dan dianggap akan melemahkan upaya pemberantasan korupsi oleh KPK. Apalagi pada saat itu, MK baru saja memerintahkan KPK untuk membuka rekaman percakapan Anggodo Widjojo yang mengungkap praktek mafia hukum di Indonesia.

Peraturan Pemerintah (PP) tidak dapat mengatur pembatasan hak asasi manusia. Bentuk PP hanya pengaturan administratif dan tidak memiliki kewenangan untuk menampung pembatasan hak asasi manusia


Karena itu, kali ini MK menegaskan, Peraturan Pemerintah (PP) tidak dapat mengatur pembatasan hak asasi manusia. Bentuk PP hanya pengaturan administratif dan tidak memiliki kewenangan untuk menampung pembatasan hak asasi manusia.

Saat ini penyadapan diatur dalam lima undang-undang dan satu peraturan menteri. Akibatnya, tidak ada pengaturan yang baku sehingga rentan terhadap penyimpangan. Karena itu, menurut MK, diperlukan sinkronisasi yang hanya dapat dilakukan oleh peraturan setingkat undang-undang.

Untuk memastikan keterbukaan dan legalitas penyadapan, tata cara penyadapan tersebut harus diatur dengan undang-undang. Di dalamnya harus memuat syarat-syarat penyadapan, antara lain, ada otoritas resmi yang ditunjuk undang-undang untuk memberikan izin penyadapan. Kemudian ada jaminan jangka waktu penyadapan. Lalu, ada pembatasan penanganan materi hasil penyadapan. Terakhir, ada pembatasan orang yang dapat mengakses penyadapan.

Rambu-rambu tersebut diharapkan dapat menjadi pedoman bagi pembentuk undang-undang. Dengan demikian, tindakan penyadapan memenuhi syarat untuk dikecualikan dari tuntutan hukum atas pelanggaran hak asasi manusia.**

Sumber: Editorial Majalah Konstitusi No.49 Februari 2011/ Foto: politik.kompasiana.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar