Minggu, 21 Agustus 2011

Tafsir Ulang Capres Independen

Miftakhul Huda*

Dukungan masyarakat sangat besar atas keberadaan calon presiden dan wakil presiden melalui jalur perseorangan atau terkenal pula dengan capres independen.

Burhanuddin Muhtadi dalam “Calon Presiden Independen”, (Kompas, 1/4/), menyatakan hal itu sesuai temuan Lembaga Survei Indonesia pada 2007. Kondisi saat itu dibanding sekarang kurang lebih sama atau bisa jadi saat sekarang semakin menguatnya dukungan atas calon dari jalur non-parpol itu.

Pasalnya, faktor-faktor yang memengaruhi pilihan atas calon independen masih sama dengan yang lalu, yaitu: kekecewaan atau ketakpuasan terhadap pelaksanaan demokrasi, rendahnya kepercayaan publik terhadap parpol dan semakin terdidiknya warga maka dukungan semakin kuat.

Gejala deparpolisasi ini mendorong calon independen ini selalu muncul sebagai alternatif. Lantas, masih adakah jalan konstitusional bagi capres independen?

Pemicu
Memahami calon independen, tidak bisa dilepaskan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka peluang calon dari luar partai politik. Namun, calon independen sebatas diperkenankan dalam pemilu kepala daerah (pemilukada), sehingga seorang kandidat tidak akan terganjal dengan “restu” dan “kendaraaan” partai untuk bisa berkompetisi dalam demokrasi lokal ini.

Calon independen diakui merupakan “berkah” UU Pemerintahan Aceh (PA) yang mengakomodir jalur non-parpol sebatas di Aceh. Selanjutnya oleh MK digunakan sebagai dasar bahwa seorang calon perseorangan yang dilakukan dalam Pemilukada di Aceh tidak bertentangan dengan konstitusi. Calon perseorangan di Aceh memberikan peluang pembentuk undang-undang dalam pelaksanaan pemilu untuk lebih demokratis.

Namun, UU PA sendiri hanya mengatur diberlakukan hanya sekali sejak diundangkan. Itu artinya peluang ini hanya sekali saja dan tidak untuk seterusnya. Irwandi - Nazar akhirnya terpilih sebagai gubernur Aceh dari jalur perseorangan buah peluang itu. Dalam perkembangannya, pada akhir 2010, MK dalam putusannya membuka seluas-luasnya calon independen dalam pilkada Aceh.

Namun, beberapa terobosan ini tidak berlaku untuk pemilu presiden dan wakil presiden (pilpres). Hal ini terjadi karena MK pada Februari tahun yang lalu menolak permohonan yang diajukan Fadjroel dkk untuk meloloskan calon presiden dari calon independen. Kehendak awal (original intent) atas Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 menjadi pertimbangan utama bahwa hanya parpol atau gabungan parpol saja yang dapat mengusulkan pasangan capres dan wapres ini. MK lebih mengutamakan penafsiran calon perseorangan tidak memungkinkan untuk pemilu presiden, karena pembentuk konstitusi sudah menghendaki demikian adanya. Sedangkan MK pada saat yang sama memberikan peluang bebas untuk pilkada melalui penafsirannya.

Daulat Rakyat
Putusan capres independen ini pada dasarnya tidak salah. Akan tetapi, pencalonan melalui capres melalui jalur independen diperbolehkan atau tidak adalah lebih tepatnya mengenai persoalan pilihan kebijakan (legal policy) yang dipengaruhi kemauan politik (political will) baik pemerintah dan DPR dan kesadaran partai sendiri.

Sebelumnya MK membuka peluang melalui tafsir konstitusi atas pemilukada. Berdasar ketentuan, ”dilaksanakan secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil”, yang kemudian calon independen untuk pemilukada dimungkinkan.

Apakah pemilukada berbeda dengan pilpres? Apakah tidak sama-sama dilaksanakan secara demokratis? Rekrutmen jabatan publik lebih demokratis dengan demikian diharapkan hasilnya lebih berintegritas dan berkualitas. Turunnya kepercayaan publik (public trust) atas partai, kemudian saat yang sama memperkuat kontrolnya atas semua proses politik, partisipasi rakyat harus dibuka dengan lebar di tengah kondisi sistem perwakilan yang menempatkan partai dalam posisi menjembatani hubungan wakil dengan konstituen.

Untuk pemilihan wakil-wakil di parlemen bisa diterima akal sehat dengan peran penting partai. Akan tetapi pada pemilihan eksekutif (presiden, gubernur, bupati, walikota) dengan pemilihan adanya peluang yang lebih besar harus diberikan. Kedaulatan rakyat jangan sampai tergeser kedaulatan partai. Dengan kelemahan demokrasi perwakilan mestinya juga harus harus diimbangi pelibatan rakyat langsung agar demokrasi kita lebih mendekati demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi parsipatoris (participatory democracy) sebagaimana dikatakan David Held dalam Models of Democracy (1996). Artinya, tafsir pasal-pasal konstitusi bisa disesuaikan perkembangan zaman. Karena manusia berubah, maka hukum juga selayaknya mengikuti perkembangan dan kebutuhan zaman.

Dalam putusan MK sendiri sebenarnya calon independen dalam Pemilukada semula ditolak. Tafsir awal Pasal 59 (1) dan (2) UU Pemda menyatakan bahwa calon independen diperkenankan sepanjang diajukan partai (Vide: perkara No.005/PUU-III/2005 dan perkara Nomor 006/PUU-III/2005). Dengan perbandingan ini, maka pada dasarnya masih memungkinkan rekruitmen jabatan presiden secara lebih demokratis tidak hanya melalui partai dengan jalan tafsir ulang dalam putusan MK dengan tafsir konstitusi yang hidup dan bernyawa(living constitution). Artinya MK tidak hanya terpaku dengan kehendak semula penyusun konstitusi.

Perbedaan tata cara pencalonan antara pilpres dengan pemilukada pada dasarnya sesuatu yang kontradiktif karena pada dasarnya keduanya dilakukan secara demokrtaris dan secara materiil pada dasarnya sama-sama rezim pemilu. Jika pemilukada dengan calon independen lebih demokratis, kenapa tidak diberlakukan sama untuk pilpres?

Jalan Konstitusional
Demi partisipasi masyarakat seluas-luasnya, semua pintu semestinya dibuka untuk semua orang. Seseorang yang berkualitas menduduki jabatan-jabatan publik semestinya tidak terhambat karena tidak memiliki kendaraan jalur parpol. Dengan tidak hanya monopoli parpol, maka hal ini akan memicu persaingan yang sehat dan organisasi partai semakin memodernisasi dirinya. Partai yang tidak sehat akan tergerus perubahan zaman dan ditinggalkan konstituennya dengan sendirinya.

Kerisauan Riswandha Imawan ada benarnya saat pengukuhan guru besar ilmu politik pada 4 September 2004 yang mengatakan, “Masyarakat sering bertanya, apakah partai itu the problem atau the solution? Tampaknya keduanya benar, sebab tidak mungkin mengobati demokrasi yang sedang sakit dengan partai politik yang sedang sakit pula. Jalan terbaik adalah mengobati partainya sehingga cukup sehat untuk mengobati proses politik yang belum sepenuhnya demokratis.” Sembari menyehatkan parpol langkah-langkah membuka partisipasi luas siapapun untuk mencalonkan diri bisa dilakukan.

Menurut penulis jalan keluar selain melalui jalan amandemen konstitusi untuk mengakomodir keberadaan capres independen, yaitu sebagai berikut: Pertama, melalui permohonan judicial review kembali yang diharapkan MK melakukan tafsir ulang pencalonan presiden seperti pernah dilakukan untuk pemilukada dalam kasus sebelumnya. Pemilukada sebagai rezim pemilu dan satu kesatuan sistem, sehingga hal yang kontradiktif jika seorang kepala daerah dan presiden melalui rekrutmen yang berbeda. Dengan hanya dibuka untuk demokrasi lokal, maka nilai demokratis pada pemilukada akan jauh lebih baik dari pada pemilu nasional, jika monopoli partai masih dipertahankan.

Kedua, pemerintah dan DPR merumuskan ulang dengan mengubah UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dengan mengakomodasinya. Meskipun dengan mengakomodasi capres independen rentan dipersoalkan dengan judicial review kembali, akan tetapi dengan permohonan tersebut maka pada saat yang sama memberi peluang norma-norma yang pernah diuji, dicermati kembali oleh MK. Penafsiran konstitusi masih memungkinkan melampaui kehendak asli pembentuk konstitusi (original intent) dan tidak terisolasi penafsiran satu norma dan ditafsirkan sesuai kebutuhan rakyat itu sendiri.

* Praktisi Hukum, Ketua Paguyuban Hukum Taat Asas, dan Aktivis Forum Hukum Tata Negara (Forum-HTN)

Foto: suryawisatapkl.blogspot.com

2 komentar:

  1. terima kasih, tulisan ini sangat membantu saya. salam hormat.

    BalasHapus
  2. terima kasih telah berkunjung ke blog ini. semoga berguna. salam hormat juga.

    BalasHapus