Sabtu, 23 Juli 2011

Ancaman Recall dan Kedaulatan Parpol



Oleh Miftakhul Huda*

Lily Wahid dan Effendi Choirie (Gus Choi) dipecat dari keanggotaan DPR berdasarkan usulan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) melalui Pergantian Antar Waktu (PAW). Kebijakan partai melalui PAW atau tepatnya recall ini ditengarai atas sikap kontroversialnya selama ini.

Sebelumnya Lily-Gus Choi menolak pembentukan pansus hak angket perpajakan DPR yang akhirnya kandas dalam voting lembaga ini, Selasa (22/2). Lily pada pengambilan keputusan pembentukan pansus hak angket Century juga mengambil sikap bersebrangan dengan fraksinya. Ia memilih opsi C (ada kesalahan bail out Bank Century) saat seluruh anggota fraksinya memilih opsi A (tiada kesalahan).

Sikap yang dianggap“membangkang” ini membuat gerah petinggi PKB. Ancaman recall sudah dihembuskan jauh sebelumnya hingga akhirnya dijatuhkan sanksi tersebut. Namun, keduanya tidak bergeming di jalan bahaya dengan sikap politiknya dengan dalih berdasar kehendak rakyat yang diwakilinya, meskipun tidak sejalan dengan partainya. PKB sendiri berpandangan keduanya selama 1, 5 tahun banyak melakukan pelanggaran. Apakah ini pertanda kembalinya kedaulatan partai?

Ancaman

Sejarah orde baru telah menunjukkan hak recall merupakan sebuah ancaman yang tidak main-main. Partai berposisi sentral untuk mengontrol anggotanya di parlemen dengan sanksi pemberhentian setiap saat. Hak ini selama ini digunakan untuk membungkam sikap kritis anggota DPR yang justru membeo kebijakan pemerintah. Hegemoni partai turut melanggengkan kekuasaan orde baru tetap berkuasa.

Hak ini selama ini digunakan untuk membungkam sikap kritis anggota DPR yang justru membeo kebijakan pemerintah.


Sikap berbeda yang berujung recall pernah terjadi atas Sri Bintang Pamungkas (PPP) dan Bambang Warih Kusumo (Golkar) atau Raja Kami Sembiring Meliala (ABRI). Semasa reformasi, dengan alasan lebih rasional terjadi atas Azzidin (Partai Demokrat) dengan alasan catering haji, Marissa Haque (PDI-P) karena maju sebagai Wakil Gubernur, Djoko Edhi Sutjipto Abdurrahman (PAN) karena Ikut studi banding RUU Perjudian ke Mesir, dan Zaenal Ma'arif (PBR) karena isu Poligami. Memang kasus recall tidak dapat diseragamkan sebagai ancaman bagi sikap kritis, tp fakta ini menunjukkan partai punya otoritas penting atas anggotanya di parlemen.

Sejatinya hak recall dalam perundang-undangan masih diakomodir. Mahkamah Konstitusi (MK) sendiri atas permohonan Djoko Edhi saat pengujian konstitusionalitas ketentuan recall, dengan perbandingan 5: 4, pada 2006 memutus recall tidak melanggar konstitusi. Peran sentral partai menjadi pertimbangan utamanya. Sedangkan terkait pelanggaran Anggaran Dasar/ Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebuah partai yang bisa berakibat diberhentikan antarwaktu kader partai dari DPR, lembaga ini menegaskan tidak dapat menilai konstitusionalitasnya karena bukan norma undang-undang.

Praktik selama ini recall digunakan sembarangan. Meskipun secara teoritis, recall masih diperlukan untuk menegakkan kode etik dan kebijakan partai dalam sistem pemerintahan apapun. Akan tetapi pengaturan pemberhentian anggota DPR sebelum habis masa jabatannya ini rentan ditafsirkan luas dan menjadi senjata ampuh pimpinan partai bertindak sewenang-wenang. Pimpinan parpol akhirnya pemegang kendali nasib anggotanya di parlemen, sehingga faktor like and dislike akan dominan.

Daulat Rakyat?

Berdasarkan aturan lama (UU No. 22/ 2003 tentang Susduk dan UU No. 31 Tahun 2002 tentang Parpol) maupun ketentuan baru (UU No. 27/2009 tentang MD3 dan UU No. 2/2008 tentang Parpol), memang ketentuan PAW tidak mengalami perubahan. Berbagai perubahan ke arah meneguhkan kedaulatan rakyat, mestinya perlu ditinjau kembali seluruh produk hukum yang mengatur sistem pemilihan, sitem perwakilan, hubungan wakil dengan yang diwakili (parpol) dan sistem pemberhentian yang adil dan melalui proses demokratis.

Namun, sesungguhnya terpilihnya seseorang di parlemen bukanlah karena diangkat atau ditunjuk partai, melainkan terpilih karena pilihan langsung rakyat sendiri untuk duduk di lembaga perwakilan.


Partai sebagai peserta pemilu legislatif memang berkontribusi dalam mencalonkan kader-kader. Namun, sesungguhnya terpilihnya seseorang di parlemen bukanlah karena diangkat atau ditunjuk partai, melainkan terpilih karena pilihan langsung rakyat sendiri untuk duduk di lembaga perwakilan. Masih bisa diterima akal sehat, misalkan seseorang menduduki jabatan karena diangkat, kemudian organ yang mengangkat dapat menarik wakilnya sewaktu-waktu.

Dengan sistem pemilu proporsional daftar terbuka sejak pemilu 2004, logikanya hak recall ditiadakan atau diperketat. Karena yang menentukan calon terpilih suara rakyat sendiri. Hak recall sempat ditiadakan, tetapi hanya saat panasnya era reformasi pada pemilu 1999 justru menganut sistem proporsional murni yang sama juga dianut selama pemilu orde baru (1971-1997).

Telah menjadi komitmen bersama bahwa sistem yang dibangun mengisi jabatan-jabatan publik utamanya DPR melalui pemilu secara luber dan jurdil serta akuntabel. Dalam sistem penetapan caleg, MK telah membuat terobosan menyatakan penetapan calon DPR berdasarkan suara terbanyak, bukan nomor urut. Putusan ini sebenarnya jalan mengembalikan kedaulatan rakyat pada tempatnya. Pilihan rakyat tidak bisa dinegasikan kepentingan apapun, termasuk oleh partai, termasuk pemimpinnya.

Dalam teori hubungan rakyat-wakil, antara rakyat dengan wakilnya di parlemen setelah pemilu hubungannya tidak terputus. Wakil juga tidak dapat bertindak sesukanya. Hubungan wakil dengan yang diwakilinya melekat sampai jabatannya selesai. Kita tentu menolak tipologi Gilbert Abcarian, bahwa wakil rakyat hanya “partisan”, artinya setelah terpilih, lepas hubungannya dengan pemilih dan rakyat telah memberikan kuasa si wakil secara penuh untuk melakukan apapun. Harapan ke depan, para wakil rakyat adalah sebagai “delegates representation", dimana mereka melakukan kebijakan-kebijakannya sesuai preferensi konstituen dan bukan partai.

Setelah menjabat, mestinya kepentingan rakyat/ konstituen lebih diutamakan. Menarik seperti dikatakan Manuel Luis Quezon (1878-1944), Presiden I Philippina (1935-1944), yang di masa hidupnya pernah menjabat Ketua Senat Phillipina (1916-1935), seperti dikutip H.M. Laica Marzuki (2006), ia berkata “My loyalty to my party ends, where my loyalty to my country begins”. Ini menunjukkan bagaimana politisi harus bersikap setelah menjabat.

Due Process of Law

Kalaupun hak recall dipertahankan dalam sistem kita, seharusnya dirumuskan tanpa celah hukum. Karena hukum tidak diperkenankan memberikan blangko kosong partai mengisinya. Sanksi pemberhentian mesti benar-benar dirumuskan agar tidak mudah disalahgunakan siapapun. Recalling oleh partai politik atas anggotanya yang duduk di DPR dengan alasan pelanggaran AD/ART yang subjektif untuk dibatasi dengan hukum negara dan mekanisme yang menjamin proses hukum yang adil (due process of law)

Recalling oleh partai politik atas anggotanya yang duduk di DPR dengan alasan pelanggaran AD/ART yang subjektif harus dibatasi dengan hukum negara dan mekanisme yang menjamin proses hukum yang adil (due process of law)


Korban recall meski dapat menuntut ke pengadilan, namun program dan kebijakan partai sebagai alat uji pelanggaran seseoran rentan untuk ditafsirkan hakim secara tekstual dan keluar dari keadilan dan tujuan demokrasi.

Hak yang dimiliki partai dalam undang-undang ini justru berkebalikan dengan mekanisme pemberhentian karena alasan-alasan selain yang diusulkan partai politik (antara lain: melanggar kode etik, vonis bersalah pengadilan, mangkir, tidak memenuhi syarat), yaitu melalui proses penyelidikan dan verivikasi oleh Badan Kehormatan DPR, rapat parupurna dan lain sebagainya. Mekanisme ini lebih memberikan jaminan proses yang lebih adil dan menghormasi asas praduga tak bersalah seseorang.

Selain itu, hak recall jika digunakan, partai harus bertanggung jawab kepada publik menjelaskan alasannya, utamanya kepada konstituen yang memilihnya. Sebab, warga negara meskipun telah memilih wakil-wakilnya dalam pemilu secara langsung, masih memiliki kedaulatan dengan hak dan kebebasan politik yang telah dijamin konstitusi. Kedaulatan rakyat sesungguhnya tidak tergantikan oleh hak partai politik.

* Praktisi Hukum, Koordinator Paguyuban Hukum Taat Asas

(Tulisan ini ditulis pada 23 Maret 2011/ Sumber Foto:m.mediaindonesia.com/ thegusdurians.blogspot.com/modernghana.com)

2 komentar:

  1. mokasih bana pemikirannyo da,. Like It. seburuk-buruknya seorang anggota dewan tu, inyo tetap dipiliah rakyat. jan sakandak hati elite nyo se mecat2 urg mntang2 anggotanyo. urang ko jadi anggotanyo bukan layaknyo karyawan yg digaji inyo, tapi urg ko sebagai anggota sebatas t4 samo2 bakumpua. tolong juo diingatkan sakali lai ka urang rami da,. yang menggaji para anggota dewan ko RAKYAT.

    BalasHapus
  2. Di negara yang Demokrasinya Maju hak Recall anggota dewan itu tidak ditangan Partai, tapi ditangan Warga Dapil. Sehingga Anggota Dewan Terpilih benar-benar menyuarakan suara Pemilih mereka. Pemilih bisa saja mengajukan Recall kalau mereka merasa anggota Dewan asal Dapil mereka setuju dengan UU/Perda/APBD yang warga Dapil jelas2 menolak. Inilah titik lemah demokrasi kita, karena tidak adanya fungsi kontrol warga ke anggota Legislatif, maka Legislatif juga tidak melakukan fungsi kontrol ke Eksekutif. Ini juga yang menyebabkan jeleknya sinergi pemerintahan Daerah, karena Anggota DPRD yang notabene bawahan Partai tentu mementingkan kepentingan Partai daripada kepentingan Daerah mereka. Di sistem dimana Hak Recall dipegang oleh warga Dapil, anggota Dewan akan dipaksa bersinergi dengan Pemda/Pemerintah selama Pemerintah masih berkerja demi Kepentingan Daerah. Skandal Politik, Rumah tangga, dan isu Suap bisa jadi alasan Recall oleh warga, di sistem ini anggota Dewan benar2 akan menjaga sikap dan rela mengundurkan diri ketika tertimpa Isu sebelum warga mengeluarkan hak recall mereka. Dan dinegara maju, hak Recall ini tidak cuma kepada anggota DEwan, tapi kepada jabatan2 publik lainnya.

    BalasHapus